Alam semesta hadir karena adanya kehendak bebas. Di balik kehendak bebas tidak ada apa-apa karena jika ada, maka namanya bukan kehendak bebas. Kehendak bebas itu sendiri sesungguhnya tidak berwujud, tetapi segala wujud adalah bukti adanya kehendak bebas. Meski di balik kehendak bebas tidak ada apa-apa atau tidak ada yang mengendalikannya, bisa saja sebuah kehendak bebas memiliki tujuan tertentu. Tujuan tersebut tidak mengendalikan kehendak bebas karena kehendak bebas itu sendiri yang menghendaki dirinya memiliki tujuan. Namun, ada pula kemungkinan kehendak bebas tidak memiliki tujuan apa-apa.
Manakah yang benar antara kehendak bebas memiliki tujuan atau kehendak bebas tidak memiliki tujuan apa-apa? Seandainya kehendak bebas tidak memiliki tujuan, maka ada kemungkinan alam semesta hadir dalam bentuk kekacauan dan ketidakberaturan. Sekali lagi ini hanyalah kemungkinan. Kenyataannya, alam semesta memiliki aturannya dan logikanya sendiri sehingga manusia mampu mempelajari aturan tersebut dan menjadi pengetahuan baginya. Bahkan manusia mampu meniru aturan dan logika tersebut untuk menciptakan semacam alam semesta tiruan untuk memudahkan kehidupannya. Karena itu, sepertinya yang lebih masuk akal adalah kehendak bebas memiliki tujuan dan dengan itulah Allah SWT menciptakan alam semesta; dengan tujuan.
Dengan kenyataan di atas, maka manusia perlu mempertanyakan bagaimana seharusnya mereka menjalani kehidupan. Apakah karena alam semesta diciptakan dengan tujuan maka kehidupan manusia harus dijalani dengan menaati aturan-aturan demi tercapainya tujuan penciptaan alam semesta? Jika iya, maka itu berarti manusia tidak memiliki kehendak bebas. Jika tidak, maka tidak ada bedanya antara manusia dengan makhluk lain; padahal manusia adalah khalifah. Seharusnya manusia memiliki kehendak bebas agar apapun yang lahir dari cipta dan karsa manusia bisa dianggap bernilai adanya. Bayangkan jika semua yang indah yang diciptakan oleh manusia tidak lebih hadir karena ketaatannya kepada aturan-aturan, maka sesungguhnya tidak ada nilai bagi semua yang indah itu.
Sebagaimana penciptaan alam semesta itu bertujuan, maka seharusnya manusia pun menciptakan tujuan-tujuannya sendiri berdasarkan kehendak bebasnya. Apakah dengan demikian, manusia hidup dengan cara melawan aturan-aturan yang ada? Tidak. Setelah tujuan diciptakan, maka konsekuensinya, ada aturan-aturan tertentu yang dibuatnya sendiri yang mengarahkan dan memudahkan kepada tercapainya tujuan. Karena itu, saat manusia menaati aturan-aturan, maka sesungguhnya mereka taat dalam kebebasan, bukan dalam keterbelengguan.
Kembali kepada Tuhan. Pada kesadaran awal tentang Ketuhanan, manusia menyadari bahwa betapa dirinya ada. Lalu, diri yang ada ini mempersaksikan wujud (kehadiran) Tuhan. Puncaknya adalah ikrar syahadat. Setelah itu, manusia melaksanakan seluruh syariat semampunya demi untuk menegaskan kehambaan dirinya dan Ketuhanan Allah SWT. Pada tahap ini tampak betapa berbeda dan terpisahnya antara manusia dengan Tuhan. Dengan kata lain ini adalah penegasan transendensi Ilahi.
Pada tahap selanjutnya, biasanya dialami oleh para sufi, yang terjadi adalah manusia sampai kepada kesadaran betapa dirinya sirna di hadapan Tuhan. Bahkan saat sebelumnya manusia berikrar syahadat, sesungguhnya itu adalah kehendak Tuhan juga. Jadi, tidak ada makna bagi ikrar syahadat tersebut karena bukan kehendak manusia itu sendiri berikrar tetapi kehendak Tuhan. Jika ikrar syahadat pun adalah kehendak Tuhan, maka konsekuensi dari ikrar seperti shalat, puasa, zakat, dan haji juga adalah sesuatu yang tidak bermakna.
Tahap kedua di atas harus berlanjut kepada tahap yang ketiga, yaitu manusia hadir dalam realitas Ilahi. Tetap saja yang sejati adalah realitas Tuhan, tetapi manusia pun hadir dalam eksistensinya sendiri. Justru dengan teguhnya eksistensi Tuhan, maka teguh pula eksistensi manusia. Alasannya, jika Tuhan memang Maha Pencipta, maka seharusnya ciptaan Tuhan yang paling sempurna memiliki eksistensi. Jika tidak memiliki eksistensi, maka apalah arti dari Maha Pencipta dan apalah arti dari makhluk paling sempurna.
Tuhan pada tahap ketiga di atas adalah Tuhan yang pada-Nya manusia menegaskan eksistensi dirinya, bukan Tuhan yang pada-Nya manusia meleburkan eksistensi dirinya. Relasi antara realitas Ketuhanan dengan alam semesta (sekaligus manusia) bisa dibandingkan secara tidak pas dengan relasi antara realitas Kemanusiaan dengan alam semesta. Alam semesta dengan manusia sesungguhnya adalah realitas yang sama, tetapi sekaligus tidak sama. Sama dalam arti sama-sama alam, tetapi berbeda dalam arti manusia memang tidak sama dengan alam semesta. Demikian pula realitas Ketuhanan adalah sama-sama memiliki eksistensi, tetapi eksistensi realitas Ketuhanan tidak sama dengan realitas alam semesta.
Tulisan ini disadur dari ibihtafsir.id