Salat Tanpa Wudhu dan Tayammum

0
92
Anre Gurutta Mangkoso, Ketua Majelis Syuyukh Pengurus Besar DDI, Prof. Dr. H, M. Faried Wadjedy, Lc, MA.

MUTIARA HIKMAH ANRE GURUTTA MANGKOSO

SALAT TANPA WUDHU’ DAN TANPA TAYAMMUM
[Dispensasi Bagi Jama’ah Haji/Umrah di Atas Pesawat]

01. Bersuci (al-thaharah) pada dasarnya menggunakan air. Bila tidak ada air atau terhalang menggunakan air, maka boleh dengan debu tanah yang bersih dengan cara tayammum.

02. Di atas pesawat, jama’ah haji/umrah tidak diperkenankan menggunakan air untuk berwudhu’ apa lagi mandi. Debuh tanah juga tidak dipastikan adanya karena tersedot oleh AC.

03. Ketika waktu salat sudah masuk, maka wajib hukumnya untuk ditunaikan sebelum lepas. Dengan demikian, shalat tanpa wudhu’ dan tayammum (faqid al-thahurain) itu dibolehkan sebagai bentuk rukhsah (keringanan). Ini menurut pendapat Jumhur Ulama.

04. Kendati ulama berselisih pendapat mengenai wajib atau tidaknya diulangi (diqadha’) ketika sudah menjumpai kondisi normal. Namun, riwayat berikut dapat menjadi panduan untuk menarik kesimpulan:

Diriwayatkan dari Abu Sa‘īd al-Khudrī r.a, “Dua orang laki-laki keluar dalam suatu perjalanan. Ketika waktu salat tiba, mereka tidak menemukan air, maka keduanya bertayammum dengan debuh tanah yang suci lalu salat. Setelah itu, mereka menemukan air sebelum waktu salat berakhir. Salah satu di antaranya berwudu dan mengulang shalatnya, sedangkan yang lain tidak mengulang. Ketika keduanya datang kepada Nabi Saw. dan menceritakan hal tersebut, maka Nabi Saw. bersabda kepada yang tidak mengulang:
«أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ»
Artinya:
“Engkau telah melakukan yang sesuai dengan sunnah dan salatmu sudah mencukupi.”

Kemudian Nabi Saw. bersabda kepada sahabat yang mengulang shalatnya:
«لَكَ الأَجْرُ مَرَّتَيْنِ»
Artinya:
“Engkau mendapatkan pahala dua kali.” [HR Abu Dāwud: 338 dan al-Nasā’ī: 431].

05. Dari riwayat tersebut menunjukkan bahwa ibadah yang sudah dilakukan kendati dengan menggunakan hukum rukhsah, maka itu sudah dianggap cukup dan tidak wajib lagi diqadha’ setelah menjumpai kondisi normal. Namun, bagi hamba yang ingin menqadha’-nya, maka baginya dua kali pahala.

Catatan:
01. Di antara dalil yang menguatkan pendapat di atas adalah sebagai berikut:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن: ١٦]
Terjemahnya:
“Bertakwalah kepada Allah sesuai kadar kesanggupan kalian” [QS al-Tagabun: 16].
مَا لاَ يُدْرَكُ كُلُّهُ لاَ يُتْرَكُ جُلُّهُ [قاعدة أصول الفقه]
Artinya:
“Segala apa yang tidak dapat dicapai seluruhnya, maka tidak boleh ditinggalkan sama sekali” [Kaidah Ushul-Fiqh].

02. Keragaman solusi yang ditawarkan oleh ulama dalam situasi darurat air dan darurat debuh tanah dapat dilihat sebagai berikut:
a. Tidak boleh shalat, melainkan wajib mengqadha’ shalat setelah dapat berwudhu’ atau tayammum. Ini menurut Imam Abu Hanifah, Imam al-Tsauriy sebagian pengikut Imam Malik dan sebagian pengikut Imam al-Syafi’iy.
b. Boleh shalat dan tidak wajib diqadha’ setelah dapat berwudhu’ atau tayammum. Ini menurut sebagian ulama pengikut Imam Malik.
c. Boleh shalat, namun tetap wajib mengqadha’ setelah dapat berwudhu’ atau tayammum. Ini menurut sebagian ulama pengikut Imam Malik yang lain.
d. Wajib shalat dan tidak wajib diqadha’ setelah dapat berwudhu’ atau tayammum. Ini menurut Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ibnu Hazm dan Imam al-Muzniy yang diikuti oleh Imam Al-Nawawiy.

03. Rupanya pendapat yang terkuat (arjah) adalah pendapat yang tetap menjaga wajibnya shalat pada waktunya dengan segala kondisinya dan tidak wajib diqadha’ setelah dapat berwudhu’ atau bertayammum. Wallahu A’lam bi al-Sawab.[]

[Ramah Tamah Jama’ah Umrah Kubra Angkatan Pertama 1447 H/2025 M]
oleh Muh. Aydi Syam

Asrama Haji Sudiang, Makassar,
08 Jum. Awal 1447 H/29 Okt. 2025 M.

ddi abrad 1