Prinsip paling utama mengenai distribusi zakat adalah kepastian sampainya kepada penerima zakat. Ada 8 golongan mustahiq yang berhak menerima zakat: fakir, miskin, ‘âmil, mu’alaf, riqâb, gharimîn, fî sabilillâh dan ibnu sabil. (QS. Al-Taubah: 60)
Sejak dulu masyarakat Muslim sudah mafhum kepada jejeran komunitas penerima zakat ini.
Yang menjadi permasalahan mengenai pendistribusian zakat kepada delegasi fakir miskin. Bolehkah menyerahkan zakat langsung kepada mustahiq, dan mana lebih afdhal, zakat langsung ke mustahiq atau melalui amil zakat?
Di antara keduanya, mana paling banyak kantong-kantong amal kebajikannya?
Sejak dulu, praktik penyaluran zakat kerap ditempuh melalui 2 jalan. Pertama, penderma langsung ke mustahiq. Kedua, muzakki (orang yang diwajibkan membayar zakat) menyerahkan ke amil zakat.
Persoalan yang pertama, bagaimana hukumnya jika penderma langsung menyerahkan zakatnya kepada mustahiq tanpa perantara amil?
Setelah meng-agregasi dan mengagnosis dalil-dalil hukum seputar dogmatis Muzakki yang langsung menyerahkan zakatnya kepada mustahiq, bahwa ternyata tidak ditemukan sebuah “larangan” seseorang penderma menyalurkan zakat secara face to face kepada mustahiq.
Jadi, semua praktik penyaluran zakat ‘boleh’ dilakukan, selama tidak ada dalil mengharamkannya. Berarti, pendonor zakat sah alias boleh-boleh saja menyerahkan zakatnya kepada mustahiq secara langsung.
Tentu kontributor zakat mengambil langkah itu, bermaksud mau melihat pendar-pendar kecerahan wajah mustahiq, ketika manik-manik zakat diserahkan langsung kepada yang berhak menerima zakat.
Hanya saja praktik donatur menyalurkan zakatnya secara bertemu pandang tanpa perantara amil, memiliki impresi kelemahan dan ragam kekurangan.
Wujud kelemahan dan muatan kekurangan seperti apa yang menyembul?
Bila masing-masing muzakki langsung mensirkulasi perdu-perdu amalnya kepada fakir miskin, dikhawatirkan pembagiannya tidak merata atau tidak adil.
Contoh, di sebuah kawasan terpencil terdapat beberapa kabilah fakir miskin yang wajib menerima zakat. Sebutlah Daêng Tola, Ambo’ Cukka Ulu, Indo’ Sagêna, dan nene’ Pakandê.
Level kemelaratan fakir miskin tsb pun sejajar dan seimbang tingkat kesulitan hidupnya. Namun, yang paling familiar di telinga masyakarat hanyalah Ambo’ Cukka Ulu, dan mudah diketahui keberadaannya.
Lalu, mengalirlah kaum penderma pergi mengetuk pintu rumah Ambo’ Cukka Ulu, sambil membawakan pernak-pernik khairatnya. Sementara Daêng Tola, Indo’ Sagêna, dan nene’ Pakandê sama sekali tidak pernah dijenguk oleh kontributor zakat yang lain, sebab sulit terdeteksi keberadaan tempat tinggalnya.
Makanya, yang banyak merasakan asupan nutrisi zakat oleh sekawanan dermawan, hanya Ambo’ Cukka Ulu MAPPITANGNGI UPE’NA UPE’E.
Hati riang tiada terkira.
Lara hati Ambo’ Cukka Ulu berganti senyum merekah.
Berbeda Daêng Tola, Indo’ Sagêna, dan nene’ Pakandê yang tidak berbintang terang (kurang mujur & beruntung), akhirnya tidak mendapatkan sebongkah santunan. Sebab, para kulawangsa zakat tidak mengetahui rimbanya Daêng Tola, Indo’ Sagêna, dimana mereka berada? NAPPITANG TOSI ACILAKANNA CILAKA E!
Hari-hari mereka tak cerah, karena dilanda mendung.
Hari Raya Daêng Tola, Indo’ Sagêna, dan nene’ Pakandê kali ini kurang beruntung, apa boleh buat “Nasi sudah menjadi bubur”.
Olehnya itu, idealnya paling elok nan paripurna saat mendistribusikan zakat adalah harus melalui amil zakat yang sudah berpengalaman dan terpercaya, atau lembaga yang amanah.
Apa keutamaan menyalurkan zakat melalui amil zakat?
Karena amil zakat sudah memiliki peta penerima zakat di distrik kepapaan tsb. Di samping itu, amil sudah tahu siapa-siapa yang sudah mendapatkan material zakat, dan siapa-siapa yang belum menerima serangan angpau.
Selain itu, dengan menyalurkan zakat melalui amil zakat, penyebaran dan penyalurannya kepada mustahiq akan lebih merata dan tepat sasaran, sesuai dengan kebutuhan serta prioritas. Sehingga zakat yang dikeluarkan sang Donatur, bisa dinikmati segenap mustahiq tanpa menimbulkan rasa saling cemburunisasi.
Syahdan, membayar zakat melalui amil lebih sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Wallahu a’lam.