Menjaga Keluhuran Sejarah Bangsa

0
95

Prof. Dr. H. Muh. Suaib Tahir, Lc. MA.

Membaca La Galigo: Menjaga Keluhuran Sejarah Bangsa

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita memiliki warisan sejarah yang megah dan penuh makna.

Salah satu warisan tersebut adalah La Galigo, karya sastra terpanjang di dunia yang berasal dari tradisi Bugis.

Karya monumental ini diperkirakan terdiri dari sekitar 6.000 halaman folio atau 300.000 baris puisi, menjadikannya lebih panjang daripada Mahabharata dan Ramayana dari India serta epik karya Homerus dari Yunani.

UNESCO bahkan mengakui La Galigo sebagai salah satu produk sastra paling produktif di dunia.

Namun, meskipun memiliki nilai sejarah dan sastra yang luar biasa, popularitas La Galigo di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan epik-epik besar lainnya.

Padahal, bagi sebagian masyarakat Bugis yang menganut agama lokal, Tolotang, La Galigo dianggap sebagai kitab suci mereka.

Sejarah dan Nilai Karya La Galigo

La Galigo tidak hanya bernilai sebagai karya sastra, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai spiritual dan keagamaan.

Menurut UNESCO, karya ini berasal dari abad ke-14, meskipun kemungkinannya lebih tua dari itu.

La Galigo lahir sebelum Islam masuk ke Nusantara dan pada awalnya hanya dikenal dalam bentuk tuturan lisan.

Pada paruh pertama abad ke-19, La Galigo mulai ditulis dalam aksara Lontara, bahasa tradisional Bugis, dan sejak itu menjadi bagian penting dari khazanah sastra Bugis.

Banyak ahli sastra menganggap komposisi bahasa dalam La Galigo memiliki kualitas sastra yang sangat tinggi dan indah.

Namun, dengan semakin langkanya pengetahuan tentang teks-teks kuno Bugis dan rendahnya tingkat penguasaan terhadap bahasa serta aksara Lontara, pelestarian La Galigo kini menghadapi ancaman serius.

Hal ini menjadi penting karena nilai dan pesan yang terkandung dalam La Galigo sangat filosofis dan menyentuh banyak aspek kehidupan manusia.

Struktur dan Isi La Galigo

Struktur La Galigo mengisahkan tentang mitos penciptaan dunia, asal-usul manusia pertama, serta silsilah dewa-dewa dan budaya masyarakat Bugis.

Isi cerita yang terdiri dari puluhan episode ini mematuhi aturan sastra yang ketat, menjadikannya sebagai karya sastra epik yang luar biasa panjang dan kompleks.

Di dalamnya terkandung berbagai norma dan konsep kehidupan, serta simbolisme yang menggambarkan kedalaman budaya dan peradaban Bugis.

Pementasan La Galigo di Dunia

Pada tahun 2004, La Galigo menarik perhatian dunia internasional ketika disutradarai oleh Robert Wilson, seorang sutradara terkenal asal Amerika Serikat.

Pementasan pertama kali dilakukan di Singapura, kemudian berlanjut ke Eropa, termasuk Amsterdam, Barcelona, Madrid, dan Lyon.

Pada Juli 2004, La Galigo juga dipentaskan di New York. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2006, La Galigo dipentaskan di Jakarta, sebelum akhirnya kembali ke tanah kelahirannya di Makassar pada tahun 2011.

Pada tahun 2011, La Galigo mendapatkan pengakuan lebih besar ketika UNESCO menetapkannya sebagai Memory of the World.

Pengakuan ini menjadi langkah penting dalam pelestarian warisan budaya Nusantara yang luar biasa ini, dan menjadikan tanggung jawab pelestariannya tidak hanya milik masyarakat Bugis, tetapi juga negara sebagai pemangku kepentingan utama dalam menjaga kekayaan budaya ini.

Akulturasi Islam dalam La Galigo

Seiring dengan masuknya agama Islam ke Nusantara, La Galigo mengalami fenomena intertekstual.

Beberapa unsur Islam, seperti doa berbahasa Arab, ayat-ayat Al-Qur’an, dan nama-nama Asmaul Husna, mulai muncul dalam cerita-cerita yang lebih baru.

Namun, menariknya, unsur-unsur Islam tersebut tidak menggantikan kepercayaan lama, melainkan disajikan berdampingan dengan tradisi lama, menunjukkan betapa La Galigo tetap menjadi warisan yang kaya meskipun telah mengalami akulturasi budaya.

Dengan demikian, La Galigo tetap menjadi bagian integral dari tradisi sastra Nusantara, menggabungkan unsur-unsur lokal dan universal.

Menjaga Keluhuran Sejarah Bangsa

La Galigo bukan hanya sebuah karya sastra, tetapi juga simbol kedalaman budaya dan peradaban Nusantara. Melalui pemahaman dan penghargaan terhadap warisan seperti La Galigo, kita dapat menghindari menjadi bangsa yang ahistoris.

Bangsa Indonesia harus bangga dengan akar budayanya, karena itulah yang akan menjaga kekuatan dan kehormatan bangsa di mata dunia.

Dengan demikian, pelestarian La Galigo menjadi tanggung jawab kita bersama, bukan hanya untuk masyarakat Bugis, tetapi juga untuk seluruh bangsa Indonesia dan dunia.

Keberlanjutan warisan ini sangat penting agar generasi mendatang dapat terus mempelajari dan menghargai kekayaan budaya yang ada, serta menjadikannya sebagai landasan untuk menjaga keluhuran sejarah bangsa Indonesia.

ddi abrad 1