Andai Saya Berjumpa dengan Presiden Israel

0
1574

Oleh Muammar Bakry*

Dullu Indonesia sebelum merdeka, rakyatnya ada yang pro dan ada yang melawan penjajah. Kepada yang melawan, oleh kompeni mereka disebut sebagai penjahat yang identik dengan “teroris”.

Demikian yang terjadi di Palestina, sejak Israel mencaplok sebagian wilayah arab, maka sejak itu perlawanan terus dilakukan agar Israel hengkang dari wilayah-wilayah tersebut. Hamas, Hizbullah dan gerakan bersenjata lainnya kerap dicap sebagai teroris oleh kelompok Israel dan sekutunya yang mengancam keinginan Israel untuk menguasai wilayah di sekitarnya.

Respon dunia sebagaimana yang dituangkan dalam Konvensi Genewa, Konvensi Den Haag hingga Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) Desember 2023 memutuskan bahwa pendudukan Israel atas Palestina sebagai tindakan ilegal.

Sejak 7 Oktober 2023 lalu, agresi Israel dengan alasan menumpas Hamas, menurut laporan Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS), jumlah korban tewas Palestina mencapai angka lebih dari 36 ribu jiwa dan 86 ribu lainnya luka-luka. Jumlah korban dari masyarakat sispil ini, dapat dikatakan sebagai tindakan genosida yang melanggar hak-hak asasi manusia.

Hanya manusia yang normal sebagai manusia yang tergugah jiwa kemanusiaannya melihat pembantaian ini sebagai tindakan biadab. Jalur diplomatik tidak dapat menghentikan serangan itu, karena negara-negara yang memiliki kekuatan besar seperti Amerika dan sekutunya membiarkan bahkan mengizinkan agresi tersebut.

Peperangan yang tidak berimbang memancing emosi manusia yang masih sehat nuraninya di mana pun mereka berada. Ada yang menyalurkan dengan demonstrasi besar-besaran, mengumpul donasi hingga doa-doa yang tak berhenti dipanjatkan.

Termasuk emosi yang tidak lagi objektif dan terkontrol secara ilmiah, semua yang terkait dengan Israel baik tidak langsung apalagi secara langsung, dijadikan sebagai pelampiasan kemarahan yang berlebihan. Tidak lagi kita bedakan antara Israel, Yahudi dan Zionis, padahal terdapat banyak perbedaan sekalipun ada keterkaitan antara satu dengan lainnya.

Dalam pandangan al-Qur’an, Israel adalah gelar yang artinya Hamba Allah yang diberikan kepada Nabi Yakub as. Dalam konteks politik kekiniaan, Israel adalah negara yang merdeka diproklamirkan pada tahun 1948, berada di kawasan Asia Barat, dikelilingi oleh laut Tengah, Lebanon, Suriah, Palestina, Yordania dan Mesir.

Sejak resmi berdiri sebagai negara, orang-orang yang beragama Yahudi hijrah menetap di Israel, sehingga mayoritas penduduknya beragama Yahudi, dan 18 persen dari total populasi 8,9 juta jiwa beragama Islam, sesuai laporan Kementerian Luar Negeri AS pada 2022. Artinya, orang Israel tidak selamanya Yahudi, tapi ada juga muslimnya. Jadi keliru jika Israel hanya diidentikkan dengan agama Yahudi saja.

Adapun Zionis adalah gerakan ekstrim berbasis agama (Yahudi) yang bertujuan untuk menguasai wilayah-wilayah Arab. Paham ini selalu berupaya melakukan ekspansi besar-besaran untuk memperluas batas negara Israel dengan kekuatan politik dan militer. Dengan demikian, tidak semua orang-orang Israel sepakat dengan gerakan ini. Demikian pula tidak semua orang Yahudi baik yang tinggal di Israel maupun yang ada di luar Israel sepakat dengan kebijakan pemerintah Israel.

Sedangkan Yahudi sebagai aliran agama adalah entitas kepercayaan atau agama Abrahamik (nisbat kepada Nabi Ibrahim), monoteistik, dan etnis yang terdiri dari tradisi dan peradaban agama, budaya, dan hukum kolektif komunitas tertentu sebagai agama terorganisir di Timur Tengah jauh sebelum Islam datang di Jazirah Arab.

Banyak orang yang beragama Yahudi tinggal menetap di luar Israel. Sebagai penganut agama yang juga menjunjung nilai-nilai kedamaian dan kemanusiaan, sudah pasti apa yang dilakukan oleh pemerintah Israel kepada rakyat Palestina, dengan pemahaman agamanya yang benar mereka tidak merestui tindakan pemerintah Israel. Itulah sebabnya yang mendemo besar-besaran kehadiran Presiden Israel di Amerika dan lain-lain adalah kebanyakan orang-orang yang beragama Yahudi.

Upaya dalam membangun peradaban kemanusiaan melalui dialog antar agama sering dilakukan untuk menghadirkan kedamaian dunia. Di Indonesia misalnya banyak tokoh agama yang menginisiasi dialog keagamaan, kemanusiaan dan perdamaian misalnya KH. Hasyim Muzadi, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Nasaruddin Umar dan lain-lain.

Jadi perlu kita arif melihat duduk perkara yang sebenarnya, bahwa orang yang paling bertanggung jawab dalam tragedi kemanusiaan ini adalah Presiden Israel. Jangan sampai digenaralisir kepada semua pihak yang tidak terkait dengan kebijakan tersebut bahkan kontra dengan kebijakan yang biadab itu.

Baca juga: Wawasan dan Peran DDI dalam-Berbangsa dan Bernegara

Apa yang dilakukan oleh lima warga NU yang kemudian dipacat dari kepengurusan NU, bertemu Presiden Israel Isaac Herzog, dengan alasan ingin menyampaikan pesan perdamaian, hemat saya niat itu baik, tapi sangat kontra produktif. Bahkan sebenarnya bisa mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan mencoreng wibawa Indonesia di mata dunia. Kekuatan politik melalui jalur diplomasi negara pun diabaikan, apalagi kalau hanya sekedar personal yang tidak mewakili siapa-siapa, termasuk lembaga terhormat seperti NU.

Presiden Israel yang “haus darah” tidak cukup dengan negoisasi dan diplomasi, memang perlu diberi pelajaran. Saya salut orang seperti Muntazer Al Zaidi, jurnalis Irak yang dulu masyhur akibat tindakannya melempari Presiden Amerika Serikat saat itu George W. Bush dengan sepatunya karena marah melihat korupsi dan kekacauan akibat invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003. Melempar sepatu kepada seseorang adalah bentuk penghinaan besar dalam budaya Arab.

Pasti jika ada Muntazer-Muntazer yang bisa berjumpa langsung dengan Presiden Israel, mungkin bukan hanya sepatu yang melayang. Saya pun berkhayal, andai saya berjumpa dengan Presiden Israel, saya akan pakai cara saya sendiri sebagai orang Bugis Makassar.

*Guru Besar Ilmu Fiqhi Kontemporer, Rektor Universitas Islam Makassar, dan Sekretaris Umum Pengurus Wilayah DDI Sulawesi Selatan

situs toto

ddi abrad 1