Ketika Gurutta “Gagal” Menjadi Guru

0
355

Ketika Gurutta “Gagal” Menjadi Guru 

Oleh

Pimpinan Cabang IMDI WAJO

 

AG. Abdurrahman Ambo Dalle, seorang ulama besar yang karismatik, dilahirkan di tanah Bugis. Sosoknya sangat dikenal, terutama di kalangan warga DDI. Berkat perjuangan beliau yang gigih, DDI tetap eksis hingga saat ini. 

Dikenal dengan julukan “Maha Guru dari Bumi Bugis,” A. G. Abdurrahman Ambo Dalle merupakan figur guru yang sangat masyhur dan berwibawa. Pesonanya sebagai pendidik membuatnya menjadi panutan, tidak hanya bagi murid-murid yang pernah belajar langsung darinya, tetapi juga bagi mereka yang belum pernah bertatap muka. 

Berdasarkan catatan sejarah yang diambil dari laman Kementerian Agama Sulawesi Selatan, semasa hidupnya, Gurutta mendirikan 60 pondok pesantren, 700 madrasah, dan 21 perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia, mulai dari Papua hingga Sumatra. Dari segi ilmu pengetahuan, A. G. Ambo Dalle meninggalkan karya-karya kitab yang menjadi sumber rujukan bagi para muridnya. Menurut laman resmi DDI, Gurutta menghasilkan 22 kitab dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk 3 kitab akhlak, 4 kitab syariah, 3 kitab akidah, 6 kitab bahasa Arab, 2 kitab sejarah, dan 6 kitab lainnya di berbagai bidang ilmu. 

Gurutta Ambo Dalle bukan hanya berpengaruh di bidang pendidikan, tetapi juga di bidang politik dan seni. Beliau pernah masuk ke partai politik, bukan atas inisiatifnya sendiri, tetapi karena ditawari untuk masuk ke partai politik (Golkar). Gurutta terpaksa masuk ke partai politik demi menyelamatkan DDI dari tekanan pemerintah yang cukup represif. Gurutta juga memiliki karya yang sangat populer, baik berupa kaligrafi maupun lagu. Karya kaligrafi yang populer dari Gurutta yaitu nama-nama Ashabul Kahfi yang dikisahkan dalam Al-Qur’an. Sedangkan lagu yang sangat populer yang diciptakan Gurutta adalah “Sempajang’e,” “Miraje,” dan “Ompokenna Uleng’e.” 

Gurutta Ambo Dalle dikenal sebagai tokoh besar yang sukses. Namun, kesuksesan Gurutta tersebut justru menimbulkan sebuah pertanyaan: apakah sebenarnya A.G. Abdurrahman Ambo Dalle berhasil menjadi seorang guru?

Dapat dilihat dari kutipan yang sering kita dengar: “Kesuksesan seorang guru terlihat ketika murid-muridnya mampu melampaui gurunya.” Melihat kondisi murid-murid Gurutta saat ini, belum ada yang mampu melampaui Gurutta secara total, baik dalam pengabdian maupun dalam karya-karya yang Gurutta ciptakan. Ketika murid-murid Gurutta tidak ada yang mampu melampaui Gurutta, di situlah muncul pertanyaan apakah A. G. Ambo Dalle gagal sebagai seorang guru? 

Selain itu, semasa hidupnya, A.G. Ambo Dalle mendirikan sebuah universitas, tetapi saat ini tidak ada satu pun murid beliau yang mampu mengelola universitas tersebut. Akibatnya, universitas tersebut turun status. Bahkan, salah satu universitas yang didirikan beliau diambil alih oleh organisasi lain, bukan oleh DDI. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada murid yang mampu meneruskan kepemimpinan sosok A.G. Abdurrahman Ambo Dalle apalagi melampauinya. 

Apa penyebab sehingga murid Gurutta tidak ada yang mampu melampauinya? Apakah karena gurutta diciptakan sangat istimewa oleh Allah Swt? Apakah Gurutta seorang waliyullah? Memang benar bahwa Gurutta adalah sosok makhluk yang diciptakan Allah SWT sangat istimewa untuk kita, khususnya di warga DDI. Beliau adalah seorang waliyullah, sosok manusia yang karismatik dan memiliki banyak karomah.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah karena pernyataan tersebut sehingga murid-murid dari Gurutta tidak mampu mengikuti jalannya Gurutta? Padahal, Gurutta bukanlah Nabi Adam yang menerima pengetahuan langsung dari Allah SWT sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 31 yang berbunyi:

وَعَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَاۤءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلٰۤىِٕكَةِ فَقَالَ اَنْۢبِـُٔوْنِيْ بِاَسْمَاۤءِ هٰٓؤُلَاۤءِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ ۝٣١

Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian Dia memperlihatkannya kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama-nama (benda) ini jika kamu benar!” 

Gurutta bukan malaikat dan bukan juga seorang Nabi Ulul Azmi yang menerima mukjizat dari Allah Swt. Gurutta bukanlah nabi yang notabenenya sulit untuk dilampaui. Jadi, pantaslah jika umatnya tidak dapat melampaui nabinya karena nabi mendapatkan wahyu langsung dari Allah SWT melalui perantara malaikat Jibril. Sedangkan Gurutta adalah manusia biasa seperti kita. Lantas, mengapa murid-murid Gurutta tidak bisa mengimbangi jejak A.G Ambo Dalle?  Apakah ada faktor lain yang menyebabkan hal tersebut?

 Hal ini terkait dengan pesan Gurutta kepada muridnya yang sangat familiar di telinga kita, yaitu:

“Anunna DDI Tania Anukku, Nennia Anukku Anunna DDI”

Demikianlah kutipan dari A.G. Ambo Dalle yang sering disebut-sebut oleh murid-muridnya. Namun, persoalan yang timbul adalah banyak dari mereka yang belum sepenuhnya memahami makna mendalam sehingga kurangnya penerapan secara menyeluruh dari pesan tersebut, terutama dalam kalimat yang sering disampaikan oleh Gurutta, “Anukku, anunna DDI.”

Pesan ini sering kali memicu pertanyaan di benak para murid, “Apa sebenarnya yang kita miliki?” Apakah itu harta, jabatan, atau sesuatu yang lain? Pada kenyataannya, segala sesuatu yang kita anggap sebagai milik kita, harta benda, kedudukan, jabatan, dan berbagai hal duniawi lainnya hanyalah titipan dari Allah SWT, lantas apakah yang dimiliki seorang manusia?

Manusia pada dasarnya hanya memiliki identitas di dalam dirinya, ketika manusia dilahirkan di dunia tanpa busana tanpa harta dan tanpa jabatan, yang hanya manusia miliki ketika lahir di dunia hanyalah identitas semata yang berkembang seiring bertambahnya usia seseorang sesuai dengan lingkungannya. Indentitas sering juga disebutkan dengan kata kepribadian. 

Menurut Sigmund Freud, seorang psikolog terkemuka yang mengembangkan psikodinamik, berpendapat bahwa manusia memiliki tiga kepribadian, yaitu: Id, Ego, dan Super Ego. 

Id adalah bagian paling primitif dan dasar dari kepribadian kita. Ia bekerja secara tidak sadar dan didorong oleh prinsip kesenangan. Id tidak peduli dengan realitas, norma sosial, atau konsekuensi. Ia hanya ingin mendapatkan kepuasan secepatnya, tanpa mempertimbangkan apa pun. Id adalah sumber dari semua energi psikologis dan dorongan dasar kita, seperti keinginan biologis dan kebutuhan dasar lainnya. Ia mendorong kita untuk mencari kepuasan dan menghindari rasa sakit.

Ego adalah bagian dari kepribadian yang muncul setelah Id. Ego bekerja secara sadar dan berusaha untuk menemukan keseimbangan antara keinginan Id dan tuntutan Super Ego. Ego bertanggung jawab untuk berinteraksi dengan dunia luar, menilai situasi, dan membuat keputusan yang rasional. Ego berfungsi sebagai mediator antara Id dan Super Ego. Ia membantu kita untuk beradaptasi dengan realitas, mengendalikan impuls Id, dan membuat keputusan yang sesuai dengan norma sosial.

Super Ego adalah bagian dari kepribadian yang berkembang setelah Ego. Super Ego merupakan internalisasi dari nilai-nilai moral dan norma sosial yang dipelajari dari lingkungan. Super Ego bekerja secara sadar dan tidak sadar. Ia mendorong kita untuk bertindak sesuai dengan norma sosial dan nilai-nilai moral. Super Ego berfungsi sebagai suara hati kita. Ia membantu kita untuk membedakan mana yang benar dan salah, serta mendorong kita untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral. 

Ketika kita merenungkan pesan A.G. Abdurrahman Ambo Dalle, “Anukku Anunna to DDI Naekia Anunna DDI Tania Anukku,” kita dapat memahami bahwa “anukku” atau “kepunyaan saya” merujuk pada identitas atau kepribadian seseorang.  Ketika kita menyerahkan identitas kita kepada DDI dengan konsep pengabdian, perlu kita perhatikan bahwa dalam diri manusia terdapat tiga aspek kepribadian menurut Sigmund Freud: Id, Ego, dan Super Ego. Ketiga aspek ini perlu seimbang agar dapat mengendalikan diri dengan baik.

Ketiga aspek kepribadian ini seringkali berkonflik satu sama lain. Id menginginkan kepuasan secepatnya, Super Ego menginginkan tindakan yang sesuai dengan norma, dan Ego berusaha untuk menemukan keseimbangan di antara keduanya. Keseimbangan antara ketiga aspek ini sangat penting karena jika hanya mengedepankan Id, seseorang mungkin menjadi impulsif, tidak bertanggung jawab, dan mengabdi hanya untuk mengambil keuntungan demi kepentingan pribadi. Jika terlalu mengedepankan Super Ego, seseorang mungkin menjadi terlalu ketat dan perfeksionis. Jika Ego terlalu lemah, seseorang mungkin kesulitan untuk mengendalikan dirinya dan membuat keputusan yang rasional. 

Dalam konsep pengabdian, jika kita menyerahkan identitas kita kepada DDI dengan ketiga aspek yang tidak seimbang, maka potensi manusia untuk membangun DDI akan mengalami kemunduran bahkan keruntuhan. Seperti kata Hary Tanoe, “Musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri.” Begitu pula dengan DDI, organisasi ini akan hancur jika murid-murid Gurutta yang berkecimpung di dalamnya menjadi musuhnya sendiri. 

Sebaliknya, jika ketiga aspek tersebut diberikan kepada DDI dengan kondisi seimbang, maka DDI akan berkembang pesat dan dikenal bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Inilah yang dimaksudkan oleh Gurutta ketika beliau berkata, “Anukku tenia anunna DDI naekia anunna DDI anukku to.”  Murid-murid Gurutta harus total dalam mengabdikan dirinya kepada DDI, bukan hanya dengan harta, tahta, dan jabatan, tetapi dengan seluruh aspek kepribadian mereka yang seimbang.

 

Pengabdian yang sejati terhadap DDI bukanlah tentang mengambil keuntungan atau memanfaatkan organisasi demi kepentingan pribadi. Tetapi pengabdian adalah tentang memberikan segala yang kita miliki, bukan hanya dalam bentuk harta atau jabatan, tetapi juga dalam bentuk identitas diri kita. Identitas mencakup seluruh aspek kepribadian, pikiran, waktu, usaha, dan komitmen yang kita persembahkan sepenuhnya untuk DDI. 

Ketika kita mengabdikan diri, kita tidak hanya memberikan materi, melainkan juga menyerahkan jiwa, raga, dan potensi diri kita. Dalam konteks ini, pengabdian berarti siap untuk melepaskan ego dan kebutuhan pribadi demi tujuan yang lebih besar, yaitu menjaga, mengembangkan, dan memajukan DDI sebagai warisan Gurutta. Pengabdian yang tulus tidak mengharapkan imbalan duniawi, tetapi fokus pada upaya menciptakan kontribusi yang bermakna dan berkelanjutan bagi DDI, dengan hati yang ikhlas dan semangat yang tidak terputus. Makanya Gurutta meyakinkan pengabdian murid-muridnya dengan sebuah pesan “Nigi-nigi murusu i DDI puang’e mursu ii linona.” Dari pesan ini, Gurutta ingin murid-muridnya mengabdikan diri kepada DDI dengan totalitas tanpa pengharapan imbalan dari DDI.

Dalam pengabdian, manusia pasti akan menghadapi rintangan dan godaan dalam perjalanan mencapai puncak pengabdiannya. Seorang ulama pada masa Islam klasik, pernah ditanya tentang makna pengabdian. Beliau menjelaskan bahwa hakikat pengabdian memiliki tiga aspek: 

  1. Tidak Menganggap Kepemilikan: Seorang hamba tidak boleh menganggap apa pun yang berada di bawah kendalinya atau wewenangnya sebagai milik pribadi. Sebagai hamba, ia tidak memiliki apa pun.
  2. Fokus pada Perintah: Segala aktivitas seorang hamba harus berpusat pada perintah tuannya dan menjauhi segala larangannya.
  3. Menunggu Izin: Seorang hamba tidak boleh melakukan sesuatu tanpa izin dari tuannya. 

Ketika ketiga aspek ini tertanam dalam diri seorang pengabdi, maka apapun tantangan dan godaan yang dihadapinya, ia tidak akan tergoyahkan dari pengabdiannya. 

A.G. Abdurrahman Ambo Dalle sebetulnya tidak gagal menjadi seorang guru, namun murid-murid beliaulah yang justru gagal mengikuti jejaknya. Sebagai murid-murid A.G. Abdurrahman Ambo Dalle, beliau telah memberikan jalan untuk mengikuti langkahnya melalui pesan-pesan yang disampaikan. Namun, kita sebagai murid salah memahami arti dari pesan tersebut sehingga pengaplikasiannya tidak maksimal. Alhasil, murid-murid A.G. Abdurrahman Ambo Dalle belum ada yang bisa mengikuti jalannya, apalagi melampauinya. Bahkan, yang lebih parah, ketika murid-murid beliau mengabdikan diri kepada DDI, mereka bukannya memberikan keuntungan kepada DDI, melainkan mengambil keuntungan dan merugikan DDI demi kepentingan dirinya sendiri. 

Hal ini harus kita evaluasi sebagai kader IMDI, terutama warga DDI. Apakah pengabdian yang kita jalani sudah sesuai dengan petunjuk Gurutta yang diberikan kepada kita? Apakah pengabdian kita kepada DDI memberikan keuntungan kepada DDI atau malah merugikannya? Mari kita evaluasi diri kita sendiri untuk memastikan bahwa DDI yang diperjuangkan oleh Gurutta selama ini tidak terputus di generasi kita dan membuat DDI lebih maju lagi.

_____________
Tim Penulis :
Muh.Jasman, S.Pd
Suci Ramadhani
Adania
Warda
Sucitra
Nurmadina

ddi abrad 1