Prof. (HC). Dr. H. Suaib Tahir, Lc. MA.
Allah telah mendeklarasikan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dan mulia dalam al-Qur’an.
Manusia bukan sekedar makhluk biologis, manusia juga makhluk sosial dan makhluk spiritual. Allah SWT. sudah membincang peranan manusia ini dalam kalamnya yang agung, Al-Qur’an.
Al-Qur’an telah mengurai kapasitas manusia dengan tiga terminologi khusus, yaitu sebagai basyar, insan, dan an-nas.
Dalam al-Qur’an, kata basyar disebut sebanyak 35 kali yang merujuk pada manusia sebagai makhluk biologis.
Konsep basyar selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis manusia seperti makan, minum, kawin, berjalan-jalan, merasa bahagia, sedih, dan yang lainya.
Aspek biologis ini diperlihatkan dalam diri Nabi Muhammad, misalnya dalam Qur’an Surat Al-Kahfi: 110;
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhan-nya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”” (QS Al-Kahfi : 110).
Ayat itu merujuk pada status Rasulullah sebagai manusia yang juga merasakan kelaparan, berketurunan, dan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Kedua, manusia sebagai makhluk rohani dalam terminologi al-insan.
Diksi ini disebut di 65 tempat dalam al-Qur’an. Kata ini disinggung untuk merujuk pada konsep manusia secara utuh (insan kamil).
Jika ditinjau lebih mendalam, penggunaan kata al-insan mengandung dua dimensi; dimensi tubuh dan dimensi spiritual.
Kata insan ini mempertegas bahwa manusia sebagai makhluk yang layak menyandang amanah sebagai khalifah di muka bumi meskipun tetap tidak sempurna.
Atribut khalifah itu dikemas dalam terminologi insan dalam Al-Qur’an yang merujuk pada sifat-sifat psikologis dan spiritual.
Aspek spiritualitas inilah yang kemudian meninggikan derajat manusia yang membuatnya layak menjadi khalifah di bumi dan mampu memikul tugas keagamaan (taklif) dan amanah.
Dengan pertimbangan spiritual itu maka kata insan juga menjadi istilah yang dipilih menjadi anti-tesis dari sifat-sifat negatif setan, seperti dalam Qur’an Surat al-Isra ayat 53;
وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh, setan itu (selalu) menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sungguh, setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS Al-Isra’ : 53).
Artinya proses penciptaan manusia melibatkan dua aspek sekaligus, yaitu aspek materiil dan non-materiil.
Dalam bahasa lain, proses penciptaan manusia menggambarkan secara simbolis dua karakter sekaligus, yaitu basyari (material) dan insani (spiritual).
Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial dirangkum dalam terminologi an-nas.
Kata an-Nas menjadi kata yang paling sering disebut dalam al-Qur`an, yaitu sebanyak 240 kali.
An-Nas mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini dapat kita lihat dalam tiga segi;
Pertama, banyak ayat yang merujuk pada berbagai kelompok sosial beserta masing-masing karakteristiknya. Ayat-ayat ini lazim berbunyi ‘wa minan nasi’ (dan di antara sebagian manusia).
Dengan ungkapan tersebut, Al-Qur’an sedang mengidentifikasi masyarakat mana yang menyatakan beriman tetapi sebetulnya tidak beriman, yang menyekutukan, dan yang hanya memikirkan dunia.
Kedua, dengan ungkapan aktsarun nas, al-Qur’an sedang memetakan masyarakat sesuai dengan kualitasnya. Bahwa sebagian besar manusia mempunyai kualitas rendah, baik dari segi ilmu.
Ketiga, Al-Qur’an menegaskan bahwa petunjuk Al-Qur`an bukan hanya dimaksudkan kepada manusia secara individu, melainkan juga manusia secara sosial.
Sosial dalam pengertian ini melampaui identitas suku, agama, ras, dan golongan misalnya disinggung dalam Qur’an Surat Hud ayat 85;
وَيَا قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
“Dan wahai kaumku! Penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan kamu membuat kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.” (QS Hud : 85)
Kata an-nas dalam ayat tersebut mengindikasikan manusia sebagai makhluk sosial yang lekat dengan hak-haknya sebagai manusia.
Tiga terminologi itu sifatnya tidak hierarkis atau berjenjang, melainkan satu kesatuan untuk membentuk manusia sebagai khalifah fil ardh.
Artinya, manusia tidak ditakdirkan hidup untuk ibadah saja hingga melupakan kehidupan sosial, atau bersosial saja sehingga melupakan Allah SWT.
Semuanya saling bersinergi sehingga membuat manusia layak menyandang sebagai makhluk mulia, yang membedakan hakekat manusia dengan hewan, yaitu potensi untuk menguatkan iman dan potensi untuk mengembangkan ilmu.
Usaha untuk mengembangkan keduanya disebut amal saleh. Iman dan amal adalah ukuran yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Jika manusia sudah berhasil memadukan antara elemen rohani, materi, dan sosial, maka ia baru layak disebut sebagai manusia yang paling mulia.