Oleh: AG. Drs. H. Hilmy Ali Yafie
Suatu ketika, siang hari—saya tidak ingat persis kapan waktunya, tetapi peristiwa itu terjadi beberapa tahun setelah lahirnya DDI-AD —Kiai Abdul Wahab Zakariya (1947-2012), selanjutnya dalam tulisan ini saya menyebutnya Gurutta Wahab, menelpon saya, dari Makassar. Dia bertanya apakah saya ada di Jakarta. Setelah saya mengatakan bahwa saya ada di Jakarta, dia mengatakan: “… saya sekarang menuju (bandara Sultan Hasanudin) Mandai, Insya Allah, sore ini saya akan ke Jakarta … saya mau bertemu dengan Gurutta (Ali Yafie) … nanti dari Cengkareng saya akan langsung ke Bintaro … ancar-ancarnya, mungkin tiba di Bintaro setelah Isya … jadi saya berharap kita bertemu disana”. Saya pun mengatakan: “Baik, saya tunggu di Bintaro …”. Dia juga mengabarkan bahwa sudah kontak Gurutta Dr. Rusdy Ambo Dalle, agar ke Bintaro juga. Dia mengatakan: “ … nanti kita bertiga menghadap Gurutta Ali Yafie …”.
Saya tidak bertanya tentang urusan yang mau dibicarakan. Saya hanya merasa itu penting. Karena, Gurutta Wahab mengatakan bahwa dia, dari Cengkareng, mau langsung ke Bintaro. Tidak biasanya begitu. Sesudah menerima pesannya itu, saya pun ke rumah Gurutta Ali Yafie, di Kompleks Menteng Residence, Bintaro Jaya sektor 7, Tangerang Selatan, Banten , mengabarkan bahwa Kiai Wahab dan Rusydi Ambo Dalle, nanti malam akan datang, berkunjung. Ketika saya memberitahukan, bahwa dia masih di Makasar ketika mengabari saya, dan rencananya, dari Cengkareng mau langsung ke Bintaro, Gurutta Ali Yafie, mengatakan “kedengarannya penting sekali”.
Gurutta Rusydi Ambo Dalle tiba lebih dulu tiba di Baintaro, sekitar 10 – 15 menit daripada Gurutta Wahab. Sambil menunggu, saya sempat bertanya kepada Gurutta Rusydi, tentang maksud kedatangan Gurutta Wahab yang terkesan mendadak, dengan kedengarannya serius sekali. Gurutta Rusydi menjawab samar-samar bahwa tampaknya ini terkait dengan kerisauannya atas kondisi DDI. Memang dalam beberapa kesempatan bertemu, Gurutta Wahab seringkali mengungkapkan kerisauannya kepada saya, dengan kondisi DDI, yang terbelah.
Singkat cerita, Gurutta Wahab, dengan diantar oleh seorang muridnya (saya lupa namanya), tiba sekitar jam 20.00 malam di kediaman Gurutta Ali Yafie, di Bintaro. Setelah Gurutta Wahab tiba, kami pun berpindah ke ruang dalam, tempat dimana biasanya Gurutta Ali Yafie menerima tamu yang sudah terbiasa dan akrab dengannya. Kemudian saya menjemput Gurutta Ali Yafie, dari kamarnya. Begitu Gurutta Ali Yafie, keluar dari kamar, Gurutta Wahab menyonsongnya, dia mencium tangannya, dengan takzim berkata: “… engka ka pole Puang, sitangngi Gurutta” (saya datang menjenguk, Gurutta), yang disambut dengan senyum hangat Gurutta Ali Yafie.
Gurutta Ali Yafie menyilahkan Gurutta Wahab duduk di kursi yang dekat darinya. Entah kenapa, setelah kami semua duduk, mengatakan kepada agar tidak terlalu banyak cahaya. Maka saya mematikan sebagian lampu yang ada di ruangan itu. Setelah bertukarsapa, saling menanyakan kabar, Gurutta Wahab kembali mengulang kata-kata: “engka ka pole puang, sitangngi gurutta”. Setelah berhenti sejenaknya, dia berkata: “ini persoalan DDI, Puang”. Lalu dengan suara tergetar dia menyambung: “… napolei-ki abala loppo makku-kue, Puang (sekarang ini kita ini tertimpa bencana besar, puang) “. Sampai disitu, Gurutta Wahab terisak, dan dengan terpatah-patah melanjutkan mengatakan: “ … idi biasa podanggi tauwe … aja na sisala-sala … (biasanya kita lah yang memberitahukan kepada orang lain, agar tidak berselisih), … siama-ama-ki (agar saling memaafkan, saling merelakan) … na iyena polei-ki-e makku-kue (tetapi inilah yang menimpa kita sekarang) … idina sisala-sala (kita lah sekarang yang bertikai) … agana nasangang-ki tauwe … masiri-ki iseding Puang (seharusnya kita ini merasa malu) … dena irissengngi kegani itaro tappa ta … masiri ki matu siruntu Gurutta … (kita malu, kelak, jika bertemu Gurutta) …”. Gurutta Wahab, tertunduk, cukup rendah, menangis, sampai Gurutta Ali Yafie, mencondongkan tubuhnya, memegang pundaknya menenangkannya.
Gurutta Wahab tampak sangat sedih. Saya, kami yang ada disitu, sangat tersentuh, ikut merasakan suasana hati Gurutta Wahab. Suasana sedih terasa semakin mencengkram hati, karena Gurutta Rusydi juga ikut menangis. Ada beberapa menit kami terbawa dalam suasananya seperti itu. Setelah agak tenang, Gurutta Wahab mengatakan: “… Saya datang untuk meminta restu Gurutta … saya mau mengajak kedua adik saya ini, Rusydi dan Hilmy, berasama-sama saya untuk mengupayakan agar DDI bisa kembali menyatu”.
Ada banyak hal yang dibicarakan pada malam itu. Saya tidak mengingat semua. Intinya adalah bahwa DDI yang berselisih, lalu pecah, terbagi dua, adalah sesuatu yang memalukan. Tidak hanya kepada diri sendiri (yang memproklamirkan diri sebagai organisasi yang bergerak di bidang pendidikan dan dakwah), kepada masyarakat, khususnya masyarakat DDI, juga kepada Gurutta. Kita telah membuat apa yang dirintis dan telah dikembangkan Gurutta—dengan penuh pengorbanan—dimana kita semua telah memproleh manfaatnya, jatuh berantakan, pecah. Dengan kondisi seperti itu, maka bisa dikatakan DDI menjadi sulit berkembang, bahkan mungkin suatu ketika nanti bisa kembali ke titik nol. Itu berarti menyia-nyiakan karya besar Gurutta, yang ditinggalkan untuk kita.
DDI AD, yang awalnya di maksudkan untuk memperbaiki keadaannya, tampak bukan solusi yang tepat. Atau, mungkin, sebagai sebuah kritik, sudah cukup sampai disitu. Karena, faktanya, disadari atau tidak, dengan adanya DDI-AD, kita sudah terjebak dalam pertarungan klaim, dalam arena aksi dan reaksi, yang tidak produktif. Secara keseluruhan adanya dua DDI lebih banyak menampar diri sendiri (istilah Gurutta Wahab: mempermalukan diri sendiri). Kondisi itu tidak bisa dibiarkan berlangsung terus begitu. Maka upaya menyatukan kembali DDI mutlak perlu dilakukan. Kalau tidak, maka tidak ada tempat bagi kita untuk mengaku sebagai murid dan penerus Gurutta. Dan kelak, kita tidak ada muka untuk bertemu Gurutta, kata Gurutta Wahab.
Gurutta Ali Yafie juga, dengan suara serak, menyatakan keprihatannya yang mendalam, atas situasi yang menimpa DDI itu. Dia menyambut dan memberikan dukungannya secara penuh atas gagasan (penyatuan) itu. Kita berharap, kondisi (dua DDI) ini berakhir. Dia mengatakan (penyatuan) itu mungkin sulit, dan harus menempuh jalan yang berliku. Karena kedua belah pihak (yang berselisih) sudah terlanjur mempunyai persepsi (negatif) terhadap pihak lain yang bersebarangan dengannya. Memang adanya yang namanya subyektifitas, ada rasa suka dan tidak suka. Itu membuat kedua belah pihak semakin sulit bertemu. Itu mngkin terjadi begitu saja, karena situasinya, tetapi bisa juga sengaja dibuat untuk mendukung klaim.
Oleh karena, kata Gurutta Ali Yafie, kalian perlu lebih jernih melihat persoalan, tidak terjebak dalam persepsi-persepsi (negatif) yang berkembang. Kita juga tidak bisa berharap banyak kepada orang atau pihak lain; termasuk pemerintah. Boleh, tetapi harus bisa menjaga jarak. Kalau tidak, kita bisa terjebak dalam permainan kepentingan orang atau pihak lain. Kita harus mengandalkan diri sendiri, dan memulai upaya itu dari sekarang. Tentu sulit. Pasti akan banyak rintangan. Banyak sekali oarng atau pihak yang bermain disekitar kita untuk kepentingan dirinya sendiri. Biasanya, orang seperti itu cendrung sengaja mendorong terciptanya kondisi keruh. Dengan begitu dia bisa memanfaatkan keadaan keruh untuk kepentingannya sendiri. Tetapi betapa pun sulitnya jalan yang harus ditempuh, itu harus dilalui. Tentu, perlu pengorbanan. Tetapi, kata Gurutta Ali Yafie, Gurutta juga dulu menempuh jalan yang sulit, dan penuh pengorbanan . Gurutta Ali Yafie, menganjurkian agar kita bekerja secara terencana dan bertahap. Memulai dengan membuat peta. Baru kemudian menentukan langkah-langkah. Peta itu perlu diperiksa terus menerus, karena situasinya bisa berubah-ubah; tentu itu juga akan mempengaruhi langkah-langkah. Jadi harus cermat memeriksa keadaan dan luwes menentukan langkah-langkah.
Ada sekitar dua jam kami di rumah Gurutta Ali Yafie. Ketika pamitan, Gurutta Wahab, dengan takzim, menyatakan: “mohon restu dan doanya gurutta, saya berharap kiranya gurutta, satu saat nanti, melihat DDI kembali menyatu, utuh seperti dulu”.
Setelah Gurutta Wahab dan Gurutta Rusydi meninggalkan Bintaro, Gurutta Ali Yafie meminta saya untuk tinggal sejenak, tidak langsung pulang ke rumah. Setelah berada dalam kamarnya, Gurutta Ali Yafie berkata: “kalau kalian mau DDI bersatu, minta ke Rusydi agar meninggalkan aktifitas politiknya, meninggalkan segala atribut politiknya, dan fokus untuk urusan (penyatuan) ini … gerakan ini harus bertumpu pada Rusydi, karena untuk sekarang dia lah perekat DDI … dia adalah representasi Gurutta … tetapi dia perlu menyesuaikan diri … dan agar upaya yang kalian rintis lebih mulus, kamu harus mendampingi dia, jangan biarkan dia berjalan sendirian dan berhadapan langsung dengan orang-orang yang tidak menghendaki dan mencoba menghalangi upaya (penyatuan) ini … jangan sampai dia dibuat kehilangan kontrol diri”.
Pada saat bertemu dengannya, saya menyampaikan pesan itu, dan Gurutta Rusydi pun menyanggupinya; tetapi, kata beliau, dia akan melakukannya secara bertahap.
Sejak itu, kami bertiga rutin berekomunikasi . Kami lebih banyak bertemu di Sulawesi. Kadang-kadang saya bersama Gurutta Rusdi, kalau lagi bersama-sama ke atau ada di Sulawesi, bertemu dengan Gurutta Wahab. Tetapi, seringkali, saya hanya berduaan dengaan Gurutta Wahab. Kami mengawali dengan membuat peta, tentang orang-orang, tentang kelompok-kelompok orang yang mungkin bisa diajak membicarakan gagasan penyatuan itu. Kami berbagi tugas. Gurutta Wahab, fokus mempromosi gagasan itu di wilayah DDI-AD. Sedangkan saya bersama Gurutta Rusydi mempromosikannya di wilayah yang ada di seberangnya.
Biasanya saya (sendiri atau bersama Gurutta Rusydi) bertemu dengan Gurutta Wahab di tempatnya, di Tonrongnge, Mangkoso; atau di tempat saya, di Jampue, Pinrang. Biasanya saya mengundang Gurutta Wahab ke Jampue, untuk mengisi acara tertentu. Hampir pasti, jika ada perayaan Isra’ Mi’raj, atau peringatan Maulid, di Pesantren atau di Mesjid Jampue, saya mengundang Gurutta Wahab, untuk menjadi pembicaranya. Biasanya setelah acara selesai, kami mendiskusikan dan saling berbagi informasi tentang perkembangan gerakan penyatuan yang kami rintis itu, dan ancang-ancang langkah berikutnya. Tetapi tidak jarang juga, kami berkomunikasi melalui telpon, saling berkirim kabar, kalau tidak sempat bertemu. Kadang-kadang, kalau saya sudah ada di Jampue, tanpa memberitahukannya kedatangan saya ke Sulawesi sebelumnya, ketika saya menghubunginya, dia mengomel. “kok tiba-tiba sudah ada di Jampue, apa susahnya sih, menelpon … saya kan bisa menjemput anda di Mandai … tinggal angkat telpon, memberitahukan dan saya akan jemput …”. Saya hanya tertawa-tawa mendengarnya, dan minta maaf, lalu berbicara tentang berbagai hal menyangkut apa yang sudah dan apa yang kami rencanakan lakukan.
Memang banyak rintangan yang kami hadapi. Memang ada orang yang optimis seperti bapak Iskandar Idy, Puang Ide, dan Bapak Rahman Idrus, tetapi banyak sekali nada-nada pemistis berkeliaran liar berseliweran disekitar kami. Itu membuat seperti ada tembok yang sulit ditembus. Kami kemudian menyadari bahwa, gerakan ini tidak cukup hanya berbicara dengan tokoh-tokoh atau orang-orang yang ada diatas. Kebanyakan mereka, terutama yang aktif di pemerintahan, aktif sebagai pegawai negeri, aktif mengajar, atau terlibat dalam organisasi tertentu, mempunyai ketakutan-ketakutan tersendiri, atau mempunyai hambatan psykologis.
Kami kemudian menyadari bahwa sebenarnya perlu ada dukungan yang lebih luas dari basis, dari sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan DDI, dan juga orang-orang independent; yang tidak mempunyai trauma masa lalu. Waktu itu memang kami belum banyak berinteraksi dengan generasi baru DDI, seperti alumni dari berbagai pesantren DDI, sebagai sebuah kelompok; yang dikemudian hari menjadi ujung tombak perubahan di DDI. Jalan memang terjal. Sementara itu, kondisi kesehatan Gurutta Wahab, mulai menjadi tidak stabil. Tetapi Gurutta Wahab adalah orang optimis. Kondisi kesehatannya, tidak menyurutkan semangatnya.
Meskipun, tidak seintensif sebelumnya, kami terus berhubungan dan berkomunikasi. Kami, suatu ketika, dalam upaya membangun dukungan yang lebih luas, merencanakan sesuatu yang baru. Kami merencanakan untuk mengadakan sebuah pertemuan besar, yang memungkinkan melibatkan kedua pihak DDI. Sebuah pertemuan yang dibungkus dengan acara tertentu, seperti acara isra’ mi’raj, atau maulid, atau pertemuan silaturrahim, atau haul Gurutta. Tentu tempatnya, yang bisa dianggap netral oleh kedua pihak, dan terkontrol. Pilihanya jatuh pada Jampue. Sebenarnya itu terinspirasi dari pertemuan Alim Ulama yang bersejarah, di Soppeng, yang melahirkan DDI. Kami menyadari bahwa itu mungkin tidak akan menghasilkan sebuah langkah kongrit tentang penyatuan; tetapi paling tidak, kami berharap, dari situ sudah mulai berbicara secara lebih terbuka kepada kedua pihak, yang bersebrangan, dalam sebuah forum, menyerukan penyatuan.
Tetapi, kemudian Gurutta Wahab jatuh sakit, cukup parah, sebelum gagasan itu terwujud. Gurutta Wahab, wafat tanggal 13 Mei 2012. Saya, sempat melayat waktu mau di makamkan, di rumah duka. Di hadapan jenazahnya, saya tercenung; bayangan, semua apa yang sudah lalui bersama, melintas berlalu lalang dalam benak saya. Saya kemudian merasakan kepergiannya terlalu cepat. Kepergiannya merupakan pukulan telak bagi kami, yang mempunyai mimpi melihat kembali DDI menyatu. Saya juga merasa ada sebuah lubang besar yang menganga lebar, dengan kepergiannya, yang mungkin sulit di tambal. Sementara, meskipun kami berjalan bersama dalam waktu yang ralatif cukup lama, tetapi apa yang kami lakukan barulah sebuah langkah awal, dari sebuah perjalanan yang sangat panjang, terjal dan berliku. Bisa dikatakan apa yang telah kami lakukan itu belumlah menghasilkan sesuatu yang cukup berarti, selain sebuah gagasan dan semangat.
Bagi saya kepergiannya, selain meninggalkan kesedihan yang mendalam. Saya bersedih, karena saya merasa kehilangan seorang sahabat yang hangat, bersahabat, tulus, peduli, terbuka, rendah hati dan menghormati orang, yang menempuh hidup bersahaja. Kalau menurut penuturan murid-muridnya, dia memang tegas dan keras, dalam proses pengasuhan mereka, tetapi dia adalah seorang yang penuh dengan kasih-sayang. Itu terlihat dari hubungan mereka, setelah murid-muridnya itu menyelesaikan pendidikannya di pesentren, khusunya alumni Tonrongnge, yang tetap terjaga dengan sangat baik. Relasi sebagai guru-murid atau orangtua-anak, selalu terlihat hangat, penuh kasih sayang. Mereka memperlakukannya dengan penuh penghormatan. Di sisi lain, selama kebersamaan kami menjalankan misi yang sama, dia adalah seorang kawan seperjalanan yang memiliki solidaritas tinggi, semangat pantang menyerah, teguh pada pendirian, memegang janji, dengan pandangan-pandangan yang jernih. Dia tidak pernah menunjukkan mimik atau sikap melemahkan semangat, ketika kita berada dalam situasi yang bisa membuat orang patah semangat. Dia penuh optimisme, dengan upaya penyatuan DDI; sekalipun menyadari dan berada dalam medan sangat berat. Bagi saya dia adalah seorang perintis, pejuang, yang tidak pernah surut semangatnya.
Saya menggambarkan kepergiannya sebagai “meninggalkan sebuah lubang yang menganga lebar” yang sulit ditambal; dalam kaitannya dengan upaya penyatuan DDI. Karena, bagi kami yang bermimpi melihat DDI menyatu kembali, kepergiannya membuat kami nyaris tidak bisa bergerak kembali. Meskipun begitu, kami tetap terus menghidupkan mimpi itu, sepeninggal dia. Dan, tampaknya, semangat yang tak pernah padam itu, dan doanya mendapatkan jawaban. Beberapa tahun setelah wafatnya, muncul sebuah gerakan masif—yang dulu kami impikan—yang dimotori oleh anak-anak muda, alumni Kaballangang, dengan dukungan penuh dari alumni Mangkoso dan Pare-Pare, mendorong DDI kembali menyatu, utuh; setelah sekian lama terbelah. Itu adalah generasi baru DDI, murid-murid dari Gurutta Wahab. Mereka itulah yang kemudian mewujudkan mimpi kami.
Gurutta Wahab memang tidak sempat melihat saat ketika DDI menyatu. Tetapi Gurutta Ali Yafie, masih melihat dan aktif terlibat dalam proses menuju moment bersejerah itu. Saya ingat, ketika bertemu dengan Gurutta Ali Yafie, awal membicarakan gagasan penyatuan DDI itu, di Bintaro, dia pernah mengatakan: “… mohon restu dan doa gurutta … saya berharap kiranya gurutta, satu saat nanti, melihat DDI kembali menyatu, utuh seperti sedia kala”.
Gurutta Wahab, dalam kaca mata saya, adalah seorang ulama dalam ilmu dan karakter, dengan semangat pengabdian tanpa pamrih dan loyalitas tunggal tak terbagi kepada DDI. Dia memang bukan pahlawan yang tampil mengibarkan panji penyatuan di moment (penyatuan) yang dimimpikan; tetapi dia adalah seorang pejuang yang merintis, membuka jalan bagi para pejuang yang datang belakangan yang kemudian membawa panji penyatuan itu dengan kepala terangkat ke atas panggung di moment penyatuan DDI. Dan mereka itu adalah murid-muridnya.
Bogor, 26 April 2025
Hilmy Ali Yafie