Cikal Bakal di Mangkoso

0
180

Gurutta atau Anregurutta dalam bahasa Bugis bisa berarti Mahaguru Kita. Gurutta, artinya guru kita.

Ini panggilan khas (bahasa bugis) kepada seorang ulama yang memiliki kedalaman ilmu, yang dihormati karena karakternya yang kuat berpijak pada nilai-nilai agama, serta telah mengajari kita ilmu dan pengatahuan dan makna-makna nilai-nilai dan ajaran agama secara mendalam, baik langsung maupun tidak langsung, secara tulus.

Anregurutta KH. Abdurrahman Ambodalle, memulai gerakannya di Mangkoso, tahun 1938, ketika diminta oleh Raja Soppeng Riaja, H. Andi Muhammad Yusuf Andi Dagong, untuk memimpin pendidikan yang didirikannya.

Soppeng Riaja, artinya Soppeng Bagian Barat, maju dan menjadi kerajaan berdaulat sendiri, pada pertengahan abad 17 setelah Arung Palakka dari Bone berhasil mengalahkan Gowa, sebelumnya Soppeng Riaja adalah bagian dari taklukan Gowa.

Belanda menaklukkan Soppeng Riaja, sekitar tahun 1905 dan menjadikannya daerah Swapraja, dan tetap membiarkan rajanya memerintah. Raja Soppeng Riaja, disebut Petta Soppeng.

Mangkoso, masa itu adalah Ibukota Kerajaan Soppeng Riaja, sekarang bagian dari Kabupaten Barru.

Pada awalnya bentuk pendidikan dalam bentuk halaqah, mengngaji tudang (bahasa bugis) atau wetonan, lalu berkembang dalam bentuk Madrasah Arabiyah Islamiyah (selanjutnya disingkat MAI)

Pada awalnya Petta Soppeng, Raja Soppeng Riaja, sekitar tahun 1935, berinsiatif mendirikan mesjid di tiga tempat utama di daerah kekuasaannya itu, yakni Lapasu, Takkalsi dan Mangkoso, untuk merespon gerakan keagamaan yang tidak toleran terhadap perbedaan.

Tetapi tidak begitu memberikan efek. Mesjid itu sepi pengunjung. Tentu itu merisaukan sang Raja.

Maka kemudian dia mengundang tokoh-tokoh agama dari kaum tradisional untuk mencari jalan keluar. Muncul gagasan untuk membangun sebuah pendidikan, yang dalam bahasa bugis disebut angngajiang.

Angngajiang dalam bahasa Bugis, artinya tempat mengaji. Istilah ini digunakan sistem pendidikan berbasis pada kajian kitab-kitab klasik, yang dipimpin seorang ulama, untuk pendalaman ilmu-ilmu agama (tafaqahu fiddin).

Setelah gagasan itu mendapat kesepakatan, pertanyaan kemudian, siapa yang akan memimpin institusi itu. Karena itu tidak akan bisa jalan jika tidak ditangani oleh orang yang tepat, yakni seorang ulama yang memiliki kedalaman ilmu.

Sedangkan di daerah itu, di Mangkoso, belum ada yang dianggap memenuhi kwalifikasi dan memiliki kapasitas memadai untuk kepentingan itu.

Akhirnya mereka bersepakat untuk meminta guru kepada Anre Gurutta Saade di Sengkang, yang ketika itu memimpin lembaga pendidikan yang dianggap paling bergengsi pada masa itu, sebagai pencetak para ulama, di Sulawesi Selatan, yang dikenal dengan nama MAI Sengkang.

Bahkan mereka mengincar Gurutta Abdurrahman Ambodalle, yang ketika itu sudah menjadi orang kedua dari Gurutta Saade di Sengkang.

Gurutta Ambodalle adalah orang yang sangat diandalkan oleh Gurutta Saade. Bahkan ada yang melihat bahwa kemajuan pendidikan yang dirintis dan dilenggarakan Gurutta Saade, terutama setelah berubah bentuk menjadi MAI, karena kecemerlangan Gurutta Ambodalle.

Namanya memang sudah mencuat sebagai seorang yang memiliki kedalaman ilmu agama yang tidak terukur.

Karena memang sudah mulai populer, sebenarnya bukan hanya Soppeng Riaja, beberapa daerah lain, seperti Bone dan Palopo juga meminta Gurutta Ambodalle.

Sebenarnya sudah bisa diduga bahwa Gurutta Saade akan menolak permintaan mereka itu. Selain tidak mau melepaskan orang kepercayaannya, Gurutta Saade juga memang tidak membolehkan adanya cabang di daerah lain, untuk menjaga kwalitas pendidikan MAI Sengkang.

Misi Raja Soppeng Riaja, memang tidak berhasil. Utusan Mangkoso yakni H. Kitta’ (Qadli Sopeng Riaja), H. Husein dan Puang Baco gagal meyakinkan Gurutta Saade.

Bahkan Gurutta Saade mengatakan kepada mereka bahwa kalau orang-orang Soppeng mau belajar dan mendalami agama, lebih baik datang ke Sengkang.

Tetapi Raja Soppeng Riaja tidak menyerah. Dia mengubah taktik.Sebelum ke Sengkang, dia mengutus orang untuk menemui Gurutta Abdurrahman Ambodalle.

Gurutta Ambodalle, meskipun merespon dengan baik tawaran itu, mengatakan tidak bisa ke Mangkoso jika tidak mendapat persetujuan dari Gurutta Saade.

Sikap Gurutta Ambodalle seperti itu sudah cukup bagi Raja Soppeng. Maka dia kembali mengutus orang-orang yang sama menemui Gurutta Saade.

Mereka berdiplomasi, berargumentasi, yang membuat Gurutta Saade akhirnya menyerahkan keputusan itu kepada Gurutta Ambodalle.

Ternyata Gurutta Ambodalle menerima permintaan (utusan) Raja Soppeng tersebut. Maka dengan berat hati Gurutta Saade terpaksa melepaskan Gurutta Ambodalle.

Sesuai kesepakatan, pertengahan Desember 1938, Gurutta Ambodalle memboyong keluarganya ke Mangkoso.

Beberapa santri senior, yang menjadi murid-muridnya seperti KH Amin Nashir, KH. Harun arrasyid, dan lain-lain juga ikut pindah bersama Gurutta Ambodalle.