Identitas sering dianggap sebagai kenyataan individual, seperti saya sebagai Muslim, Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Jawa, Sunda, Indonesia, dan seterusnya. Sesungguhnya identitas selalu bersifat sosial. Disebut sosial karena semua itu adalah bentukan sejarah manusiawi dengan segala susunan budaya, jaringan kekerabatan, anturan, interupsi, relasi, dan lain-lain. Identitas hanya bisa dibentuk dalam sebuah relasi. Semua itu bisa berlangsung sadar maupun tidak.
Menjadi anggota sebuah organisasi atau kelas masyarakat tertentu adalah contoh nyata, yaitu seseorang atau sekelompok orang mengidentifikasi diri kepada sesuatu dan mendisidentifikasi diri dari sesuatu. Itu berasal dari hasil negosiasi tiada henti secara relasional dan kolektif dengan yang lain dan juga dengan aturan yang ada. Bahkan kehadiran sebuah identitas harus mendapatkan pengesahan dari kenyataan sosialnya. Karena itu, hampir-hampir tidak ada identitas yang sama antara manusia dan semua manusia memiliki lebih dari satu identitas.
Dalam negosiasi untuk menciptakan identitas itu, seseorang dalam ukuran tertentu menentukan tetapi dalam ukuran tertentu pula ditentukan. Sepertinya, unsur ditentukan jauh lebih dominan daripada identitas yang ditentukan sendiri karena bahkan identitas yang dianggap ditentukan sendiri pun, harus mendapatkan pengesahan dari sosial. Salah satu contohnya adalah bahwa setiap orang harus memilih ‘identitas yang bagus’ agar mendapatkan pengakuan. Otonomi hampir-hampir tidak ada dalam pembentukan identitas. ‘Menjadi diri sendiri adalah sebuah ilusi besar’.
Setiap orang biasanya merasa sebagai pusat dunia lalu hampir setiap kelompok, termasuk kelompok agama, juga tidak jarang mengklaim sebagai pusat dunia atau ‘umat terpilih’. Namun, semua itu adalah ilusi dalam arti, kehadirannya adalah sebagai hasil negosiasi dan relasi dengan yang lain. Pandangan ini tentu sangat deterministik, tetapi ada benarnya. Benarkah manusia hanya korban dari pembentukan identitas dan sama sekali bukan pelaku?
Sepertinya juga harus diakui bahwa manusia memiliki semacam otonomi, namun tidak berarti manusia mampu mencapai identitas yang diinginkannya dengan sempurna. Paling tidak, di dalam hidupnya, setiap individu bisa dikatakan sedang berada upaya dan proses menentukan identitasnya dan itu berlangsung hingga akhir hayatnya tanpa pernah berhenti berproses. Dalam proses tersebut, sempatlah manusia menyebutkan dan berhasil mengidentifikasi diri dengan kategori ‘kita’ dan ‘mereka’. Namun, kategori tersebut tidak pernah diam, selalu berubah setiap saat.
Meski identitas pada dasarnya tidak otonom, tetapi tidak semua orang sama dalam peluang membentuk dan dibentuk oleh identitasnya. Pada sebagian orang, dengan kekuasaan yang lebih besar, karena modal yang lebih kuat, kemampuan untuk membentuk identitasnya dan menentukan identitas orang lain jauh lebih kuat. Sebaliknya, dengan modal yang lebih kecil, ada pihak yang lebih sering harus menerima identitasnya ditentukan oleh selain dirinya. Ada semacam pertarungan di antara mereka. Di situlah bahayanya jika polarisasi ‘kami’ dan ‘mereka’ dipentingkan. Istilah ‘kaum berpunya’ dan ‘kaum tidak berpunya’ bisa dipahami di sini sebagai yang lebih mempunyai kuasa untuk menentukan identitasnya sendiri dan yang tidak lebih mempunyai kuasa.
Contoh paling gampang adalah perebutan kuasa antara mayoritas dengan mayoritas. Dengan kelebihan jumlah yang dimiliki, mayoritas mampu menentukan identitas minoritas, misalnya, tidak pantas memimpin, sesat, menyimpang, dan sebagainya. Mayoritas berupaya semaksimal mungkin untuk menegaskan perbedaannya dengan minoritas demi mengeksklusi mereka dari berbagai macam keistimewaan yang harusnya dimiliki. Itu semua terjadi di era demokrasi awal. Kini, ceritanya agak berbeda.
Demokrasi radikal dan media sosial memberi kesempatan kedua kepada identitas-identitas yang terpinggirkan untuk merangkak menuju ke pusat-pusat kekuasaan. Teroris dan radikalisme bukanlah mayoritas tetapi peluang mereka ke pusat kekuasaan terbuka lebar. Sama dengan LGBTQ, bukanlah mainstrim tetapi kuasa mereka sudah sangat besar kini. Keduanya memanfaatkan dan diberikan peluang oleh demokrasi radikal dan media sosial.
Pertarungan antara ‘kami’ dan ‘mereka’ sepertinya tidak akan pernah lekang oleh waktu. Pada beberapa titik, pertarungan itu sudah sampai pada titik-titik mengkhawatirkan. Sudah saatnya menyadari bahwa ‘kami’ dan ‘mereka’ sesungguhnya adalah dua sisi mata uang dari koin yang sama yang bernama ‘kita’. Pertarungan bekepanjangan antara ‘kami’ dan ‘mereka’ tidak akan pernah menghancurkan salah satunya, tetapi hanya akan menghancurkan kedua-duanya yaitu, ‘kita’. Adagium ‘kalah jadi abu menang jadi arang’ tidak berlaku di sini karena tidak ada yang menang. Apalah arti ‘kita’ tanpa ‘mereka’? Dan siapalah ‘saya’ tanpa ‘kamu’? (Tulisan ini disadur dari https://ibihtafsir.id)