Sejarah Darud Da’wah wal Irsyad

Sejarah Darud Da’wah wal Irsyad

Sejarah Darud Da'wah Wal Irsyad
Sejarah Darud Da’wah Wal Irsyad

Atas inisiatif K.H. Daud Ismail (Kadi Soppeng), K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle (MAI Mangkoso), Syekh H. Abd. Rahman Firdaus dari Parepare bersama ulama lainnya di adakanlah Musyawarah Alim Ulama Ahlussunnah Wal-Jamaah se-Sulawesi Selatan yang dipadukan waktunya dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., bertempat di Watan Soppeng pada 16 Rabiul Awal 1366 H bertepatan dengan 17 Februari 1947 guna menghindari kecurigaan Westerling karena Soppeng termasuk afdeling Bone yang bebas dari operasi pembantaian Westerling karena pengaruhAruppalakka.

Salah satu keputusan penting dari musyawarah tersebut adalah perlunya didirikan suatu organisasi Islam yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial kemaslahatan umat untuk membina pribadi-pribadi muslim yang kelak bertanggung jawab atas terselenggaranya ajaran Islam secara murni di kalangan umat Islam dan menjamin kelestarian jiwa patriotik rakyat Sulawesi Selatan yang pada waktu itu sedang mempertaruhkan jiwa raganya guna mengusir kaum penjajah Belanda dan mempertahankan kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945.

Nama dari organisasi yang akan dibentuk itu telah diperdebatkan dalam musyawarah dengan munculnya tiga nama, yakni Al-Urwatul Wutsqa dari K.H. M. Tahir Usman, Nasrul Haq oleh K.H. M. Abduh Pabbajah dan Darud Da’wah Wal-Irsyad oleh Syekh K.H. Abd. Rahman Firdaus dengan pengertian Darud artinya rumah/tempat, Da’wah ajakan memasuki rumah tersebut, dan Al-Irsyad artinya petunjuk itu akan didapat melalui proses berdakwah di suatu daerah tertentu.

Dengan melalui proses yang demokratis dalam musyawarah alim ulama Aswaja se-Sulawesi Selatan ini, maka Darud Da’wah Wal-Irsyad yang disingkat DDI mendapat kesepakatan forum musyawarah, yang kemudian merupakan pula wujud peralihan dan pengintegrasian Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso yang lahir pada tanggal 11 Januari 1938 M atau 20 Dzulqaidah 1357 H, berdasarkan hasil musyawarah utusan Cabang dan guru-guru MAI dari daerah-daerah pada bulan Sya’ban 1366 H. (1947 M.) yakni sekitar lima bulan setelah berlangsungnya Musyawarah Alim Ulama Aswaja se-Sulsel.

Dengan pengintegrasian ini harus diartikan pula sebagai suatu proses dalam peningkatan bentuk struktural dan operasional MAI Mangkoso dari wadah yang bersifat organisasi sekolah semata menjadi organisasi kemasyarakatan Islam yang memiliki struktur vertikal dan horisontal yang lapangan geraknya di samping pendidikan, maka menjadi garapannya pula yang terkait dengan bidang dakwah dan usaha-usaha yang bersifat kemaslahatan umat.

Dalam bidang kelembagaan organisasi sesuai dengan Peraturan Dasar (AD/ART) DDI yang pertama pada pasal dua, dinyatakan bahwa: “Badan ini tidak mencampuri soal-soal politik”. Hal ini menunjukkan bahwa sikap dan posisi kelembagaan DDI adalah independen dalam arti tidak mengurusi politik praktis, bukan underbauw dari suatu organisasi politik manapun, sehingga waktu Masyumi didirikan pada tahun 1948 dengan tujuan utamanya untuk menghimpun kekuatan politik umat Islam. Pada waktu itu DDI tidak melibatkan diri secara organisasi walaupun dikalangan Pimpinan Pusat Masyumi beberapa kali mengajak bergabung didalamnya.

Ketentuan pasal dua ini dalam Muktamar III DDI tahun 1950 di Makassar dihilangkan, namun secara moral dikalangan pendiri dan warga DDI nilai kerohaniaan itu tetap dipertahankan dengan pembatasan diarahkan kepada Ketua Umum sebagai desition maker organisasi dan ini pun dihapuskan pula dalam Muktamar DDI Ke-15 pada tahun 1989 karena berbagai faktor yang bersifat darurat sehingga KH.Abd. Rahman Ambo Dalle masuk pada kekuatan politik Golkar. Dan ketika Ketua Umum Pengurus Besar DDI (H. Abd. Muiz Kabry) diajak kalangan PKB (KH. Abd.Rahman Wahid atau Gusdur) untuk duduk pada salah satu ketua DPP PKB pada 2000/2001 maupun ke-ketua-an di wilayah PKB Sulsel belum menerimanya demi menjaga keutuhan dan kematangan warga DDI dalam menerima realitas politik dan keadaannya belum pada tingkat darurat, walau larangan formal secara institusi DDI tidak ada lagi.

Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) dalam pertumbuhannya berbeda dengan kelaziman organisasi yang ada secara umum, sebab DDI benar-benar tumbuh dari akar rumput masyarakat yang ada dipedesaan, sehingga pedesaan adalah basis terkuat bagi DDI, dan dari desa inilah tumbuh berkembang ke kota-kota. Hal ini dapat dilihat di seluruh pelosok pedesaan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Jambi, Riau dan daerah-daerah lainnya. Hal ini disebabkan karena dari awal keberadaannya di suatu daerah pada dekade 1947 dan MAI sebelum itu (1938) yang menjadi mediator pengembangan terfokus pada pengembangan dakwah, kemudian follow up-nya mendirikan madrasah yang berlangsung sampai 1998 melalui Muktamar DDI ke-17 di Makassar dengan secara komprehensip digandengkan dengan pola umum yang berlaku yakni pendirian DDI dilakukan pula sesuai struktur sistem pemerintahan dengan tidak wajib setelah ada madrasah/sekolah.

Pengembangan pola pertama mensyaratkan pembukaan suatu Cabang DDI di topang oleh :

Adanya permufakatan rakyat di daerah itu
Disetujui oleh aparat syara’
ditopang oleh pemerintahan setempat
Ada murid yang hendak di berikan pelajaran
Ada ruangan untuk tempat belajar
Tersedia biaya pengajar dan biaya lainnya, terutama biaya guru yang didatangkan dari pusat (Pesantren) DDI, sehingga keberadaannya kongkrit dan hasilnya pun berkualitas.

Sedang pola kedua lebih bertendensi memperluas jaringan sehingga yang dibutuhkan adanya orang yang bersedia menjadi pengurus menurut jenjang yang dibutuhkan dan dari pengurus yang terbentuk inilah diharapkan muncul madrasah/sekolah yang sesuai kebutuhan setempat. Pola ini lebih mengemukakan aspek terbentuknya kekuasaan dan dari kekuasaan itu terjadi transformasi dalam mensosialisasikan DDI.