Bias Kognitif

0
85

AG. H. Helmi Ali Yafie

Bias Kognitif

Kognisi adalah proses mental mengenai sesuatu yg didapatkan dari kegiatan berpikir.

Proses yg dilakukan untuk memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai, bernalar dan berbahasa.

Kapasitas atau kemampuan kognisi pada dasarnya adalah kecerdasan. Sekarang ini ada berbagai bidang ilmu yg mempelajari kognisi, diantaranya adalah: psikologi, filsafat, komunikasi, neurosains (ilmu otak, atau kajian ilmiah berkaitan dg sistem saraf) dan kecerdasan buatan.

Istilah kognisi sudah digunakan sejak abad 15, dan diartikan sebagai pemikiran dan kesadaran.
Belakangan muncul istilah “bias kognitif”.

Para ahli psikologi perilaku, sejak setengah abad belakangan, telah mengenali apa yg disebut bias kognitif.

Ada berbagai jenis bias kognitif dan, katanya, setiap bias itu mendistorsi persepsi dan sikap kita terhadap sesuatu.

Para ahli merumuskan bias kognitif sebagai kondisi yg terjadi ketika alam bawah sadar salah merespon sehingga menimbulkan kesalahan dalam berpikir, salah dalam memproses dan menafsirkan informasi; yg tentu saja mempengaruhi keakuratan dalam menentukan keputusan atau penilaian.

Dengan bahasa lain, bias kognitif itu adalah kesalahan otak dan pemikiran manusia untuk mencerna, menganalisa dan mengambil keputusan dalam menghadapi satu kasus, yang menimbulkan kekeliruan dalam menilai dan bertindak.

Itu biasanya terjadi ketika dibutuhkan membuat keputusan yg cepat dan efesien. Mungkin tidak dirancang begitu. Tetapi dalam dunia yg mengglobal, dengan perubahan yang berlangsung cepat, seseorang merasa perlu mengambil keputusan cepat dan efesien agar tidak ketinggalan kereta atau merugikan kepentingannya.

Kata para ahli, bias kognitif terjadi, terutama, karena dalam diri kita ada jalan pintas mental yang biasa dikenal sebagai heuristik.

Heuristik adalah proses pengambilan kesimpulan secara cepat berdasarkan data tak lengkap. Itu dipicu oleh emosi, motivasi individu, tempat berpijak dan posisi yang menuntut atau mengharuskan orang mengambil sikap tertentu dan keputusan.

Sementara ada keterbatasan kemampuan pikiran untuk merespon atau memproses informasi (dengan cepat), terutama karena adanya tekanan sosial.

Kemunculan bias kognitif juga dapat meningkat seiring dengan bertambahnya usia (yang mengakibatkan terjadinya penurunan pada daya fleksibel kognitif).

Ada berbagai jenis dan istilah yg digunakan dlm pembicaraan tentang bias kognitif. Tetapi itu tampak dempet, saling bersinggungan dan berbelit satu sama lain. Tetapi, yg banyak disebutkan adalah apa yang disebut “penjangkaran” (anchoring bias), yakni menentukan atau menyimpulkan sesuatu dengan berpijak pada sesuatu informasi tertentu saja yang diyakini kebenarannya.

Sehingga, dengan adanya keyakinan pada informasi tersebut, ketika ada informasi baru, atau ada informasi lain yang dilihatnya berbeda, apalagi melemahkan, maka itu ditafsirkan sebagai pelengkap saja, kalau tidak, diabaikan. Menjadi bias karena tidak melihat sisi lain.

Konon ini terjadi terutama dipicu oleh tempat berpijak dan posisi. Tetapi bisa juga karena relasi timpang.

Konon penjangkaran inilah yang yang digunakan dalam membangun model mental kita pada abad modern ini; bahwa globalisasi itu adalah keharusan, pasar bebas itu mutlak, atau bahwa suhu bumi yang terus menerus meningkat dianggap biasa-biasa saja, bahwa itu masih pada batas wajar, atau bahwa ada sesuatu yg lebih penting, lebih mendesak, ketimbang memikirkan dan mempersoalkan itu.

Kemudian ada yg disebut “efek ambiguitas”. Bias kognitif yg terjadi karena sebagian besar orang sangat tak nyaman memikirkan ketidakpastian sehingga bersedia menerima hasil yang lebih buruk (dalam tawar menawar) untuk menghindari ketidakpastian.

Misalnya, terkait dengan perubahan iklim, ada berbagai informasi yg menempatkan topik ini pada posisi tak pasti bagi sebagian orang.

Seharusnya, ketidakpastian menjadi alasan untuk bertindak, seharusnya bisa menjadi suatu pemicu (karena cukup nyata) yang kita pilih untuk kita olah; bukan sebagai teka-teki yang diperdebatkan atau kita hindari.

Ada juga yang disebut “bias otomasi”, yang menjabarkan kesuksesan akan pengambilan keputusan algoritmis, yang tak melibatkan manusia, yang dianggap sangat canggih, punya presisi tinggi, sehingga mutlak diikuti.

Mungkin bentuk bias ini juga berlaku yang mengakibatkan ketundukan selama ber-generasi-generasi terhadap kekuatan pasar sebagai pengatur yang tidak bisa keliru, atau tak bisa dikalahkan.

Itu yang membangun kepercayaan bahwa sistem-sistem ekonomi yang tak dibebani berbagai peraturan atau pembatasan ketat bakal menyelesaikan berbagai masalah; termasuk pemanasan global (yang dianggap berlangsung secara alami), kerusakan ekosistem karena sistem produksi yang eksploitatif, masalah pencemaran, kesenjangan, ketimpangan, keadilan dan konflik yang diakibatkannya.

Ada juga yang disebut “efek penonton”, yakni kecenderungan “menunggu” orang lain bertindak. Ini terkait juga dengan “bias konfirmasi”, yakni kecenderungan mencari bukti (pembenaran) pada apa yang dianggap sudah benar.

Misalnya, kecenderungan para elit mengumbar janji, dengan bukti-bukti semu (biasanya dengan angka-angka berdasarkan perhitungan statistik; dan atau dengan argumentasi canggih ber-takik-takik, tapi tak berpijak pada realitas) bahwa kehidupan manusia akan bertahan, bahwa keadaan akan semakin membaik, bahwa ini pilihan terbaik, ketimbang memilih rasa sakit kognitif dalam mengkonsep ulang dunia kita.

Lalu ada yg disebut “efek pilihan standar”, yakni kecenderungan memilih mempertahankan keadaan sekarang ketimbang membuat perubahan.

Itu juga terkait dengan “bias status quo”, kesukaan terhadap keadaan sekarang, seburuk apa pun itu; sistem ini memang punya kekurangan, tetapi ini terbaik, katanya, kita hanya perlu menyempurnakannya saja.

Dan juga terkait “efek kepemilikan”, yakni kecenderungan untuk meminta bayaran lebih bastar, dan melepas sesuatu yg kita miliki; dengan mengabaikan nilai sebenarnya.

Kita juga punya “ilusi kendali”, yakni anggapan bahwa diri kita bisa mengendalikan semuanya. Semua dapat kita kontrol. Ini juga yg membuat kita menderita “bias kepercayaan diri berlebihan” dan “bias optimisme”.

Sebenarnya kita juga punya “bias pesimisme”. Tetapi, bukan sebagai pengimbang. Itu justeru mendorong kita memandang tantangan sebagai kekalahan yg sudah ditakdirkan.

Maka muncul seruan untuk menerima nasib. Ini menempatkan orang, dalam situasi yang seharusnya melawan bias kognitif dengan hati yg bersih dan pikiran jernih, menghadapi bias-bias kognitif itu dengan bias kognitif lainnya.

Maka dengan bias kognitif seperti itu kita tidak bisa melihat apapun kecuali dengan mata rabun yang menipu diri sendiri. Tragis.

Itu mungkin karena dalam diri kita ada pemikiran “antroposentris”, yang menjadi latar belakang dan latar depan bagi kita untuk membangun pandangan kita mengenai alam semesta, tentu berdasarkan pengalaman diri sendiri, yang membuat kita menempatkannya sebagai obyek kita semata, atau bahkan sebagai budak, yang dicela environmentalis sebagai “supremasi manusia”.

Dan tampaknya memang itu yg membentuk kita memahami ancaman eksistensial yang sesungguhnya terhadap spesies kita. Entahlah, mungkin begitu.

Bintaro,
01.08.’24

barbartoto
barbartoto
barbartoto
scatter hitam
slot demo

ddi abrad 1