Bahaya Mengkafirkan Sesama Muslim

0
324

Prof. Dr. H. Muh. Suaib Tahir, Lc. MA.

Bahaya Mengafirkan Sesama Muslim!

Kelompok takfiri menganggap bahwa label kafir “harus” dilekatkan kepada mereka yang menolak ajaran Tuhan, atau yang berbeda paham dengan mereka.

Kelompok takfiri tidak menyadari bahwa kata “kafir” yang mereka tudingkan justru merupakan kekafiran itu sendiri.

Mereka tidak memahami bahwa kata “kafir” memuat konsekuensi teologis yang sangat serius.

Perilaku ini identik dengan apa yang dilakukan iblis ketika menolak bersujud kepada Nabi Adam.

Sebuah perilaku yang melahirkan kredo bahwa dosa pertama yang dilakukan oleh makhluk adalah keangkuhan.

Makhluk itu adalah iblis, dan ia mendapat predikat kafir akibat tindakannya itu.

Pernyataan ini terekam dalam Al-Qur’an bahwa sifat sombong telah ada sejak zaman Nabi Adam diciptakan.

Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 34 menyatakan dengan sangat jelas;

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَٰٓئِكَةِ ٱسْجُدُوا۟ لِءَادَمَ فَسَجَدُوٓا۟ إِلَّآ إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَٱسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلْكَٰفِرِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”

Para malaikat menyadari bahwa perintah ini tidak boleh ditangguhkan karena itu adalah tanda ketaatan dan penyerahan diri kepada-Nya.

Maka, mereka pun segera sujud tanpa menunda atau berpikir, apalagi perintah tersebut langsung dari Allah yang maha mengetahui dan maha bijaksana, bukan dari siapa yang bisa jadi keliru.

Sedangkan iblis menolak sujud bukan dengan alasan takut kesyirikan, tetapi muncul dari keangkuhan yang menjadikannya menduga bahwa ia lebih baik dari Adam.

Di dalam Al-Qur’an, Allah menyebut sikap sombong iblis dengan menggunakan kata ‘istikbar’, bukan takabbur.

Menurut Quraish Shihab kata istakbara terambil dari kata ‘kabura’ dengan penambahan dua huruf yaitu ‘sin’ dan ‘ta’.

Kedua huruf ini berfungsi mengilustrasikan betapa tegas dan kukuhnya keangkuhan itu.

Dengan demikian, kata istakbara menggambarkan keangkuhan yang luar biasa.

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa keangkuhan berbeda dengan membanggakan diri.

Membanggakan diri belum tentu menganggap dirinya lebih dari orang lain, bahkan boleh jadi saat itu dia masih tetap mengakui keunggulan pihak lain atau sama dengannya.

Adapun keangkuhan yang dimaksud adalah membanggakan diri sembari dengan merendahkan pihak lain.

Jika mengacu pada kisah pada ayat di atas, iblis menyatakan keunggulan asal usulnya sembari memandang rendah asal-usul makhluk lain.

Maka karenanya, kata istikbar berkorelasi dengan fenomena kekufuran.

Hal ini diperjelas dengan ayat-ayat yang menunjukan hubungan yang mendasar seperti syirik, kufur dengan sikap angkuh dengan konsekuensi ancaman yang sangat besar.

Imam At-Tabari dalam Tafsir Al-Tabari mengatakan bahwa walaupun ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan iblis secara khusus, namun maksud dalam ayat ini secara umum dapat diasosiasikan untuk setiap orang yang bersikap sombong seperti iblis.

Sombong yang dimaksud adalah merasa lebih dan lebih dari pihak lain sembari merendahkan dan menyalah-nyalahkan untuk menegaskan “kebaikannya”.

Perilaku istikbar ini terwariskan kepada kelompok-kelompok takfiri hingga di era kini | Hanya mereka tidak sadar bahwa penghakiman “kafir” kepada kelompok lain itu sesungguhnya adalah cermin atas status kekafiran mereka sendiri.

Rasulullah Saw. pernah bersabda:

أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيْهِ : يَا كَافِرَ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

“Siapa yang memanggil sesama muslim dengan panggilan, “Hai kafir”, maka salah satunya akan kena jika klaim itu benar. Apabila tidak, maka (klaim kafir) akan kembali kepada orang yang menuduhnya.” (HR: al-Bukhari dan Muslim).

Padahal mayoritas ulama menyepakati bahwa orang yang melafalkan dua kalimat syahadat berarti dia sudah masuk Islam.

Dengan demikian, non-muslim yang mengucapkan dua kalimat syahadat dengan sendirinya statusnya beralih menjadi muslim.

Imam As-Syaukani menjelaskan, tidak pantas bagi seorang muslim atau orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menvonis kafir orang lain sebelum menunjukkan bukti yang lebih jelas dari cahaya matahari.

Maksudnya, seorang muslim tidak boleh mengafirkan sesama muslim, kecuali kalau pihak bersangkutan terang-terangan menyatakan diri sudah keluar dari Islam.

Karenanya, lebih baik menahan diri untuk tidak mengafirkan orang lain.

Kalaupun ada berbeda pendapat dengan orang lain, sikapilah dengan bijak dan pikiran terbuka, tanpa harus saling mengafirkan dan melaknat.

 

ddi abrad 1