Idul Fitri Simbol Sukacita

0
240

Ada dua hari raya dalam Islam, yaitu idul fitri dan idul adha. Secara leksikalnya, kata “id” berarti “kembali” karena setiap tahunnya orang kembali dengan suasana yang menyenangkan dan terbarukan.

Ia juga bisa berarti hari di mana kaum muslimin berkumpul, atau bermakna “al-‘awd” yang berarti kaum muslimin “kembali” setiap tahun merayakannya, atau bermakna “al-‘adah” yang berarti kaum muslimin sudah terbiasa menyaksikan dan merasakan indahnya perayaan itu setiap tahunnya.

Filosofi idul fitri adalah kembalinya nilai-nilai kemanusiaan dan keislaman dalam denyut nadi umat Islam yang menjiwai kesehariannya.

Kita diarahkan untuk mengisinya dengan sukacita yang bernafaskan ibadah dan moralitas yang tinggi. Sebulan lamanya kita berpuasa mengendalikan hawa nafsu, bertarawih di malam harinya, mengaji di siang atau malamnya, berzikir, berdoa, dan aneka ibadah sunnah lainnya.

Di bulan Ramadhan kita memperbanyak sedekah, berzakat harta, bahkan berzakat fitrah. Bulan Ramadhan adalah momentum pembinaan kesadaran diri. Atas dasar itu, masuknya idul fitri sebagai pertanda akan kemenangan karena telah menjalaninya secara ikhlas.

Bertakbir memuji keesaan dan keagungan Allah Swt seiring masuknya malam lebaran adalah syiar yang dianjurkan. QS. al-Baqarah: 185 yang menyebut “hendaklah engkau mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu” mengindikasikan bahwa pengagungan Allah Swt selain karena memang pantas diagungkan juga karena hidayah-nya.

Ramadhan adalah bulan yang dilimpahkan aneka keistimewaan kepada umat Islam yang bermuara peningkatan ketakwaan kita kepada-Nya.

Penghujungnya direspons dengan takbir sebagai tanda kesyukuran.
Lafal takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil membasahi bibir, memenuhi hati, dan menghiasi gerakan fisik kita merupakan bentuk praktis di setiap kaum beriman.

Meski tidak harus pawai, berkumpul, ataupun dengan pengeras suara yang berlebihan, bertakbir sendiri-sendiri tidak kalah khidmatnya. Terlebih di masa pandemi ini, nuansa takbir dari rumah masing-masing akan lebih membantu kita merenungi kalimat demi kalimat yang dilantunkan.

Bertakbir identik dengan perendahan hati di hadapan Allah, bukan kesombongan terhadap orang lain. Inilah bedanya takbir dalam nuansa agama dibandingkan takbir karena motif kepentingan duniawi.

Kesukacitaan berlebaran sejatinya terjadi bukan sekadar faktor waktu, melainkan karena telah mengisi hari-hari Ramadhan yang penuh ampunan dan kasih sayang Allah SWT. Perasaannya pasti diliputi kesukacitaan yang tidak tertuturkan. Sejatinya kesukacitaan berlebaran lebih bersikap spiritual daripada fisik.

Ketakwaan sebagai muara kewajiban berpuasa adalah indikator utama kesuksesan melewati Ramadhan. Ketakwaan ini terpatri dalam tutur dan laku keseharian. Orang yang berlebaran pasti senang dan menyenangkan orang di sekitarnya.

Dengan begitu, idul fitri adalah kelanjutan dari kewajiban mengisi Ramadhan dengan aneka kebaikan. Berlebaran adalah syiar agama yang harus berdampak pada dimensi ritual, spiritual, dan sosial. Secara ritual, amalan Ramadhan harus terpatri setelahnya. Pelipatgandaan pahala adalah bonus sekaligus motivasi untuk terus meningkatkannya di luar Ramadhan.

Banyak orang yang hanya fokus beribadah sunnat di bulan suci itu, tetapi setelahnya agak berkurang. Padahal, Ramadhan mestinya hanya diposisikan sebagai bulan pengisian energi untuk lebih optimal setelahnya.

Secara spiritual, keimanan akan semakin meningkat. Adapun secara sosial menjadikan seseorang sebagai pribadi yang peduli dengan sesama. Zakat dan sedekahnya di bulan Ramadhan harusnya menuntun rasa empati, sehingga selalu tergerak memberi yang terbaik untuk orang lain.

Salah satu ungkapan yang dinisbahkan kepada Ibn ‘Abbas menyebut bahwa bahwa “Orang yang berpuasa setelah Ramadhan bak orang yang kembali (al-karr) setelah melarikan diri (al-farr)” (Latha’if al-Ma’arif/391). Disebut “melarikan diri” karena saat berpuasa Ramadhan suasana batin seperti lagi berperang mengekang nafsu.

Saat berlebaran, kita terlarang berpuasa agar dapat mensyiarkannya dengan penuh kegembiraan. Ini pertanda bahwa keberlanjutan sebuah amalan Ramadhan di luar bulan suci itu adalah sebuah keniscayaan. Tentu saja sesuai konteksnya.

Mudik adalah peristiwa budaya yang mengiringi perayaan lebaran. Ia sarat akan makna silaturahmi dan pembaruan spirit perbaikan di tanah rantau. Mudik substantif tak kalah pentingnya, yaitu kembali kepada nilai kesucian kita dengan mengukuhkan perjanjian primordial kita dengan Allah Swt dalam segala aspeknya.

Semoga dimudahkan kita bersilaturahmi kembali dengan orang tua, keluarga, guru, dan sahabat, dan suasana kampung halaman.

ddi abrad 1