Makassar, ddi.or.id – Paham radikalisme dianalogikan seperti virus yang bisa berdampak ke siapa saja. hal tersebut diungkapkan Dirut BNPT Brigjen Pol R Ahmad Nurwahid saat menghadiri Dialog Nasional Pencegahan Paham Radikal Terorisme yang digelar oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) di Sulawesi Selatan.
“Terorisme bisa berpotensi kepada semua orang tidak melihat suku, ras, agama, profesi bahkan tidak melihat kadar intelektualitas seseorang,” ujarnya. Lanjutnya, Terorisme merupakan ideologi yang dibangun atas dasar manipulasi dan distorsi. “Terorisme itu bukan tujuan, tetapi sebagai alat propaganda atau metode untuk mencapai tujuan,” tuturnya.
Tujuan yang ingin dicapai dari aksi terorisme adalah gerakan politik kekuasaan. Gerakan ini menginginkan kekuasaan dengan memanipulasi, mendistorsi, dan mempolitisasi agama untuk mendirikan negara agama menurut versi mereka.
“Mereka ingin mengganti ideologi pancasila menjadi ideologi khilafah menurut versi mereka dan ini semua adalah wujud dari neokolonalism,” ujarnya.
Ahmad menuturkan ada lima ciri-ciri indikasi paham radikalisme. Pertama, anti Pancasila seperti kapitalisme, sekulerisme, liberalisme, komunisme, khilafah dan wahabisme. Yang kedua, berpaham takfiri dengan mengafirkan orang lain yang berbeda. Adapun eksklusif dan intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman menjadi yang ketiga.
Adapun yang keempat, anti pemerintahan yang sah dengan membangun kebencian maupun sosial distrust masyarakat terhadap negara dan pemerintah. “Kebencian ini disebar melalui sebaran hoax, fitnah, adu domba, ujaran kebencian maupun politisasi agama,” katanya.
Terakhir kelima, terorisme biasanya anti budaya dan kearifan lokal agama.p erlu diketahui, radikalisme juga memiliki peta pola.
Lanjutnya, Berdasarkan data dari alvara center dan mata air foundation. 23,4 persen mahasiswa setuju jihad untuk khilafah, 18,1 % pegawai swasta tidak setuju pancasila. 9,1 % pegawai BUMN tidak setuju pancasila, 23,3 % pelajaran SMA setuju jihad untuk khilafah, dan 19,4 % PNS tidak setuju pancasila.
Kasubdit Kontra Propaganda Jatmiko dalam sambutannya menjelaskan pada kondisi sekarang ini proses radikalisasi masih terjadi sampai sekarang. “Kegiatan radikalisme ini terstruktur, dan ini yang harus kita sadari bersama, oleh karena itu BNPT melaksanakan kebijakan kontra radikalisasi dengan mengimbau model pendekatan NKRI,” ujarnya
Model pendekatan NKRI dilakukan untuk mengikutsertakan seluruh pihak, baik dari pemerintah, kementerian lembaga, komunitas seperti organisasi keagamaan dan unsur seni budaya. “Oleh sebab itu khususnya organisasi keagamaan telah dilakukan Di Nahdatul ulama dan sekarang di DDI,” katanya.
Jatmiko berharap pencegahan pahamradikalisasi bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi tanggung jawab kita bersama. “Mari kita jadikan radikalisme sebagai paham musuh bagi kita, sehingga dalam setiap gerak langkah kita berupaya untuk menanggulangi hal ini,” tutupnya.
Dialog Nasional tersebut berlangsung di Ruangan Mahoni Hotel Claro, Jl Andi Pettarani, Kelurahan Mannuruki, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Selasa (13/12/2022).
Tiga narasumber dihadirkan dalam Dialog Nasional kali ini. Direktur Pencegahan BNPT RI Brigjen Pol Ahmad Nur Wahid, Wakil Ketua Umum PB DDI Helmy Ali Yafie, dan Imam Besar Masjid Al-Markaz Dr Muammar Bakry sebagai narasumber.
Dr Fatmawati pun dihadirkan sebagai penyeimbang para narasumber yang semua laki-laki untuk menjadi moderator yang berfungsi mengatur jalannya dialog .
Turut hadir juga Ketua Majelis Istisyar PB DDI H Alwi Nawawi, Kasubdit Kontra Propaganda Kolonel Pas Drs Jatmiko, Beberapa Ketua PB DDI dan pengurusnya, Ketua Umum DDI Sulsel Dr H Andi Aderus, Kepala Biro UIN Alauddin Makassar Dr Kaswad Sartono, Kasi PAIS Kemenag Makassar Dr. Shaifullah Rusmin, Kasi PD Pontren Kemenag Makassar Hasdan Pinang.
Adapun Peserta Dialog merupakan perwakilan dari Pengurus Harian DDI Sulawesi Selatan, Pengurus Bidang DDI Sulawesi Selata, Utusan Pengurus Daerah, STAI, IMDI, IP DDI, dan Pondok Pesantren