Menghayati Makna Tahun Baru Hijriah

0
10

AG. Prof. Dr. H. A. Syamsul Bahri AG., Lc. MA.

MENGHAYATI MAKNA TAHUN BARU HIJRIAH

بسم الله الرحمن الرحيم
والحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين  محمد النبي الأمين، ومن تبعه بإحسان إلى يوم الدين، وبعد

Satu Muharam atau awal tahun baru hijrah ditandai dengan pindahnya Nabi Muhammad SAW dari Makah ke Madinah 14 abad yang lalu.

Di samping itu, setiap menyambut datangnya tahun baru hijrah selalu didahului oleh dua peristiwa penting dalam kehidupan umat Islam, yaitu:

* Idul Fitri, 01 Syawal sebagai akhir puasa.

* Idul Adha, 10 Zulhijah sebagai kemuncak pelaksanaan ibadah haji.

Kedua-dua perkara ini kalau diamati lebih mendalam memiliki makna dan hubungan yang erat dengan satu Muharam, yaitu datangnya tahun baru hijrah.

Seseorang yang akan hijrah atau pindah dari satu tempat ke tempat lain, selayaknyalah dia mempersiapkan bekal. Apatah lagi hijrah atau pindah untuk menuju satu tahun ke hadapan, tentu dia dituntut lebih siap lagi.

Bekal yang diwajibkan Allah untuk persiapan satu tahun adalah ibadah puasa dan haji.

Ibadah puasa bertujuan agar kita mampu mengendalikan hawa nafsu, sedangkan ibadah haji untuk melawan dan menundukkan godaan syaitan yang terkutuk.

Puasa sememangnya dikhususkan untuk mengendalikan hawa nafsu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist, yang bermaksud;

”Pada bulan puasa syaitan-syaitan diikat, sedangkan pintu-pintu surga dibuka” (H.R. Imam Bukhari).

Allah mengikat syaitan selama bulan puasa agar seseorang memusatkan dirinya mengendalikan hawa nafsu yang berasal dari dalam dirinya, yaitu nafsu perut dan seksual.

Apabila masih terjadi kemaksiatan di mana-mana di bulan suci Ramadhan, berarti manusia-manusia itu sendiri tabiatnya sudah sama dengan syaitan, karena disebutkan dalam surat An-Naas [114]: ayat 6, bahwa syaitan itu terdiri dari (2) golongan, yaitu golongan jin dan golongan manusia.

Setelah selesai mengendalikan hawa nafsu, diharapkan kita semua “berjaya” dihari yang fitri/suci (1 syawal) menjadi insan yang ber “taqwa”, kita kemudian dituntut untuk menghadapi dan bahkan melenyapkan musuh yang berasal dari luar, yaitu godaan syaitan.

Sekalipun godaan syaitan dan nafsu sama-sama tidak tampak, kedua-duanya berbeda dalam cara menggoda umat manusia dan tujuannya.

Syaitan tidak puas hanya dengan satu cara. Kalau gagal dengan satu cara, dia mencari jalan lain agar berhasil.

Dan kalau sudah berhasil, dia berusaha agar hasil godaan itu semakin maksimal, syaitan tidak akan puas sebelum berhasil menyesatkan umat Islam sebanyak-banyaknya untuk masuk ke Neraka.

Berbeda halnya dengan nafsu. Jika sudah terpenuhi nafsunya, maka sang nafsu tidak menuntut yang lebih besar lagi.

Misalkan seseorang yang mempunyai nafsu makan karena lapar, dia hanya memerlukan sepinggan nasi untuk memenuhi nafsunya dan ketika seseorang bernafsu untuk mendapatkan suatu jawatan, akan merasa puas kalau jawatan itu sudah terpenuhi, dan seterusnya.

Cara untuk melawan godaan syaitan tidak dengan berpuasa, tetapi yang paling berkesan dengan ibadah haji.

Salah satu wajib haji adalah melontar jamarat di Mina yang melambangkan mengusir atau melawan syaitan.

Syaitan berada di luar diri kita. Karena itu, kita perlu mempersiapkan senjata untuk melawannya, yaitu batu.

Dalam puasa, kita dituntut untuk mengendalikan hawa nafsu bukan melenyapkannya. Tapi, pada waktu haji, kita dituntut untuk mengalahkan syaitan dan sekaligus melenyapkannya.

Mengendalikan hawa nafsu diwajibkan setiap tahun, sedangkan memerangi syaitan hanya sekali seumur hidup dengan ibadah “haji”.

Setelah nafsu dan syaitan dapat ditaklukkan, bermakna kita sudah siap hijrah ke tahun berikutnya.

Dengan demikian, ketika menyambut tahun baru 1 Muharam, kita memulai kegiatan dengan bekal yang matang, program yang jelas, dan penuh dengan rasa percaya diri dengan “hati yang bersih”.

Sungguh Allah SWT telah mengatur urutan-urutan itu, yakni mulai dari perintah puasa dan Idul Fitrinya, kemudian Haji dan Idul Adha dengan menyembelih hewan qurban, akhirnya menyambut awal tahun baru Hijrah dalam puncak ke “taqwa”an.

Kondisi puncak ketaqwaan inilah yang harus kita pertahankan sejak memasuki tahun baru Hijriah hingga 11 bulan kehadapan sampai berjumpa bulan suci Ramadhan lagi.

Kondisi seperti ini berulang-ulang sepanjang tahun, menjadi hamba Allah yang bertaqwa ini terus-menerus kita pertahankan hingga ajal menjemput kita.

Insya Allah kalau kita dapat mempertahankan seperti ini, kita dimatikan Allah SWT dalam keadaan khusnul khatimah (akhir yang baik), amin.

ddi abrad 1