Dr. Salahuddin Sopu………….
Ada rahasia di balik, mengapa perintah “memaafkan” (bukan “meminta maaf”) itu yang diperintahkan.
Dalam pergaulan dengan sesama, sedikit-banyak kita akan mengalami hal-hal tidak mengenakkan.
Karena kita semua memiliki sisi kurang, lalai, dan salah masing-masing. Tidak ada yang sempurna.
Ada masa-masanya kita menerima sisi kurang sesama. Dalam hal ini, kita harus selalu siap menghadapinya.
Tanpa kebijaksanaan ini, kita tidak akan pernah memiliki ikatan pergaulan lama.
Karena begitu menemukan kesalahan sesama, lantas memutuskan tidak lagi bersahabat.
Itulah mengapa kita perlu memberi maaf.
Kemaafan akan menjadi cara indah bagi kita untuk tetap bersama, walaupun sama-sama punya kekurangan.
Dan memaafkan sesama akan menjadi cara menyehatkan badan dan pikiran.
Kalau kita terbiasa mendendam dan membenci seseorang, kita menjadi seperti orang menenggak racun, tetapi mengharap orang lain yang binasa.
Teladan kita Rasulullah SAW. adalah pribadi pemaaf.
Dalam beberapa kisah, Rasulullah menerima perlakuan sangat buruk dari kaumnya. Namun, Rasulullah tidak pernah mendendam kepada mereka.
Kisah populer adalah ketika Rasulullah SAW. hendak berdakwah kepada Bani Tsaqif yang tinggal di Thaif.
Saat itu Rasulullah datang ke sana dengan Zaid bin Haritsah. Mereka hendak berdakwah, menyeru kaum yang menyembah berhala agar menyembah kepada Allah SWT.
Cahaya kebenaran yang mereka bawa ke sana, sayangnya, tidak disambut hangat.
Malah, pemuka-pemuka Bani Tsaqif, mengumpulkan para wanita dan anak-anak, agar ramai-ramai melempari Rasulullah dan Zaid sembari mencaci-maki keduanya.
Rasulullah dan Zaid Zaid bin Haritsah terus berlari menghindari lemparan batu. Karena kejadian itu, Rasulullah terluka. Darah mengucur deras.
Namun, luka di hati tentu saja bisa menyeruak. Bagaimana mungkin seruan mendatangkan kebaikan bagi mereka dibalas penghinaan?
Melihat kejadian itu, malaikat Jibril datang dan memberikan penawaran,
“Wahai Rasulullah, bagaimana kiranya kalau aku mengangkat gunung ini dan menimpukkannya pada mereka?
Rasulullah menolak tawaran malaikat Jibril. Malah, Rasulullah mengharapkan kebaikan tetap menyentuh mereka,
“Jangan, wahai Jibril. Sungguh, aku mengharapkan kelak dari anak keturunan mereka ada generasi yang memberi bobot kepada bumi ini dengan kalimat laa ilaaha illallaah.”
Rasulullah SAW. juga sering berdoa,
“Ya Allah, maafkanlah kaumku, sesungguhnya mereka adalah orang-orang tidak mengetahui.”
Sifat pemaaf menjadi karakter dakwah Rasulullah SAW. yang selalu terlihat.
Bisa kita bayangkan bagaimana kalau Rasulullah pribadi pendendam, niscaya sudah banyak generasi binasa kena azab. Sebab sudah sering dakwah beliau dihadang bahkan dibalas kejam.
Bila Rasulullah SAW. yang terbebas dari dosa, meneladankan indahnya memaafkan, siapakah kita yang masih suka mendendam?
Adakah kita terbebas dari dosa sehingga merasa berhak mendendam kepada sesama?
Adakah kita bebas dari dosa sehingga merasa berhak tidak memaafkan kesalahan sesama?
Adakah kita pribadi yang tidak pernah berbuat salah?
Bagaimana bila orang lain enggan memaafkan kesalahan kita?
Kita tidak bisa memaksa sahabat di sekitar kita untuk terbebas dari kesalahan sebab kita juga tidak selamanya lepas dari kesalahan.
Kita tidak bisa memaksa sahabat di sekitar agar menjadi pribadi sempurna sebab kita juga bukan manusia sempurna.
Maka, di hati kita harus ada celah yang diisi kemaafan. Maafkanlah sesama. Manfaat utamanya adalah untuk diri kita sendiri.
Dengan memaafkan, kita menyehatkan badan, membuat pikiran tenang, dan emosi menyejuk.
Memaafkan bukan untuk orang lain, melainkan untuk diri kita sendiri dan untuk membangun pergaulan sehat.