Syajaratul ‘Ilmi

0
322
Pandangan keagamaan dan kebangsaan DDI

Konsep “Syajaratul ‘ilmi” sebagai asas ketulenan kefahaman agama Islam diistifadah oleh ulama dari firman Allah Subahanahu wata’ala dalam surah Ibrahim: 24 sebagai berikut:

الم تر كيف ضرب الله مثلا كلمة طيبة كشجرة طيبة أصلها ثابت وفرعها في السماء

(Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah yang baik seperti syajarah (pokok) yang baik, akarnya tsabit kukuh dan cabangnya (menjulang) ke langit)

Syajaratul ‘ilmi ialah pokok ilmu-ilmu agama Islam yang telah tsabit kukuh yang diwariskan langsung daripada Rasulullah kepada sahabat dan berterusan terpelihara melalui ulama dari generasi kepada generasi berikutnya secara berterusan. Oleh itu, konsep ilmu secara bersanad adalah merupakan ciri khas keilmuan yang terdapat dalam agama Islam.

Ulama sebagai ahli waris para Nabi telah mengisyaratkan kepentingan konsep ilmu (epistemology) secara bersanad, seperti yang masyhur dinyatakan:

لو لا الاسناد لقال ما شاء من شا ء

(Sekiranya konsep sanad (tidak dijaga) maka bebaslah orang bercakap (tentang agama) apa sahaja yang mahu dikatakan)

Sanad sebagai syajaratul ‘ilmi atau mata rantai ilmu yang menyambungkan dan menghubungkan suatu masa yang terkait dan bertumpu kepada suatu masa yang lain.

Jadi, dalam sanad ini, terkandung aspek muwashalah (hubungan dan kesinambungan) satu zaman dengan zaman berikutnya secara berterusan (berantai).

Qaedah bersanad merupakan mekanisme penuntutan ilmu dan pengetahuan agama yang sempurna dan tulen.

Karena setiap pengetahuan yang dipindahkan itu dapat dipertanggungjawabkan ketulenan dan kesahihannya melalui rantaian periwayatan oleh ulama muhaqiqin.

Disiplin ilmu bersanad dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam menjamin keshahihan ilmu yang disampaikan sehingga dianggap sebagai bahagian yang tidak boleh diabaikan dalam menuntut ilmu agama.

Imam Ibnu Sirin (110 H/728 M) mengungkapkan:

“Sesungguhnya ilmu ini (ilmu sanad) termasuk urusan agama. Oleh itu, perhatikanlah dari mana kamu mengambil ajaran agama kamu”.

Imam Tsauri pula menasihatkan bahwa:

Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kamu tidak punya senjata, maka dengan apa kamu akan berperang?

Imam Abdullah bin Mubarak (181 H/797 M), menyatakan kepentingan ilmu bersanad ini dalam ungkapannya:

“Rangkaian sanad itu merupakan bahagian dalam beragama, kalau bukan karena menjaga sanad, pasti siapapun dapat semaunya mengatakan apa saja yang dia ingin katakan”.

Beliau juga berkata, “Mengkaji ilmu agama tanpa melalui sanad (ulama) bagaikan menaiki atap tanpa punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan umat ini dengan qaedah bersanad.

Imam Syafii pernah berkata: Orang yang belajar ilmu tanpa melalui sanad ulama bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di dalam kegelapan malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat di dalamnya ular berbisa sedang ia sendiri tidak tahu.

Berkata Ulama Ahli Sunnah Waljama’ah: Barang siapa tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah Syaitan.

Maksudnya jika belajar agama tanpa dibimbing oleh guru/ulama maka dikuatiri ilmu yang diperolehinya itu tidak kukuh dalam kesahihannya karena sumber ilmunya tidak jelas.

Buku, internet dan social media, sebenarnya hanyalah sebatas pemberi wawasan dan tidak memberi pemahaman yang sebenar. Oleh itu, janganlah merasa puas, bangga membaca ratusan buku, media, internet jika tanpa bimbingan dari seorang guru atau ulama yang berautoritas.

Imam Ibnu Asakir dalam kitab “Tabyin Kazib al-Muftariy” telah menghurai panjang lebar tentang hadis riwayat Abu ‘Alqamah dan Abu Hurairah, iaitu:

إن الله عز وجل يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها

(Sungguh Allah ‘Azza wajalla senantiasa membangkitkan ulama memelihara ketulenan agama umat ini pada tiap-tiap satu ratus tahun (satu abad)

Makna “tajdid al-din” dalam hadis ini mengikut riwayat Imam Ahmad bin Hanbal ialah mengajar, menyebar dan memelihara ketulenan agama Islam.

Beliau juga menegaskan makna hadis tersebut bahwa pada abad pertama hijriyah ulama yang dimaksud diketuai oleh Khalifah ‘Omar bin Abdul Aziz (w 101H) dan Imam Syafi’iy (w 204H) (guru Imam Ahmad sendiri) pada abad kedua hijriyyah, karena sesuai maksud hadis Rasulullah dari riwayat beliau sendiri bahwa “Seorang ulama keturunan Quraisy yang memenuhkan ilmunya di muka bumi”.

Beliau menambahkan bahwa selama empat puluh tahun, ia senantiasa mendoakan gurunya itu dalam sembahyangnya karena kasih dan kagumnya terhadap gurunya.

Imam Muhammad bin Ali bin Husain mengatakan bahwa kami dengar para ulama zaman ini bahwa yang mengepalai ulama pada abad pertama tahun hijriyah ialah Khalifah Imam ‘Omar bin Abdul Aziz, dan pada abad kedua pula diketuai oleh Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’iy.

Imam Abu Hasan ‘Ali bin Muslim al-Sulamiy ketika menerangkan maksud hadis Abu ‘Alqamah di atas, beliau juga menyatakan bahwa pada abad pertama hijriyah di ketuai oleh Khalifah ‘Omar bin Abdul Aziz, untuk abad kedua iaitu Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’iy, dan untuk abad ketiga hijriyah ialah Imam Abu Hasan Asy’ariy (w 324H), untuk abad keempat hijriyah Imam Abu Bakar al-Baqillaniy (w 403H) dan untuk abad kelima pula adalah Amirul mukminin al-Mustarsyid Billah.

Walau bagaimanapun Ibnu ‘Asakir menegaskan bahwa untuk abad kelima hijriyah ialah Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazaliy (w 505H), beliau seorang ulama yang tersyohor namanya di seluruh dunia Islam, timur dan barat dan diperakukan kedalamam ilmunya oleh ramai ulama yang sezaman dengannya dan sesudahnya.

Huraian Imam Ibnu Asakir yang dinukil ini adalah memberi gambaran kepada kita
betapa pentingnya turas ulama Ahli Sunnah Waljama’ah dalam berbagai bidang ilmu agama terutama ilmu fardu ‘ain untuk dirujuk dan dijadikan asas qaedah dalam memahami teks al-Qur’an dan al-Sunnah.

Karena tanpa merujuk turas mereka bermakna kita memutuskan syajaratul ‘ilmi yang telah tsabit kukuh dalam memelihara dan menjaga ketulenan ajaran agama Islam itu sendiri.