Argumentasi Fikih Ekstremisme Berbasis Purifikasi Agama

0
155

argumentasi fikih ekstremisme

Pidato Pengukuhan Guru Besar Hukum Islam UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr. H. Muammar Muhammad Bakry, Lc, M.Ag., Sekretaris Umum PW DDI Sulawesi Selatan.

Selasa, 14 Maret 2023 di Auditorium UIN Alauddin Makassar

(Bagian Pertama)

Assalamu Alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bismillahirrahmanirrahim

 الحمد لله الذي جعل الوسطية من مميزات الشريعة الاسلامية والصلاة

سيدنا محمد الذي يكون شهيدا على الناس والسلام على رسول اَّلله

في الوسطية وعلى اله واصحابه الذين ساروا على سبيل الوسطية

Yth. Ketua dan Sekretaris Senat Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar;

Yth. Rektor dan Para Wakil Rektor Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar;

Yth. Ketua dan Sekretaris Dewan Guru Besar Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar;

Yth. Anggota Rapat Pimpinan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar;

Yth. Anggota Senat Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar;

Yth. Dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, para undangan serta hadirin yang saya muliakan, baik yang mengikuti kegiatan ini secara luring maupun daring.

Ytc Ibundaku, Istriku dan anak-anakku serta keluargaku yang hadir.

Hadirin yang saya muliakan,

Pada hari yang penuh berkah ini, Selasa, 14 Maret 2023, perkenankan saya mengajak seluruh hadirin untuk memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah swt. Atas limpahan rahmat dan karunia-Nya semata, hari ini kita dapat berbagi kebahagiaan dan rasa syukur melalui forum yang mulia ini. Saya bersyukur, karena diberi kesempatan untuk memenuhi tradisi akademik yang terjaga dan terawat dengan baik di UIN Alauddin Makassar, yakni menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar bidang Hukum Islam Kontemporer pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Alauddin Makassar.

Izinkan saya menyampaikan orasi ilmiah pada pengukuhan Guru Besar saya dengan judul: “Argumentasi Fikih Ekstremisme Berbasis Purifikasi Agama: Menakar Dosis Imun Wasathiyah dalam Menangkal “Virus” Tatharruf Diniy”.

Fenomena ekstremisme yang berkembang di masyarakat kita dibutuhkan penalaran obyektif. Ada yang melihatnya sebagai alasan untuk mendiskreditkan agama tertentu dengan tuduhan pada penganutnya yang dianggap konsisten menjalankan agamanya. Namun, dalam realitanya terkadang sikap beragama yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok melampaui dari ambang ketentuan dan kewajaran yang telah digariskan syariah. Semangat beragama tidak berbanding lurus dengan pengetahuan beragama yang mapan. Akibatnya, selalu merasa paling benar atas segala perbuatan yang dilakukan dari pada orang lain.

Sebelum lebih lanjut tanggapan hukum Islam menyorot fenomena ini, lebih dahulu diangkat pengertian ekstremisme dalam pendekatan bahasa dan penggunaannya dalam realita kehidupan bermasyarakat, beragama dan bernegara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ekstremisme adalah keadaan atau tindakan yang menganut paham ekstrem berdasarkan pandangan agama, politik, dan sebagainya.

Secara harfiah, ekstremisme adalah kondisi subyektif yang ada pada seseorang yang menjadikannya sebagai orang ekstrem baik dalam bidang politik maupun agama. Konotasi negatif bagi orang yang dijuluki ekstremis karena melampaui batas kebiasaan dengan ideologi yang kaku, keras dan fanatik dalam membela atau menuntut sesuatu.

Jika dikaitakan dengan agama, ektstremisme berbeda dengan mainstream atas suatu sikap dan pandangan ideologi keagamaan yang dianut oleh suatu komunitas secara majoriti. Ada yang membedakan dan ada pula yang menyamakan dengan radikalisme. Radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Radikalisme membantah nilai-nilai yang ada. Ciri-cirinya adalah intoleran pada golongan yang memiliki pemahaman berbeda di luar golongannya, mereka juga cenderung fanatik, eksklusif, dan tidak segan menggunakan cara-cara anarkis.  Ekstremisme juga demikian, cenderung berpikiran tertutup, tidak bertoleransi, anti-demokrasi, dan bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka. https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/531176/radikalismeadalah-pengertian-ciri-ciri-dan-solusi. Kartodirdjo (1985)

Dalam lingkup keagamaan, radikalisme merupakan gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik yang ada dengan jalan menggunakan kekerasan. Sumber:https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/531176/radikalisme-adalah-pengertian-ciri-ciri-dan-solusi.

Ciri-ciri Radikalisme Menurut Masduki (2013), antara lain mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tidak sependapat. Mempersulit tata cara Islam yang dianut yang sejatinya ajaran Islam bersifat samhah atau toleran. Bersikap berlebihan dalam menjalankan ritual agama yang tidak pada tempatnya. Mutlak dalam berinteraksi, keras dalam berbicara terutama terkait apa yang diyakininya, dan emosional dalam berdakwah atau menyampaikan pendapat. Mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar golongannya yang tidak sepaham. Mudah mengafirkan atau memberi label takfiri orang atau kelompok lain yang berbeda pendapat. Sumber: https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/531176/radikalisme-adalah-pengertian-ciri-ciri-dan-solusi.

Bagaimana Islam melihat ekstremisme? Ada beberapa ayat dan riwayat hadis yang menjadi indikasi kuat tentang eksistensi ekstremisme berdasarkan apa yang disebutkan dari pengertian di atas. Antara lain:

قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ لَا تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوْٓا اَهْوَاۤءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوْا مِنْ قَبْلُ وَاَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَّضَلُّوْا عَنْ سَوَاۤءِ السَّبِيْلِ ࣖ

Terjemahnya: Wahai ahli kitab janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian tidak secara hak dan janganlah kalian mengikuti nafsu suatu kaum, sebelumnya mereka sesat dan menyesatkan banyak orang lalu mereka salah jalan (QS. al-Maidah 77).

 أن النبي صلى الله عليه وسلم قال يا أيُّها النَّاسُ إيَّاكم والغُلوَّ في الدِّين فإنَّهُ أهْلَكَ من كانَ قبلَكُمُ الغلوُّ في الدِّينِ.

(أخرجه النسائ)

Artinya: Rasulullah saw bersabda; hindarilah berlebih-lebihan dalam beragama, orang dahulu binasa karena berlebih-lebihan dalam beragama. (H.R. An-Nasa’i)

  عن عبد الله بن مسعود:[ألا هلكَ المُتَنَطِعّون, ألا هلكَ المُتَنَطِعّون, ألا هلكَ المُتَنَطِعّون (أخرجه مسلم ) 2670 أي المتعمقون المجاوزون الحدود في أقوالهم وأفعالهم “بحث فوري في الموسوعة الحديثية بالدرر السنية

 Artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud: binasalah orang berlebihan, binasalah orang berlebihan, binasalah orang berlebihan, (dikeluarkan Muslim). Yang dimaksud mutanathiun adalah orang yang berlebihan dan melampaui batas dalam pandangan dan perbuatannya. (HR. Muslim)

Membaca ayat-ayat dan hadis-hadis di atas, secara substantif istilah “al-guluw” dapat dimaknai dengan ekstremisme atau radikalisme. Pengakuan al-Qur’an secara normatif menunjukkan bahwa pilihan sikap beragama yang ekstrem radikal menjadi

ancaman bagi Islam sebagai agama rahmat yang toleran dan terbuka. Selanjutnya pengakuan al-Qur’an tersebut diperkuat dalam realitas sejarah pada masa Nabi Muhammad saw yang telah menyatakan ciri ekstremis, radikal hingga teroris, beberapa

Riwayat Hadis Shahih al-Bukhari 6163 dan Shahih al-Jami’ 5878.

عن أبي سعيد الخدري:[ بيْنا النبيُّ صلى الله عليه وسلم يَقْسِمُ ذاتَ يَومٍ قِسْمًا، فَقالَ ذُوالخُوَيْصِرَةِ، رَجُلٌ مِن بَنِي تَمِيمٍ: يا رَسولَ اللهِ اعْدِلْ، قالَ: ويْلَكَ، مَن يَعْدِلُ إذا لَمْ أعْدِلْ فَقالَ عُمَرُ: ائْذَنْ لي فَلأضْرِبْ عُنُقَهُ، قالَ: لا، إنّ له أصْحابًا، يَحْقِرُ أحَدُكُمْ صَلاتَهُ مع صَلاتِهِمْ، وصِيامَهُ مع صِيامِهِمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمُرُوقِ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ،….. بحث فوري في الموسوعة الحديثية بالدرر السنية

Artinya: Suatu hari Nabi saw membagi sesuatu kepada (umat), lalu Zulkhuwaysirah dari Bani Tamim berkata, wahai Rasulullah mohon berlaku adil, Rasulullah menjawab, aduhai celaka siapa lagi yang bisa berlaku adil jika saya tak adil, lalu Umar minta izin untuk memukulnya, namun Rasulullah menyatakan “jangan!”, karena ia (sampel) dari teman-temannya yang lain, mereka selalu membanggakan salat dan puasanya, namun hakikatnya mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya…. Senada dengan riwayat tersebut di atas, riwayat berikut ini:

عن أبي سعيد الخدري:[ إنه يخرجُ من ضِئضيءِ هذا قومٌ، يتلون كتابَ الله رطبًا لا يجاوزُ حناجرَهم، يمرقون من الدِّينِ كما يمرُقُ السَّهمُ من الرَّمِيَّةِ، لئن أدركتُهم لأقتلنَّهم قَتْلَ ثمودَ…. بحث فوري في الموسوعة الحديثية بالدررالسنية

Artinya: Sesungguhnya akan keluar dari keturunan laki-laki ini suatu kaum yang membaca Kitabullah dengan fasih, tetapi hanya sebatas di kerongkongan mereka, mereka keluar dari agama seperti anak panah yang melesat dari busurnya.

Terbukti hadis tersebut di atas, ada generasi ekstrem radikal dan teroris yang bernama Abdurrahman Ibn Muljam, seorang yang dikenal fasih agama namun dengan keji membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa itu terjadi ketika Ali sedang salat subuh di bulan suci Ramadhan, 17 Ramadan tahun ke-40 Hijriah atau 661 M.

Maka hadirnya perjuangan yang mengusung moderasi beragama (wasathiyah Islamiyah) baik secara komunal dalam bentuk lembaga maupun secara personal adalah mujahid-mujahid sesungguhnya yang membela Islam sebagai agama rahmat, agama kemanusiaan dan agama yang menjunjung tinggi peradaban.

Atas nama pemurniaan agama, slogan kembali kepada al-Quran dan Hadis saja adalah kalimat yang sepintas sangat menarik, tapi jika dipahami secara mendalam, sesungguhnya meruntuhkan bangunan keislaman yang sudah dibangun oleh Nabi dan para ulama. Ekstremisme adalah virus yang menggerogoti bangunan dan tubuh Islam yang dikenal wasathiyah. Mengartikan wasathiyah dengan moderasi tidak sepenuhnya tepat, karena moderasi satu dari sekian banyak arti wasathiyah. Karena itu saya akan jelasakan beberapa makna wasathiyah islamiyah sebagai berikut:

  1. Moderasi Islam bermakna prinsip beragama yang bisa beradaptasi dengan modernisasi zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan untuk pembangunan dan kemajuan (taqaddum wa tathawwur). Sangat berbeda dengan konservatisme agama yang menolak kontekstualisasi perkembangan dan kemajuan zaman dan ilmu pegetahuan, cenderung destruktif (irhab) dalam bertindak dan berpikir.
  2. Ekuivalensi Islam bermakna keseimbangan dalam beragama. Menjadi prinsip dalam Islam yakni menyeimbangkan (tawazun) antara kehidupan spiritual dan material sesuai dengan fitrah yang Allah berikan kepada manusia untuk kepentingannya pada dua alam (syahadah dan gaib). Islam adalah nilai yang memiliki prinsip kemutlakan namun kompatibel dan akseptabel dengan segala bentuk kemaslahatan dalam semua aspek. Artinya bisa beradaptasi dengan berbagai kondisi, maka Islam di mana pun umatnya berada selalu sesuai, serasi dengan tampil alami dan menawan. Prinsip ini berlawanan dengan sikap radikal dan ekstrem beragama yang biasa disebut dengan tatharruf diniy.
  3. Netralitas Islam juga menjadi penanda wasathiyah Islamiyah yang biasa disebut dengan I’tidal. Tidak memihak secara fanatik, tidak didasari hanya pada semangat yang cenderung menuruti hawa nafsu tanpa menggunakan rasio beragama. Salaf salih yang menjadi rujukannya ditempatkan secara proporsional dalam nalar metodologi keislaman yang jauh dari hal-hal yang mengarah kepada sikap berlebih-lebihan (ifrath/tafrith).

Bersambung…