Materi adalah sesuatu yang kadang menjijikkan bagi agama karena dipahami sebagai berlawanan dengan ruh yang bersifat spiritual, bahkan menggaggu kesucian ruhani.
Semakin jauh dari materi berarti semakin dekat ke ruhani. Karena itu, tidak jarang agama memenuhi dirinya dengan ritual sebagai latihan untuk menjauhi materi.
Puasa dipahami sebagai perlawanan terhadap tubuh dan itu materi. Gerak tubuh dan bacaan dalam ritual dipahami sebagai upaya untuk menaiki tangga ruhani dan itu berarti meninggalkan materi.
Tindakan menyisihkan harta untuk orang lain juga sebagai tanda betapa materi itu memang hina dan rendahan.
Problemnya, dunia material itu ada dan manusia hidup di dalamnya. Kehadirannya nyata, tidak dapat disangkal bahwa ia benar-benar ada.
Bahkan, apapun yang dipahami oleh manusia sebagai ilmu pengetahuan baginya tidak pernah terlepas dan bahkan turut bergantung kepada hal-hal material karena mengetahui (di antaranya) berarti menginternalisasi hal-hal yang material dari luar diri ke dalam diri atau menginternalisasi realitas objektif material ke dalam realitas subjektif. Karena itu, materi niscaya adanya.
Saat manusia beraktivitas, maka jelas hal-hal material tampak di sana dan memengaruhi apa yang disebut dengan kesadaran.
Memang materi terasa membatasi gerak manusia yang sesungguhnya hendak melampaui yang material, tetapi meteri tidak hanya membatasi kesadaran manusia, namun juga membentuknya atau memberinya bentuk hingga dapat dikenali.
Jadi, selain membatasi, materi memberi peluang.
Kesadaran adalah interaksi diri dengan di luar diri kala di luar diri menyerbu diri dari segala arah dan diri mendefinisikan dirinya lewat kenyataan itu.
Para filosof memandang materi sebagai bahan kecil tak terbagi, keras tak terpecahkan, dan padat tak terurai dan tak menyerap, serta abadi.
Di luar materi hanya ada kehampaan yang disebut ruang. Materi yang disebut tadi pada dasarnya tidak terlihat, tetapi ada. Yang terlihat adalah kumpulan dari materi-materi tadi yang membentuk benda-benda kasat mata.
Problem sesungguhnya adalah pemahaman di atas adalah pandangan yang sains yang mengandung kelemahan, yaitu terpaku pada persepsi indrawi. Karena itu, hanya bisa menangkap gerak yang tampak dan tidak bisa lebih jauh dari itu.
Selain itu, cara pandang tersebut telah membagi dunia menjadi dua, yaitu subjek dan objek dan objek pun pastilah material. Padahal persepsi tidak hanya indrawi, tetapi juga pemikiran.
Pemikiran memiliki kemampuan untuk memahami. Pemikiran bisa berdiri sendiri, terlepas dari objek material.
Yang dimaksud telepas dari objek material contohnya adalah saat seseorang mengenali orang lain, maka pengenalan itu tersimpan di pikiran dan pengenalan itu tidak lagi bersifat material.
Karenanya, bisa dibawa ke mana-mana dan nantinya dipakai oleh seseorang untuk mengenali orang lain tersebut di waktu dan tempat yang berbeda.
Persoalannya, ada hal yang diidap oleh pemikiran yaitu asumsinya yang menyatakan bahwa seluruh kenyataan bersifat statis dan tertentu.
Perubahan-perubahan pada alam justru menandakan bahwa alam juga statis dengan bukti bahwa perubahan-perubahan pada alam adalah sesuatu yang tetap dan statis sehingga bisa diprediksi. Perubahan-perubahan tidak lebih daripada dinamika semu.
Contohnya adalah ide kausalitas di mana A adalah sebab dan B adalah akibat. Jadi, A pasti mengakibatkan B. A dan B dengan demikan adalah statis. Karena itu, ilmu pengetahuan bekerja dalam upaya untuk menemukan kepastian-kepastian atau sesuatu yang statis.
Asumsi bahwa kenyataan bersifat statis agak rapuh karena jadinya, apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan adalah kumpulan ingatan tentang masa lalu yang diterapkan di masa kemudian.
Padahal, masa kemudian belum tentu sama dengan masa lalu. Karena itu, harus ada pandangan yang berbeda dan lebih baik tentang hal ini dan itu dimulai dari pemahaman tentang waktu.
Secara umum dipahami bahwa waktu terbagi menjadi masa lalu, masa sekarang, dan masa datang.
Namun, pembagian itu agak rancu karena masa lalu tidak pernah tetap. Masa sekarang dan masa datang suatu saat berubah menjadi masa lalu.
Masa datang pun tidak tetap karena akan berubah menjadi masa sekarang dan masa lalu. Bahkan yang disebut masa sekarang jauh lebih tidak tetap karena setiap kita menyebutkan “sekarang”, maka “sekarang” itu telah berlalu beberapa saat yang lalu dan menjadi masa lalu.
Jadi, yang sesungguhnya ada adalah untaian atau gugusan masa sekarang yang tidak terputus, seperti untaian mutiara di sebuah kalung.
Apa yang disebut masa lalu dan masa datang juga sesunggunya adalah masa sekarang.
Konsekuensinya, segala sesuatu pada dasarnya selalu baru dan unik sehingga ingatan masa lalu tidak bisa dijadikan klaim untuk memahami masa sekarang.
Konsekuensi lainnya adalah semua berada di dalam proses karena masa sekarang, meskipun baru, berada di dalam intaian masa lalu dan masa datang.
Yang disebut masa sekarang adalah leburan dengan masa lalu dan masa datang.
Konsekuensi selanjutnya adalah tidak ada kepastian karena inti dari segalanya adalah tindakan dan itu adalah tindakan yang dilakukan sekarang.
Bagaimana hubungannya dengan meteri yang telah dibahas di awal?
Materi adalah sesuatu yang sangat penting karena kreativitas diri lahir karena persinggungan diri dengan materi, namun materi dipahami bukan sebagai sesuatu yang statis dan begitu pula dengan diri, bukanlah sesuatu yang statis.
Semuanya berlangsung di dalam waktu yang juga tidak statis. Karena itu, yang membuatnya berharga adalah kreativitas yang dilakukan sekarang.
Jika tidak, maka semuanya tidak lebih dari buih yang hanyut dalam sungai besar waktu hingga tidak berarti apa-apa.
Kreativitas didorong oleh sesuatu yang bernama ‘kehendak’. Bisa kehendak untuk hidup, kehendak untuk hidup baik, atau kehendak untuk berkuasa.
Apapun itu, intinya adalah kehendak lah yang mendorong hadirnya kreativitas.
Baik kehendak maupun kreativitas hanya hadir di dalam kesatuan pikiran spiritual dan badan material.
Badan dan pikiran bukan hal yang bisa dipisahkan dalam konteks kreativitas dan kehendak.
Apakah kreativitas itu bertujuan? Jelas ada yang memahami bahwa kreativitas tidak bertujuan.
Alasannya, tujuan membatasi gerak kreativitas. Tapi, bagi kaum beragama, sulit untuk mengatakan bahwa kreativitas tidak bertujuan karena tidak mungkin ada sesuatu yang tanpa tujuan.
Allah SWT tidak menciptakan sesuatu sia-sia, termasuk kreativitas dan kehendak. Tentu saja tujuannya adalah menjadi manusia seutuhnya manusia.
Apakah tujuan itu membatasi kreativitas?
Begini, apa yang disebut dengan manusia seutuhnya adalah sesuatu yang terus bergerak dan berubah sepanjang kreativitas seorang manusia dalam hidupnya yang terus-menerus berkreativitas.
Manusia seutuhnya bukan sebuah hal yang telah jadi miniaturnya dan manusia tinggal menirunya.
Jika begitu, maka itulah tujuan yang memasung kreativitas. Setiap manusia memiliki masa sekarangnya sendiri-sendiri yang tidak mungkin sama dengan manusia lain.
Karena itu, manusia seutuhnya bagi setiap manusia tidak pernah sama. Yang sama hanyalah bahwa mereka semua harus berkreativitas untuk mewujudkannya.
Pandangan pesimis melihat manusia semata-mata sedang menuju kepada kehancuran. Pandangan pesimis melihat bahwa usaha manusia untuk menjaga kesehatannya hanyalah semata-mata upaya menunda sakit.
Upaya manusia untuk tetap hidup hanya dianggap upaya untuk menunda kematian. Bahkan upaya manusia untuk menjaga harta juga adalah upaya untuk menunda kemiskinan yang mungkin tidak terjadi padanya, tetapi pasti terjadi pada keturunannya yang kesekian. Begitu pesimis.
Sesungguhnya tidak. Setiap kreativitas manusia adalah upayanya untuk menggapai kesempurnaan, apapun itu bentuknya.
Kegagalan-kegagalan hanyalah pelajaran. Manusia adalah makhluk pembelajar. Jika bagi kaum pesimis kematian adalah akhir dan kehancuran, maka bagi orang beragama, kematian bukanlah kehancuran, tetapi penggapaian kesempurnaan.
Karena itulah nama lain dari mati adalah wafat yang berarti penuh, utuh, sempurna.
Tulisan ini disadur dari ibihtafsir.ID