Ibadah Pencinta

0
197

 

Di dalam kitabnya, _Mastnawi,_ Rumi mengungkap satu kisah yang sangat menarik dan menyentak kita… kisahnya sebagai berikut:

Suatu hari, Mûsâ bertemu penggembala tua yang rendah hati di gurun, yang tengah bicara sendiri pada Allah. Nada si penggembala tenang dan akrab. Ia mengatakan kepada Allah betapa ia ingin membantu-Nya, membersihkan kutu-kutu dari-Nya, menyucikan pakaian-Nya, mencium kaki dan tangan-Nya. Ia akhiri doanya dengan, “Di kala aku memikirkan-Mu, aku hanya dapat mengatakan ‘Ahhhhh!””

Mûsâ terkejut dan berseru, “Sadarkah engkau bahwa engkau tengah berbicara kepada Pencipta Langit dan Bumi, bukan kepada pamanmu?!”Gembala itu merasa sangat bodoh dan bertanya kepada Mûsâ apakah, menurutnya, Allah mau memaafkannya.

Akan tetapi, ketika gembala itu mulai mengelana dengan rasa sangat sedih di gurun untuk menyesali dosanya, suara Tuhan berkata kepada Mûsâ, dengan memarahinya.

“Mûsâ, apa yang bagimu tampak salah adalah benar baginya. Racun bagi seorang manusia adalah madu manusia lainnya. Kesucian dan kekotoran, kelambanan dan ketekunan- apakah itu penting bagi-Ku? Aku tak terpengaruh oleh semua itu.

Cara beribadah tak dapat dikategorikan lebih baik atau lebih buruk, itu adalah pujian dan dapat diterima. Sang hamba sajalah yang diagungkan oleh ibadah bukan Aku. Aku tidak mendengarkan perkataan. Aku melihat ke dalam kerendahan hati. Hanya kehampaan, hina, dan jujur sajalah yang hakiki.

Lupakan bahasa – Aku ingin terbakar! Terbakar! Bersahabatlah dengan api ini. Bakarlah ide-ide hebat dan kata-kata istimewamu!” Demikian sang maestro Rumi…