Prof. Dr. H. Muh. Suaib Tahir, Lc. MA.
Mengapa Umat Muslim Diwajibkan Salat Hanya Lima Waktu?
Secara istilah, salat adalah perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, dan diakhiri dengan salam, pada kebiasaannya.
Salat adalah kewajiban syara’ seorang Muslim yang diperintahkan Nabi Muhammad seusai melakukan Isra’ Mi’raj.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Malik bin Sha’sha’ah, Nabi diceritakan diberi perintah untuk menjalankan salat sebanyak 50 kali sehari.
Ketika perjalanan turun, Rasulullah bertemu dengan Nabi Musa, Nabi Musa menyuruh Rasulullah untuk meminta keringanan jumlah salat kepada Allah.
Beberapa kali Rasulullah meminta keringanan kepada Allah atas saran Nabi Musa hingga akhirnya berakhir di angka 5 kali sehari.
Jika dikalkulasi, seandainya Nabi Muhammad tidak menawar jumlah salat, umat Muslim akan menunaikan salat setiap 28 menit.
Pertama, Allah memang hendak mentahbiskan diri-Nya sebagai Zat yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Pertanyaannya, mengapa salat pada awalnya diwajibkan lima puluh waktu kemudian menjadi hanya lima waktu? Tidak langsung dijadikan lima waktu saja sejak awal?
Pertama, Allah mengetahui bahwa fisik kita memang mampu untuk melakukan shalat lima puluh kali sehari semalam.
Kalau dihitung-dihitung, lima puluh waktu itu memakan waktu sepuluh kali lipat dari yang sekarang kita kerjakan.
Bahkan jika kita shalat lima puluh kali sehari semalam, sebenarnya malah tidak melenceng dari tujuan penciptaan manusia yaitu agar supaya beribadah kepada-Nya.
Kita justru akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat, bahkan juga bisa menjauhkan kita dari dosa dan maksiat.
Dalam al-Qur’an, pesan ini tersurat dalam surat az-Zariyat ayat 56,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Namun, dengan kasih sayang-Nya, Allah kurangi 90% dari total keseluruhan. Hingga tersisa 10% saja.
Tapi balasan pahalanya tetap Allah berikan 100%. Tidak ada pengurangan sedikit pun. Dengan ini, kita benar-benar sadar bahwa Allah adalah ar-Rahman dan ar-Rahim.
Di sisi lain, Allah maha mengetahui kemampuan setiap hambanya.
Mungkin kita mampu melaksanakan shalat lima puluh kali sehari semalam, namun bagaimana dengan orang yang sudah tua, orang sakit, dan orang yang sekiranya payah dalam memenuhi perintah tersebut.
Kedua, Allah ingin menunjukkan bahwa “ibadah” bukan hanya melulu tentang ritual shalat.
Bayangkan setiap setengah jam kita melakukan shalat, kita tidak akan mempunyai waktu banyak untuk berhubungan dengan manusia, padahal hablum minannas juga sama pentingnya dengan hablum minallah.
Maka Allah sediakan beragam sekali macam ibadah di luar salat, yaitu ibadah sosial yang juga sangat dianjurkan oleh Islam.
Meskipun jelas proporsi ibadah vertikal memiliki porsi yang lebih unggul.
Allah memberi kesempatan kepada kita untuk berbuat baik kepada orang tua, sanak kerabat, tetangga, membantu kaum dhuafa, menjaga kesehatan jasmani rohani, dan bekerja secara maksimal.
Semuanya itu adalah ibadah jika diniatkan ikhlas kepada Allah.
Adapun perihal mengapa perlu dilakukan berkali-kali untuk mengurangi jumlah shalat, menurut Ibnu Hajar, adalah bahwa dalil bolehnya naskh atau penghapusan hukum sebelum hukum tersebut dilaksanakan.
Diceritakan juga bahwa Nabi Muhammad sampai merasa malu karena terus-terusan bernegosiasi dengan Allah.
Pengurangan jumlah salat yang gradual juga menegaskan betapa luasnya rahmat dan belas kasih-Nya, sampai Allah terus menawarkan rahmat-Nya sampai Nabi Muhammad sendiri menjadi malu dan merasa cukup.
Keluasan rahmat dan kasih sayang itu telah direncanakan Allah melalui episode dialog Musa-Muhammad dalam menego jumlah salat itu.
Jadi, pengurangan jumlah salat merupakan bentuk kasih sayang yang luar biasa.
Bersamaan dengan itu pula, pengurangan ini juga sekaligus sebagai peringatan yang tegas dan hikmah yang luar biasa dari Allah.