Puang Ali dan Puang Isa

0
425

Suatu waktu, di sekitar akhir tahun 80-an atau mungkin awal tahun 90-an, pagi2 Mas Ekie Syachrudin menelpon saya (di rumah) meminta untuk datang ke kantor Pan Asia di Patal Senayan. Kantor Pan Asia Research, yg dipimpin Mas Ekie, pada zaman Orde Baru, merupakan salah satu tempat yang paling banyak di datangi oleh para aktifis dan tokoh2 progresive, para pembaharu pd zamannya. Gus Dur, Nurcholis Madjid (Cak Nur) , Utomo Dananjaya, Sucipto Wirosardjono, Fahmi Idris, para tokoh dan aktivis 66 lainnya sering berkumpul pada di situ. Ada banyak peristiwa penting pada zaman itu yg dimulai dari kantor itu. Majelis Reboan (majelis yg mempertemukan tokoh2 modernis dan tradisionalis) misalnya, lahir dan memulai aktivitasnya disitu. Gagasan ttg Paramadina juga kayaknya lahir disitu. Bahkan Fordemnya Gus Dur juga lahir disitu. Paling tidak tokoh2nya (Tolleng, Natsir, Dll) biasa kumpul disitu. Mas Ekie, pemimpin Pan Asia, tampaknya punya daya rekat cukup kuat.

 

Saya dulu (ketika baru memulai) bekerja di situ; sebagai peneliti (sosial budaya) dan trainer. Pan Asia ini kerjanya melakukan penelitian (sosial budaya) dan menyelenggarakan pendidikan (membangun kemandirian) bagi masyarakat dan komunitas lapis bawah. Saya aktif disitu dari awal tahun 1980-an (mungkin 1983) sampai akhir 1980-an. Bagi saya Mas Ekie adalah Bos sekaligus adalah sahabat. Orangnya memang temperamental, tetapi sangat bersahabat, hangat dan setia kawan. Dia spontan. Maka meskipun sudah tidak bekerja di Pan Asia, sudah aktif di tempat lain, hubungan saya dg Mas Ekie tetap terjaga. Saya tetap datang dan membantu Pan Asia jika diminta.

 

Maka begitu ditelpon, meskipun tdk aktif lagi disana (waktu itu saya aktif di P3M dan PHT-FAO) saya begegas datang. Biasanya kalau mas Ekie menelpon ada sesuatu yg penting yg dia mau bicarakan. Saya tiba disana sekitar jam 09.00 pagi. Mas Ekie sudah menunggu di teras depan. Begitu saya datang di langsung mengajak dan menggandeng tangan saya masuk ke ruangannya. Disitu sudah ada teh dan kue2 kecil. Itu membuat saya agak heran. Biasanya kalau urusan kantor atau kerjaan ngobrol di ruang tengah atau di ruang rapat. Biasa juga sih di ruang dia; tetapi jarang. Ini tidak seperti biasa. Seperti ada sesuatu yg penting (apalagi ketika mendengar suaranya waktu menelpon tadi) tetapi sikapnya rileks. Kantor juga ketika itu masih sepi.

 

Setelah kami duduk, berdua saja, berbasi-basi, menanyakan kabar ttg keluarga, dia bertanya “bagaimana kabarnya bapak” (maksudnya Kiai Ali Yafie). Saya menjawab baik, sehat, dan bertanya “ada mas, kok pakai nanya Pak Ali Yafie”. Sambil senyum2 dia berkata ” Hel, apakah Bapak dan Ibu sebelum menikah dulu itu pacaran?”. Saya kaget dengan pertanyaan itu. “Bagaimana sih mas, Bapak dan Ibu saya itu orang zaman dulu .. santri .. menikah pada awal tahun 1940-an .. di kampung .. jadi mana ada yg namanya pacaran”. Dia mencecar lagi dg pertanyaan “.. tetapi sebelumnya apakah sudah pernah bertemu”. “Tidak pernah mas .. jarak kampung ibu dan kampung ayah itu cukup jauh untuk zaman itu .. mereka bertemu saat akad nikah”. Saya jadi penasaran. “Ada apa sih mas .. kok pertanyaannya aneh”. Sambil senyum2, dia bilang “tetapi kenapa kok romantis banget”. “Romantis bagaimana mas .. dari mana Mas Ekie tau ?”. Kata saya nyengir. “Cak Nur (Nurcholis Madjid) bilang ke saya .. kiai Ali Yafie itu romantis banget pada isterinya”. “Loh .. darimana Cak Nur tau ?”. “Mereka kan baru2 ini ber-sama2 naik haji”.

 

Waktu itu Ayah dan Ibu saya memang baru pulang haji, bersama rombongan Tiga Utama (travel Haji, yg paling kondang pada zaman itu). Cak Nur dan Ayah saya memang ber-sama2 bergabung menjadi pembimbing haji di Tiga Utama. “Bagaimana Cak Nur bisa sampai kepada kesimpulan (bhw) Ayah dan Ibu saya (hubungannya) sangat romantis”. Tanya saya, penuh minat.

 

Mas Ekie pun kemudian bercerita, bhw kemarin dia ke rumah Cak Nur (yg baru pulang haji). Ada banyak cerita, tetapi yg paling menarik dan mengesankan, kata Mas Ekie, adalah kisah ttg Kiai Ali Yafie dan isterinya, Aisyah Umar.

 

Konon pada satu waktu para pembimbing haji melakukan inspeksi ke Jedda. Karena sesuatu yg mendesak, tiba2 rombongan pembimbing saat itu juga hrs segera ke Madinah. Tetapi sebelum berangkat Kiai Ali Yafie, meminta kertas dan amlop kepada staf Tiga Utama. Lalu menulis surat, pendek, dan meminta agar surat itu segera diantar ke Isterinya, Ibu Aisyah Umar, di Makkah.

 

Rombongan itu pada hari itu juga balik dan mereka tiba di hotel tempat mereka menginap di Makkah setelah magrib. Anehnya setelah sampai di hotel, tidak seperti biasanya, kebanyakan dari para isteri dari rombongan itu menyambut suaminya dg dingin. Karena sudah waktunya mereka pun langsung makan malam. Suasannya agak kikuk, karena banyak diantara para isteri bergelombol makan dan bersikap cuek terhadap pasangannya dan ketika bicara lebih banyak memuji betapa baiknya Kiai Ali Yafie pada isterinya. Seharusnyalah dicontoh. Itu membuat Kiai Ali dan (terutama) Ibu Aisyah juga jadi salah tingkah; Ibu Aisyah seringkali tersipu malu. Entah karena ada Kiai Ali Yafie dan isterinya disitu para suami, meskipun heran dg sikap isterinya, tidak komplain. Mereka juga ikut menimpali bhw; Ibu Aisyah juga sangat baik kpd Kiai Ali Yafie. Tetapi suasana tetap kikuk.

 

Setelah Kiai Ali Yafie dan isterinya masuk kamar, barulah ada diantara suami itu yg mempertanyakan sikap isterinya, “kenapa sih pada bersikap seperti itu .. sampai Ibu Aisyah jadi malu2 .. ada apa sebenarnya ..”. Setelah didesak seorang diantara para isteri itu mengatakan “… apakah kalian memperhatikan tadi (waktu mau berangkat ke Madinah) Kiai Ali Yafie menyempatkan diri menulis surat ..?”. Seseorang menjawab, “Iya .. saya melihat Kiai menulis surat .. tetapi apa hubungannya dg kami”, kata orang yg tadi pagi itu di dekat kiai Ali Yafie dan melihatnya menulis surat itu. “Itu surat untuk Isterinya”. Tetap saja para suami itu tdk faham apa yg sebenarnya yg terjadi, sampai Cak Nur meminta isterinya menceritakan apa yg terjadi.

 

Isteri Cak Nur kemudian memceritakan bhw ibu Aisyah setelah menerima itu membawa dan membaca surat itu di kamarnya. Surat itu, setelah dibaca, diletakkan diatas meja dlm keadaan terbuka, dan terjatuh ke lantai ketika seseorang, dari isteri rombongan pembimbing, untuk suatu keperluan masuk ke kamar menemui ibu Aisyah. Dia memungut dan meletakkan kembali di meja. Tetapi, karena tulisannya rapi dan singkat, maka sekilas, dengan sekali lihat, isinya sempat terbaca. Isinya kurang lebih : “saya minta maaf, mendadak hrs ke Madina bersama rombongan, untuk urusan jama’ah, dan tidak sempat lagi kembali ke hotel memberitahukan. Tetapi insya Allah maghrib sudah kembali”. Itu saja.

 

Setelah keluar kamar ibu Aisyah, dia tidak tahan untuk tidak bercerita kpd kawan2nya ttg apa yg ditemuinya di kamar Ibu Aisyah. Lalu itu menjadi pembicaraan diantara mereka. Bagi ibu2 itu surat singkat dan sederhana itu dalam artinya. Ada banyak makna yg terkandung di dalamnya. Rasa sayang, penghargaan, kesetiaan, dsb. Paling tidak Kiai Ali tidak mau isterinya khawatir, tidak mengetahui ada dimana suaminya, bagaimana keadaan, kemana dia pergi, urusannya apa dan kepan kembali.

 

Begitulah seharusnya suami terhadap isterinya. Kata para isterinya. Itu bentuk perhatian dan penghargaan. “Kiai Ali Yafie saja, yg sudah berusia, bisa begitu romantis .. sementara kalian yg lebih muda, yg sudah mengenal masa pacaran .. justeru mengabaikan hal seperti itu”. Kata yg lain. “kalau menghormati, sayang isteri, seharusnya seperti kiai Ali Yafie itu”. Salah seorang suami berkilah, “tetapi Ibu Aisyah sendiri kan sangat perhatian kpd Kiai Kiai Ali Yafie”. Jadi heboh de.

 

Bagi para suami itu, itu hal mungkin sepele. Mungkin mereka menganggap bahwa karena kesibukan mereka, isterinya bisa memaklumi segala tingkah lakunya, di luar sana. Sudah faham apa yg mereka kerjaan. Ternyata berbeda cara pandangnya berbeda. Hal yg sepele bagi suami bisa begitu punya arti yg sangat dalam bagi isteri. Itu bisa merupakan simbol, menunjukkan perhatian, tidak menyepelekan, dan rasa sayang. Mereka (kelompok isteri dan kelompok suami) berdebat cukup lama. Tentu akhirnya berdamai sebelum beristurahat. Tetapi terus saja menjadi perbincangan. Dan mendatang respek.

 

Peristiwa yg kelihatan sederhana, tanpaknya membekas bagi Cak Nur, sehingga dia menceritakan peristiwa kepada sahabatnya, Ekie Syachrudin. “Luar biasa .. Kiai Ali Yafie itu Ek ?”. Begitu mas Ekie menutup ceritanya. Sejenak kemudian Mas Ekie dengan mata berbinar, sambil senyum2 kembali berkata kepada saya, “Luar biasa bapak itu ya Hel”. Senyum Mas Eke itu khas jika menggumi sesuatu atau bercerita ttg sesuatu yg menyenangkan baginya.

 

Tetapi memang sepanjang yg saya tau, Ibu dan Ayah saya itu mempunyai hubungan yg sangat baik, sampai akhir hayat keduanya. Mereka saling mendahulukan dan saling menunggu. Ibu saya sudah tahu kemana dan dimana ayah saya; begitu juga sebaliknya. Karena keduanya saling berbicara, saling memberitahukan apapun yg mereka lakukan dan alami. Di luar urusan pekerjaan mereka selalu pergi, datang dan pulang bersama.

 

Iibu saya tidak pernah makan sebelum Ayah saya tiba, kecuali Ayah saya sudah memberitahukan bhw dia tidak pulang atau harus nginap karena urusan pekerjaan atau organisasi. Begitu juga sebaliknya. Di luar urusan kantor atau urusan pekerjaan, mereka menghabisksn waktu bersama. Waktu2 tertentu mereka pergi berbelanja bersama, ke dokter bersama. Orang2 di kampung menyebutnya “lamari sigandeng” (bhs bugis), artinya lemari terkait bergandengan. Jika Ayah saya sakit, ibu kelihatan tegar mengurusnya. Dia tidak cengeng. Dia memang adalah ibu rumah tangga, tetapi dia kuat. Hampir tidak foto yg tidak menampilkan keduanya. Tentu ada beberapa. Tetapi lebih karena urusan pekerjaan.

 

Bahasa yg mereka gunakan juga biasa2 saja. Begitu juga prilaku keduanya. Baik di dlm maupun di luar rumah. Bahkan mungkin kelihatan kolot. Tak ada yg berlebihan. Keduanya saling menyebut nama dg tambahan kata (tradisi bugis) “puang” didepan nama nya (Puang Ali dan Puang Isa), ketika saling memanggil. Bahkan mungkin cenderung kedengaran datar, karena mereka tidak bersuara keras. Tetapi selalu kedengaran penuh kegembiraan. Saya tidak pernah mendengar keduanya berdebat atau beradu argumen. Mungkin pernah, tetapi tidak pernah di depan kami, anak2nyya, apalagi dihadapan orang lain.

14.03.2023

Hotel Pajajaran, Bogor

Dari FB Puang Helmi Ali Yafie

ddi abrad 1