Prof. Dr. H. Muh. Suaib Tahir, Lc. MA.
Mencetak Santri Spiritual dan Intelektual
Umat Islam saat ini terkesan “kepayahan”, bahkan cenderung pasif, ketika berhadapan dengan perkembangan peradaban yang signifikan.
Islam bahkan dicitrakan sebagai anti-tesis dari kemajuan zaman. Citra negatif Islam mencapai klimaksnya setelah tragedi 11 September 2001.
Di Indonesia, pesantren sering kali menjadi sorotan. Media Barat bahkan sempat menggambarkan pesantren sebagai tempat penyebaran radikalisme.
Tradisi Islam klasik di pesantren pun sering dianggap berbenturan dengan gagasan modernitas, seperti terlihat pada sikap ta’zhim santri kepada kyai yang dianggap bertentangan dengan prinsip kesetaraan manusia.
Keraguan terhadap relevansi pendidikan pesantren dalam mengikuti perkembangan teknologi dan informasi juga muncul, tidak hanya dari Barat, tetapi juga dari beberapa kalangan Muslim sendiri.
Tetapi kekhawatiran itu dijawab melalui Hari Santri 2024 yang bertema “Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan”.
Tema ini bukan sekadar slogan. Tema ini menegaskan bahwa perjuangan santri di masa lalu tetap relevan dalam menghadapi tantangan masa depan.
Santri, sebagai garda terdepan umat Islam yang selama ini terlibat dalam pembelaan bangsa dan negara, perlu terus menguatkan peran mereka dalam konteks kebangsaan dan keagamaan.
Dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks, mulai dari perkembangan teknologi hingga dinamika perubahan sosial, santri diharapkan mampu beradaptasi dan bersikap progresif tanpa mengabaikan nilai-nilai yang menjadi landasan mereka.
Semangat ini sudah tercermin di berbagai pesantren dengan prinsip “Global Citizens” untuk membawa para santri ke kancah global.
Penting bagi santri untuk terlibat dalam diskusi internasional dan menguasai bahasa asing, terutama bahasa Inggris, sebagai jembatan menuju dunia global.
Pesantren idealnya menekankan tiga aspek utama, yaitu keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, pengembangan ilmu pengetahuan, serta pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara.
Tiga darma tersebut adalah upaya untuk menjaga harmoni antara tradisi Islam klasik dan relevansi dengan perkembangan zaman modern.
Selain itu, inovasi lain yang sudah diterapkan di beberapa pesantren adalah sistem keuangan cashless di kalangan santri, yang bertujuan mengatasi masalah internal sekaligus melatih para santri agar lebih hemat.
Pesantren-pesantren ini berkomitmen mengombinasikan kekayaan keilmuan klasik dengan perkembangan teknologi modern, sebagai bagian dari upaya kontra narasi terhadap stereotip pesantren sebagai pusat konservatisme dan radikalisme.
Santri kekinian harus menguasai ilmu agama sekaligus mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi informasi.
Artinya Pesantren saat ini harus mempunyai kesadaran untuk melahirkan generasi Muslim yang moderat, progresif, dan siap bersaing di era digital.
Hari Santri 2024 menjadi momen untuk mengapresiasi pesantren-pesantren yang terus berkembang dan berusaha tetap relevan di tengah laju modernitas dan digitalisasi.
Hari Santri merujuk pada peristiwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.
Resolusi ini berisi seruan kewajiban berjihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan melawan penjajah, hingga memuncak pada perlawanan 10 November 1945, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Perjuangan yang dilakukan oleh para santri, ulama, dan pahlawan sebelumnya harus terus dilanjutkan oleh generasi sekarang dengan gaya yang relevan.
Nilai-nilai keislaman, nasionalisme, dan pengabdian pada bangsa yang telah diperjuangkan harus dipertahankan dan diteruskan tanpa putus.
Saat ini, Resolusi Jihad dapat diterjemahkan sebagai upaya Kyai dan pesantren mencetak generasi santri yang tidak hanya religius, tetapi juga memiliki wawasan global dan adaptif terhadap perubahan zaman untuk melawan kebodohan dan konservatisme yang saat ini menjadi “duri dalam daging” dalam umat beragama kita.