Dari sekian banyak silang pendapat tentang agama itu apa, paling tidak bisa dipahami bahwa agama adalah pengakuan adanya hubungan manusia dengan sesuatu yang gaib tetapi menguasai manusia. Karena berdasar pada ‘pengakuan’, maka agama adalah sesuatu yang internal manusia, tidak eksternal. Bahkan jika pengakuan itu hilang, maka agama pun tidak ada.
Salah satu istilah yang sangat khas agama adalah kitab suci. Sesungguhnya istilah yang lebih tepat bukan ‘kitab suci’, tetapi ‘kitab yang disucikan’. Buktinya, bagi penganut suatu agama, hanya kitabnya saja yang suci dan kitab lain tidak suci. Istilah lain adalah ‘hari raya’ yang tentu saja hanya ‘raya’ bagi yang merayakannya dan tidak bagi yang tidak merayakannya.
Dari adanya istilah ‘pengakuan’ di dalam agama sebagaimana disebutkan di atas, muncul berbagai dugaan bahwa agama bisa saja muncul dari rasa takut manusia atas segala hal yang tidak mampu diatasinya seperti kematian, penyakit, atau bencana alam. Karena itulah manusia mencari perlindungan dari yang gaib dan memiliki kekuasaan atas manusia.
Sejalan dengan dugaan di atas, ada dugaan lain yaitu agama muncul dari kebodohan. Pastinya, manusia takut terhadap hal-hal yang tidak diketahuinya karena itu berada di luar kuasanya. Misalnya, di malam hari tampak ada bayangan yang mirip raksasa. Karena ketidaktahuan, manusia lalu takut terhadapnya dan seandainya manusia tahu bahwa itu hanyalah bayangan semata dan bukan raksasa, maka manusia tidak perlu takut.
Karena itu, kelanjutan dari dugaan ini adalah bahwa saat pengetahuan manusia berkembang, ketakutan pun akan sirna dan karena itu, agama pun tidak akan ada lagi karena agama hanya muncul dari ketakutan.
Beberapa dugaan lainnya tentang bagaimana agama muncul sesungguhnya hanya pengembangan dari dugaan ketakutan dan kebodohan. Namun ada dugaan yang sedikit agak berbeda yaitu agama muncul karena manusia adalah makhluk pencari makna. Makna biasanya adalah sesuatu yang berada di balik yang tampak.
Manusia tidak pernah puas dengan apa yang tampak dan karena itu mencari di baliknya. Salah satu bentuk pencarian makna oleh manusia adalah mentransendensikan hal-hal yang sesungguhnya empirik. Dengan cara itu, kehidupan menjadi bermakna.
Lalu, mengapa manusia perlu memberi makna bagi kehidupannya? Makna menjadi penting karena kehidupan penuh ketidakpastian dan manusia tidak berdaya di hadapan ketidakpastian tersebut. Memberikan makna pada hal-hal yang tidak dapat diduga oleh manusia, lewat agama, paling tidak memberikan kompensasi atas ketidakberdayaannya.
Barangkali kata ‘kompensasi’ di atas terasa mendegradasi makna agama, tetapi sekaligus itu membuktikan bahwa agama amat bermafaat bagi manusia. Ketidakberdayaan pasti mengganggu kebahagiaan manusia sedangkan kebahagiaan adalah hal yang tidak dapat ditawar-tawar. Jika ada yang mampu mengatasi kenyataan ketidakberdayaan manusia, pasti agama adalah salah satunya.
Saat menghadapi kesulitan dan saat sedang mengalami ketidakberdayaan, manusia tidak hanya membutuhkan jawaban atas mengapa semua itu terjadi. Manusia juga membutuhkan harapan atau optimisme agar manusia memiliki pegangan dalam menjalani itu semua. Dalam hal ini, agama juga berfungsi untuk tetap menjaga optimisme agar tetap hidup.
Sebagai makhluk berakal, manusia pasti dikejar-kejar oleh berbagai pertanyaan liar dan mengganggu di sepanjang hidupnya. Banyak pertanyaan itu yang bisa dijawab oleh sains, tapi banyak pula yang tidak, seperti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat metafisis. Misalnya, pertanyaan dari mana asal manusia? Mengapa harus hadir di dunia ini? Ke mana manusia setelah kehidupan di dunia? Agama menjadi salah satu alternatif yang menyediakan jawaban untuk semua itu.
Penjelasan di atas tetang agama lebih bersifat personal. Selain personal, agama juga memiliki fungsi sosial, yaitu fungsi yang menyatukan individu-individu yang pada dasarnya berbeda. Di sebuah rumah ibadah, anggota jamaah memiliki kesamaan rasa meskipun masing-masing berbeda secara individual, seperti warna kulit, tingkat ekonomi, pilihan politik, hingga strata sosial. Agama yang sama mengikat erat mereka semua dalam satu ikatan.
Meski tampak menjanjikan hal yang positif, yaitu kebersamaan, kesamaan, dan kesatuan, fungsi sosial agama menjanjikan hal yang sebaliknya, yaitu kemasing-masingan, perbedaan, hingga perpecahan.
Pada tataran fungsi sosial agama inilah agama memasuk fase sangat rentan dan berisiko karena bisa menjadi alat pemecah belah yang sangat ampuh. Tidak jarang sejarah mencatat bagaimana daya rusak agama di tingkat sosial sangat tinggi.
Kenyataan agama berpotensi merusak di tingkat sosial dan itu terbukti di dalam sejarah menghasilkan kecenderungan untuk membiarkan agama menjadi urusan pribadi semata atau paling maksimal semata-mata alat kohesi sosial, seperti makan bersama kala hari raya, menghibur bersama kala duka melanda, ibadah bersama di waktu-waktu tertentu.
Catatan penting bagi fungsi sosial agama yang memecah-belah adalah bahwa jika itu terjadi, maka fungsi agama yang mampu mengatasi ketidakberdayaan manusia malah bisa menjadi sumber ketidakberdayaan baru. Bahkan janji agama untuk memberikan kebahagiaan bisa menjai sumber ketidakbahagiaan baru.
Tulisan ini disadur dari ibihtafsir.ID