Mulai Belajar di Usia Dewasa

0
250

Belajar itu tidak mengenal usia muda atau tua. Umar ibn Khatthab pernah berpesan, “Tafaqqahu qabla al-tusawwadu” (bertafaqquh/belajarlah sebelum engkau disayyidkan). Kita diminta belajar sejak usia dini, karena setelah usia dewasa situasi psikologis dan sosial seseorang akan banyak berubah. Biasanya, orang yang berkedudukan sosial tinggi merasa sungkan duduk bersama sesama pembelajar lainnya. Kecerdasan seseorang juga semakin menurun di usia senja. Namun, realitas seperti ini sifatnya umum. Boleh jadi ada kasus tertentu yang tidak demikian.

Di masa Rasulullah SAW, banyak dari kalangan sahabat mulai belajar Islam kepada Rasulullah SAW di usia tiga puluh tahunan, karena baru masuk Islam. Mereka pun terbilang sukses. Mereka tidak canggung berguru kepada Rasulullah SAW dan kepada sahabat lain yang lebih dulu masuk Islam, meski usianya lebih muda darinya. Mereka sangat menghormati siapa yang mengajarinya. Adab lain yang mereka teladankan ketika menuntut ilmu adalah niat yang tulus, terbuka untuk berguru kepada ahlinya, dan selalu rendah hati. Yakinlah bahwa ilmu mudah diperoleh jika disertai adab yang mulia.

Sejumlah ulama memulai pengembaraan intelektualnya tidak dari usia dini. Contohnya, Ibn Hazm al-Andalusi di usianya yang ke 26 tahun, Ali ibn Hamzah al-Kisa’i di usia 40 tahun, bahkan al-Qaffal al-Marwazi (al-Qaffal al-Shaghir) yang lebih telat lagi star belajarnya (ada yang menyebut 70 tahun). Diceritakan bahwa Ibn Hazm sempat malu karena ditegur orang gegara shalat sunnat setelah ashar, saking nihilnya ilmu agamanya. Al-Qaffal al-Marwazi juga tidak mengerti sama sekali fikih di usia 40 tahunan. Situasi demikian menjadi titik awal ia serius memperdalam keilmuannya. Kesulitan belajar pastilah dialaminya karena faktor usianya. Menghafal sebuah kalimat juga terasa berat ia lakoni. Namun dengan kegigihannya, ia menjelma menjadi seorang ulama mumpuni yang disegani di masanya.

Tokoh-tokoh teladan tersebut adalah inspirasi bagi kita untuk terus belajar. Tidak ada kata “terlambat” untuk belajar. Mereka sukses menjadi ulama meski telat memulai. Yang patut dihindari adalah beberapa orang yang di usia yang sudah tidak muda lagi memulai belajar agama, tetapi dengan keterbatasan ilmunya ia berani menyalahkan dan risih kepada orang yang berbeda pendapat dengannya. Banyak orang yang baru masuk Islam (muallaf), setelah belajar Islam beberapa bulan malah menelanjangi agama lamanya. Ini bukanlah akhlak terpuji. Banyak orang yang menyebut dirinya telah “hijrah” justru mempersempit relasi sosialnya. Ironisnya, “hijrah”-nya hanya ditekankan pada aspek cara berpakaian dan simbol-simbol tertentu. Objek bahasan keislaman pun dibatasinya hanya pada persoalan tertentu yang notabene masih diperdebatkan (khilafiyah).

Keterbatasan ilmu, terlebih ilmu keagamaan, biasanya menyulut orang bersikap angkuh. Ia tidak merasa angkuh, tetapi perilakunya merasa diri paling benar. Seorang yang berilmu akan bijak menyikapi perbedaan pendapat. Sebaliknya, seorang yang minim ilmu akan merasa gusar dan gampang menyalahkan orang yang berbeda pandangan dengannya. Baru belajar beberapa bulan, tetapi berperilaku bak seorang kiai besar. Inilah fenomena yang banyak terjadi di tengah masyarakat. Mestinya mereka tetap rendah hati saat memulai belajar hingga akhir hayatnya.

Kita harus ingat bahwa ilmu itu anugerah Allah SWT. Ilmu menuntut banyak pengorbanan, baik secara waktu, fisik, sosial, psikologi, bahkan ekonomi. Belajar butuh sosok guru yang punya sanad keilmuan terpercaya dan berakhlak mulia. Tidak ada yang instan dalam belajar agama. Semua berproses dan butuh kesabaran dan kesadaran diri. Muara dari ilmu adalah akhlak mulia. Orang berilmu akan semakin memasyarakat.[]

 

ddi abrad 1