Belajar Memaafkan

0
88

Prof. Dr. H. Muh. Suaib Thahir, Lc. MA.

Belajar Memaafkan dari Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq

Suatu hari, Abu Bakar geram sekaligus sedih karena ada sebuah fitnah terhadap Aisyah, anak kandungnya.

Aisyah difitnah telah berzina dengan salah seorang sahabat Nabi.

Tentu ini merupakan fitnah yang keji. Abu Bakar mencari-cari, siapa yang menyebarkan rumor ini.

Akhirnya, ketahuanlah bahwa salah satu yang ikut menyebarkan gossip itu adalah Misthah bin Utsasah, yang merupakan sepupunya sendiri.

Selain sepupunya sendiri, Misthah adalah seorang fakir yang kehidupannya dibiayai oleh Abu Bakar.

Ketika mengetahuinya, Abu Bakar bak petir di siang bolong.

Bagi kita, apa yang dilakukan Misthah mungkin sama dengan berkhianat.

Bayangkan saja, yang menyebarkan fitnah terhadap anak Abu Bakar adalah sepupunya sendiri yang tiap hari segala hajat hidupnya dipenuhi oleh Abu Bakar.

Abu Bakar telah berbuat baik kepadanya, namun ia dikhianati oleh keluarganya sendiri.

Memang, Misthah bukanlah pihak yang membuat fitnah itu.

Ia adalah orang baik. Ia merupakan bagian dari kalangan Muhajirin yang berpindah dari Makkah ke Madinah. Ia juga pejuang Perang Badar Bersama Rasulullah.

Hanya saja, ia termakan isu yang menyebar, dan sayangnya, bukannya mengkonfirmasi kebenarannya, Misthah justru ikut “membantu” menyebarkan fitnah itu.

Oleh karena fitnah itu, kebaikan-kebaikan Misthah menjadi tidak ada artinya. Namanya tercoreng luar biasa.

Bagaimana tidak, menyebarkan fitnah tentang istrinya Nabi Muhammad Saw. Hal ini otomatis memancing amarah di kalangan umat Islam, terutama para sahabat.

Mereka secara serempak memberikan sentimen buruk kepada Misthah. Ia dicela, diboikot, dijauhi, bahkan dalam sebuah riwayat, ibu kandungnya sendiri turut mengutuk Misthah.

Sejak itulah, Misthah menjadi sangat terpuruk. Lalu, bagaimana dengan Abu Bakar?

Tentu saja ia kecewa luar biasa. Ia marah, geram, dan merasa dikhianati. Sampai-sampai, Abu Bakar bersumpah, seperti yang tertulis dalam hadis riwayat Ahmad,

“Demi Allah selamanya aku tidak akan menafkahi Misthah sedikitpun.”

Abu Bakar bukan sembarang sahabat. Ia adalah orang terdekat Nabi. Orang yang dikenal jujur luar biasa. Orang yang santun dan juga sangat pemaaf.

Jika seorang dengan kepribadian semulia itu saja sampai menyumpahi Misthah, maka memang tidak main-main kekecewaan Abu Bakar dan sebegitu parahnya kesalahan Misthah.

Namun, reaksi Abu Bakar ini rupanya tetap tidak dibenarkan oleh Islam.

Allah langsung merespon sumpah serapah Abu Bakar lewat Qur’an Surat an-Nur ayat 22,

وَلَا يَأْتَلِ أُو۟لُوا۟ ٱلْفَضْلِ مِنكُمْ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤْتُوٓا۟ أُو۟لِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا۟ وَلْيَصْفَحُوٓا۟ ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Ayat tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa Allah tidak ingin hambanya tidak memaafkan sesamanya sekalipun ia dikecewakan.

Allah menyindir hambanya yang “sok” mempunyai harta, kemudian memperlakukan orang lain dengan sewenang-wenang hanya karena ia dirugikan.

Kisah Abu Abu Bakar layak dijadikan sebagai refleksi. Meskipun kita kecewa, meskipun kita merasa sudah dikhianati oleh orang yang kita “baik” kepadanya, mengapa kita tidak bisa memberi maaf?

Allah mengingatkan kita soal “lupa diri” yang seringkali menjangkiti manusia.

Padahal, semua manusia pada hakikatnya setiap hari “mengecewakan” kepada Allah, yang bukan hanya memberi kita makan, tetapi memberi kita nyawa, memberi rejeki, memberi kehidupan yang nyaman, dan lain sebagainya.

Dengan itu semua, umat manusia masih sering berkhianat. Umat manusia setiap hari melanggar perintah Sang Maha Pemberi.

Meskipun begitu, Allah selalu memaafkan kita meskipun Allah mengetahui bahwa besok manusia bakal berbuat dosa lagi.

Kesadaran ini yang setidaknya membuat Abu Bakar langsung menarik sumpahnya, dan kembali memperlakukan Misthah seperti dulu lagi.

ddi abrad 1