Maulid yang Disesatkan

0
432

Oleh Muammar Bakry*

Setiap kali memasuki bulan Rabiul Awal, setiap itu pula bermunculan semangat dari umat Islam memperingati maulid atau hari lahir nabi yang mulia Muhammad saw.

Saat yang sama, bermunculan pula semangat yang tak kalah membaranya menyerang orang yang memperingati Maulid dengan tuduhan bid’ah (sesat) karena diklaim sebagai ajaran Syiah bahkan dianggap sebagai produk ajaran Yahudi.

Ini salah satu dari sekian banyak pengamalan Islam dalam bentuk syiar yang dituduhkan oleh sekelompok orang yang mengaku menjalankan “pemurniaan agama Islam”, selain hal-hal yang sifatnya syariah bahkan akidah yang sering digugat oleh kelompok ini.

Baca juga: Adab Dulu, Baru Ilmu

Mayoritas muslim Indonesia yang sudah mapan dengan pengamalan agama yang moderat (wasathiyah) sebagai yang diajarkan oleh ulama dahulu yang tidak diragukan keulamaannya kini digugat.

Tidak heran jika kelompok ini dicap sebagai radikal dan ekstrim dalam beragama baik dalam konteks keindonesiaan maupun dalam mainstream keagamaan yang bersifat universal.

Simpel dengan pemahaman yang sangat kaku bahwa jika tidak disebutkan secara tekstual dalam al-Qur’an dan Hadis, tidak ada contoh pengamalan dari nabi dan sahabat, dianggap sesuatu yang bid’ah (sesat).

Khusus untuk peringatan maulid nabi Muhammad saw, Syiah sering dijadikan kambing hitam. Bahwa perayaan maulid pertama kali diadakan oleh Dinasti Ubaid (Fathimi) di Mesir yang berhaluan Syiah Ismailiyah (Rafidhah). Dinasti ini berkuasa di Mesir pada tahun 362 sampai dengan 567 Hijriyah.

Bagaimana ulama kita melihatnya?
Sesat dan tidaknya suatu amalan ditentukan oleh dalil yang secara tegas melarang. Semua yang terkait dengan ibadah mahdhah (diformulasi secara syar’i), dipastikan ada dasar hakum berupa dalil yang meligitimasinya.

Tapi, hal-hal yang sifatnya syiar tidak mesti ada dalil khusus sebagai dasarnya, semua diperbolehkan sesuai kebutuhan waktu dan tempat (temporal dan lokal) selama tidak bertentangan dengan syariah (dalil agama).

Faktanya, acara maulid pelaksanaannya sangat kondisional. Tapi inti acaranya mendengarkan kisah dan sejarah tentang kehidupan nabi Muhammad saw, yang berbeda biasanya pada sajian hidangan, ada yang menyuguhkan hidangan manis-manisan seperti di banyak negara arab, ada yang menyiapkan aneka macam makanan dengan asesorisnya seperti tradisi Bugis Makassar dengan bakul berisi nasi ketan (songkolo) dengan berbagai lauk yang istimewa hingga telur yang berwarna warni sebagai ungkapan kegembiraan dari yang menyiapkannya.

Jadi intinya hanya dua, mendengar sirah nabi dan memberi makan para hadirin. Dua kegiatan ini semuanya dibenarkan bahkan dianjurkan dalam Islam, inilah prinsip umum yang mendasari kebolehannya, bisa mendatangkan maslahat sekalipun tidak secara rinci dijelaskan.

Momen harian, mingguan, bulanan hingga tahunan hendaknya tidak dilewatkan kecuali kita mengambil pelajaran di dalamnya. Perhatikan QS. al-Furqan: 62 (Dan Dia yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau yang ingin bersyukur).

Nikmat yang paling besar bagi manusia adalah hidayah yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. Maka kehadiran (kelahiran) nabi Muhammad saw adalah anugerah yang pantas kita sambut dengan kesyukuran.

Tentang ekspresi kegembiraan sangat relatif dikondisikan dengan personal dan komunal yang ada. Abu Lahab yang sudah diabadikan namanya dalam al-Qur’an sebagai penghuni neraka adalah orang pertama yang gembira menyambut kehadiran anak saudaranya Abdullah yaitu Muhammad (ponakannya) dengan caranya sendiri yakni memerdekakan budaknya Tsuaiybah.

Disebutkan dalam kitab al-Bukhary (7/9) bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan siksaan (pemandangan neraka setiap pagi dan petang) kecuali pada hari Senin di mana ia bahagia pada hari itu. Kitab al-Bukhary dalam tradisi ulama sunni validasi riwayatnya diakui dalam periwayatan hadis, apalagi diperkuat dalam banyak referensi hadis yang lain.

Jika Abu Lahab yang tidak percaya kepada kenabian Muhammad memperoleh keringanan azab di hari Senin, bagaimana dengan mereka yang percaya kepada nabi Muhammad lalu mengkspresikan kegembiraannya dengan memberi sedekah makan kepada orang, pasti lebih baik dari pada Abu Lahab.

Nabi ditanya perihal puasa hari Senin, dijawab karena hari itu hari dilahirkannya. Artinya, nabi memperingati maulidnya setiap pekan. Jika ada yang berkata bahwa nabi wafat pada hari, tanggal dan bulan yang sama, lalu kita gembira pada hari itu adalah hal yang naif, maka pandangan ini keliru.

Nabi adalah rahmat yang membuat orang beriman bergembira perhatikan QS. Yunus 59 (Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan). Sumber rahmat Allah adalah nabi Muhammad saw.

Baca juga: Pesantren Az-Zikra DDI Gelar Pelatihan Mumtaz

Dinukil dari satu sumber, bahwa Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (567-622 H), penguasa dinasti Ayyub (di bawah kekuasaan Daulah Abbassiyah) yang pertama berinisiasi memperingati maulid, untuk meningkatkan semangat jihad umat Islam pada saat Perang Salib dan merebut Yerusalem dari kerajaan Salibis.

Referensi lain, disebutkan bahwa Imam Jalaluddin al-Suyuthi (911 H) berpendapat bahwa pertama kali perayaan Maulid Nabi dilakukan oleh kalangan Sunni adalah Sultan Abu Said Muzhaffar Kukabri, gubernur Irbil di Irak. Sultan Abu Said hidup pada tahun 549-630 H.

Dalam setiap peringatan maulid, beliau menyiapkan berbagai macam hidangan dan hadiah untuk dinikmati hadirin dari berbagai kalangan. Ketika ditanya bagaimana hukumnya, dijawab oleh Jalaluddin al-Suyuthi setelah menjelaskan bahwa jika di dalamnya ada nasehat dan memberi makan karena kegembiraan atas hadirnya nabi Muhammad saw maka berpotensi mendapatkan pahala, dianggap sebagai Sunnah Hasanah (inovasi dengan ikutan yang baik).

Ratusan bahkan ribuan sumber dari kitab-kitab dan ulama, baik klasik maupun masa kini menjelaskan kemuliaannya dan diklasifikasi sebagai Sunnah Hasanah untuk syiar dalam penyebaran visi dan misi rahamatan lil alamin yang diemban oleh nabi. Jika demikian, pastilah kita terusik apabila peringatan maulid disesatkan.

*Guru Besar Ilmu Fikih Kontemporer UIN Alauddin dan Rektor Universitas Islam Makassar.

ddi abrad 1