Lebaran Ketupat

0
144

Prof. Dr. H. Muh. Suaib Tahir, Lc., MA.

Lebaran Ketupat: “Hari Raya” Kultural Muslim Nusantara

Indonesia dikenal dengan keragaman budaya yang luar biasa, yang tersebar di setiap kepulauan.

Ragam budaya ini tidak hanya mencerminkan warisan leluhur, tetapi juga menunjukkan bagaimana tradisi-tradisi tersebut dapat beradaptasi dengan ajaran Islam.

Salah satu contoh yang menarik adalah tradisi Lebaran Ketupat, sebuah perayaan yang khas bagi masyarakat Jawa setelah Hari Raya IdulFitri.

Tradisi ini menggabungkan nilai-nilai Islam dengan elemen budaya lokal, dan telah diterima dengan antusias oleh masyarakat karena memberikan rasa nyaman dan damai.

Lebaran Ketupat: Perwujudan Syukur Setelah Puasa Ramadhan

Lebaran Ketupat merupakan tradisi yang dilaksanakan pada hari ketujuh setelah IdulFitri, sebagai bentuk rasa syukur setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa.

Dalam budaya Jawa, Lebaran Ketupat tidak hanya sekedar tradisi kuliner, tetapi juga merupakan bentuk pengakuan terhadap berkat dan keberhasilan dalam menjalankan puasa.

Ketupat, yang terbuat dari beras yang dibungkus dengan daun kelapa muda, melambangkan keikhlasan dan kesederhanaan, serta simbol rasa syukur atas berkah kehidupan.

Asal Usul dan Makna Spiritual Lebaran Ketupat

Meskipun Lebaran Ketupat bukanlah bagian dari ajaran Islam yang murni, tradisi ini berakar dalam budaya Jawa yang berakulturasi dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Walisongo pada abad ke-15 dan ke-16.

Beberapa literatur sejarah menyebutkan bahwa ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu dari sembilan wali Islam di Jawa, terutama di daerah Demak, Jawa Tengah.

Sunan Kalijaga tidak hanya mengembangkan tradisi ketupat, tetapi juga memberi makna spiritual pada ketupat tersebut tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya lokal.

Sunan Kalijaga juga memperkenalkan istilah Ba’da Lebaran dan Ba’da Kupat. Ba’da Lebaran dirayakan pada hari pertama IdulFitri dengan doa dan silaturahmi, sedangkan Ba’da Kupat dirayakan seminggu setelah IdulFitri.

Makna dari kedua perayaan ini adalah untuk menguatkan ikatan silaturahmi antar umat, yang menjadi inti dari kehidupan sosial dalam Islam.

Tradisi dan Tantangan Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal

Seiring berjalannya waktu, paham Islam trans-nasional mulai berkembang pada awal milenium kedua, yang sering kali menentang tradisi lokal semacam ini.

Alasan yang sering diajukan adalah bahwa tradisi seperti Lebaran Ketupat tidak dipraktikkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat, sehingga dianggap sebagai inovasi yang tidak sesuai dengan “kemurnian” ajaran Islam.

Pandangan ini cenderung mengabaikan fakta bahwa Islam sejak awal telah mengakomodasi berbagai tradisi lokal di berbagai wilayah yang disinggahinya, termasuk di Madinah.

Namun, dalam konteks kebangsaan, akulturasi antara Islam dan budaya lokal justru menunjukkan penerimaan dan rekonsiliasi antar peradaban.

Ketupat, sebagai salah satu produk budaya lokal, berperan dalam memperkuat hubungan antar warga negara, termasuk dalam konteks kehidupan sosial dan politik Indonesia.

Ketupat dan Kearifan Budaya Lokal

Ketupat dapat dianggap sebagai sebuah local wisdom (kearifan lokal) yang sangat penting dalam membangun relasi sosial yang harmonis.

Dalam masyarakat Jawa, nilai-nilai kearifan budaya ini tumbuh secara inheren dan menciptakan ruang untuk hidup dalam peradaban yang luhur.

Tradisi ini memperkuat rasa solidaritas dan kebersamaan, tidak hanya di kalangan umat Muslim, tetapi juga di kalangan warga non-Muslim.

Di Kampung Jawa Tondano Minahasa, misalnya, tradisi ketupat telah menguatkan silaturahmi di antara masyarakat setempat.

Tradisi ini dibawa ke Tondano pada tahun 1830 dan sejak itu berkembang menjadi salah satu momen penting dalam kehidupan sosial masyarakat.

Ba’do Katupat di Tondano, bahkan lebih meriah dibandingkan dengan perayaan Idulfitri itu sendiri.

Momen ini bukan hanya dirayakan oleh umat Muslim, tetapi juga oleh warga non-Muslim, menjadikannya sangat inklusif.

Setiap keluarga di Tondano menerima tamu dari berbagai kalangan, baik Muslim maupun non-Muslim, yang mengunjungi rumah mereka untuk bersilaturahmi.

Hal ini menunjukkan bahwa Lebaran Ketupat menjadi simbol persatuan dan kesatuan bangsa, dengan mengedepankan nilai-nilai universal seperti toleransi, kebersamaan, dan saling menghormati.

Kearifan Budaya sebagai Penghubung Antar Etnis

Dalam konteks sejarah, tradisi Ba’do Katupat di Tondano juga menunjukkan bagaimana kearifan budaya dapat mempersatukan kelompok etnis minoritas, seperti orang Jawa Tondano (Jaton), dengan kelompok etnis mayoritas, yakni masyarakat Minahasa.

Sebelum tradisi ini berkembang, hubungan antara keduanya sempat terpisah oleh sekat-sekat etnis dan sosial yang tajam, terutama pada masa kolonial. Namun, melalui tradisi ketupat, masyarakat Minahasa dan Jaton menemukan titik temu yang mempererat hubungan mereka.

Kearifan lokal ini memiliki nilai-nilai universal yang melampaui sekat-sekat identitas dan memperlihatkan bahwa Islam, dengan segala ajarannya, tidak bersifat eksklusif.

Sebaliknya, Islam yang dibawa oleh Walisongo mampu beradaptasi dengan budaya setempat dan bahkan memberikan sentuhan Islamis yang membuat tradisi lokal semakin kaya maknanya.

Kesimpulan

Lebaran Ketupat adalah contoh yang sempurna dari akulturasi antara Islam dan budaya lokal di Indonesia, khususnya di Jawa.

Meskipun berasal dari tradisi yang tidak diajarkan langsung oleh Rasulullah Saw., praktik ini tidak hanya memperkaya warisan budaya, tetapi juga menunjukkan bahwa prinsip dan esensi Islam dapat membumi melalui bahasa-bahasa kultural yang dapat diterima oleh masyarakat.

Seiring dengan perkembangan zaman, meskipun ada upaya untuk dekulturalisasi Islam oleh kelompok-kelompok konservatif, karakter kebangsaan Indonesia yang kuat dan pluralis tampaknya tetap mampu menjaga kelestarian tradisi seperti Lebaran Ketupat.

Ini adalah bukti bahwa Islam dapat berakar kuat di bumi Indonesia dengan merangkul budaya lokal, bukan menyingkirkannya.

ddi abrad 1