Pulang Ke Kampung Kemanusiaan

0
106

TASAWUF RAMADAN (25)

PUASA TAJALLI (e)

Mudik Duniawi; Pulang ke kampung kemanusiaan

Oleh: Husain Alfulmasi

Mudik merupakan istilah yang hanya ada di Indonesia. Mudik mulai santer diperbincangkan pada awal Ramadan dan terlebih di paruh akhir Ramadan.

Mudik benar-benar tradisi ala Indonesia dan ramai disiarkan oleh hampir semua media massa; online maupun elektronik.

Konon asal muasal kata mudik yang pertama berasal dari kata ‘udik’ yang artinya kampung. Kata ‘udik’ ini kemudian mendapatkan tambahan kata ‘mulih’ dan dalam bahasa Jawa bermakna pulang sebentar.

Penggabungan kata ‘mulih’ dan ‘udik’ inilah yang kemudian disingkat mudik atau mulih udik yang berarti pulang sebentar ke kampung.

Mudik bagi masyarakat Indonesia merupakan momen paling ditunggu-tunggu. Bahkan konon banyak masyarakat non-muslim di Indonesia yang ikut merayakan tradisi mudik dengan pulang ke kampung halamannya saat menjelang lebaran.

Mudik adalah perjalanan pulang ke kampung halaman dengan mengendarai berbagai macam moda transportasi; transportasi darat, laut dan udara.

Bahkan ada yang mudik tanpa alat transportasi sedikitpun, hanya mengandalkan jalan kaki. Mereka rela dan senang melakukan itu karena luapan gembira bisa pulang kampung.

Tak jelas informasi asal mula sejarah tradisi mudik ini, namun konon tradisi mudik sudah ada sejak ratusan tahun silam bahkan sejak masa pemerintahan Majapahit.

Masyarakat Majapahit kala itu merupakan masyarakat yang taat beragama, menjunjung tinggi rasa toleransi dan sangat religius.

Tujuan mereka pulang kampung ialah untuk membersihkan makam para leluhur dan berkumpul dengan sanak saudara. Namun tradisi pulang kampung saat hari raya besar keagamaan saat itu belum bernama mudik.

Jelasnya tradisi mudik secara sosiologis dan antropologis tidak terlepas dari asimilasi budaya asli Indonesia dengan ajaran silaturahmi dalam Islam.

Kalau kita bertanya kepada mereka alasan mudik maka mungkin jawabannya bermacam-macam antara lain:

(1) ingin ketemu sana keluarga.

Apalagi kalau kepulangannya itu baru dapat dilakukan setelah beberapa tahun menanti, tentu banyak sanak keluarga dan teman yang ia rindukan.

(2) Ada kerinduan yang begitu mendalam dengan suasana kampung halaman yang sederhana, adem dan kekeluargaan.

(3) Sumpek dengan suasana kota.

Kini kota-kota kita sudah identik dengan macet, tindakan kriminalitas di mana-mana, jiwa sosial masyarakatnya pudar, individualistik serta cenderung konsumtif.

(4) Ingin membuktikan kepada orang di kampung akan kesuksesan di rantauan.

Dia sangat bangga dan berharap kepulangannya ke kampung halaman mendapat sambutan baik sekaligus ajang pembuktian bahwa dia sebagai orang kampung dapat meraih sukses di kota rantauan.

Sisi lain dari mudik para pemudik pasti selalu membawa oleh-oleh khas kota, tak lupa juga membawa sejumlah uang hasil jerih payahnya hidup di kota.

(5) Ingin menyambung dan mempererat silaturahmi dengan tetangga, teman dan keluarga jauh yang sudah lama tak berjumpa.

Namun demikian, walaupun mudik ke kampung halaman sifatnya hanya sementara, habis lebaran kita kembali lagi ke kota untuk berjibaku dengan pekerjaan.

Tetapi setidaknya mudik yang kita lakukan mengikis sifat individualistik kita, mengajarkan kesederhanaan dari kemewahan dan hedonisme yang melanda orang-orang kota.

Mudik ini mengembalikan fungsi kemanusiaan kita sebagai makhluk sosial.

Puasa Ramadan mengajarkan itu (sebagaimana hadis Nabi) bahwa saat seseorang berpuasa ada dua kegembiraan yang akan dinikmati; kegembiraan pada saat berbuka (mudik sehingga bisa berlebaran bersama keluarga di kampung halaman) dan kegembiraan pada saat (mudik ukhrawi untuk) berjumpa dengan sang kekasih Allah SWT.

Mudik kali ini juga mengajarkan kita pulang sebentar ke kampung kemanusiaan kita agar tetap mencintai keluarga, lingkungan hijau, mencintai kedamaian seperti damai dan hijaunya suasana kampung halaman. itulah mudik duniawi!

Polewali, 25 Maret 2025

ddi abrad 1