Tafsir Surah Al-Infithar

0
469
Dr. Abdul Mu'id Nawawi
Dr. Abdul Mu'id Nawawi

Tafsir Surah Al-Infithar oleh Gurutta Syamsul Bahri Galigo

Malam Jumat, 25 Juli 2023, pengajian Gurutta Syamsul Bahri Galigo terhadap karya Tafsîr Al-Mu’în: Tafsere Akorang Mabbasa Ogi, sampai kepada penafsiran Surah Al-Infithar.

Menurut Gurutta Syamsul Bahri Galigo, Surah ini sering dibaca oleh Guruttan Ambo Dalle, terutama sebagai pangngumpu` pada waktu subuh.

Tulisan ini bukan murni pembahasan Gurutta Syamsul Bahri Galigo, tetapi sudah tercampur dengan pemahaman penulis yang penuh kekurangan. Jadinya, ada kemungkinan kekeliruan yang disengaja atau tidak, tetapi tidak akan mengurangi kemuliaan penjelasan Gurutta.

Surah Al-Infithar adalah nama yang berasal dari kata infatharat yang berada di dalam surah ini sendiri. Surah ini tergolong Makkiyah, yaitu turun sebelum hijrah Nabi Muhammad Saw ke Madinah. Sebelum surah ini, turun Surah An-Nazi’at. Jumlah ayatnya adalah 19.

Judul yang diberikan untuk tafsir atas surah ini adalah: Surat yang turun sebagai peringatan Allah SWT bagi hamba-Nya agar menyadari kedudukannya sebagai hamba.

Terjemahan surah ini dari ayat pertama hingga ayat kelima adalah: Apabila langit terbelah, bintang-bintang berjatuhan, lautan menyala, kuburan terbuka dan isinya keluar, maka manusia pun mengetahui apapun yang diperbuatnya.

Apa relasi antara kiamat dengan sadarnya manusia atas apapun yang pernah diperbuatnya? Akan ada penjelasan di paragraf-paragraf selanjutnya.

Allah memulai surah ini peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika dunia ini mengalami kiamat, yaitu pada ayat ke-1 hingga ke-5.

Yang dimaksud dengan langit terbelah adalah aturannya berubah hingga tidak beraturan, termasuk bintang-bintang pun berantakan karena aturan yang berlaku padanya tidak lagi berjalan lagi, hingga alam raya pun tidak teratur dan menjadi hancur.

Hal seperti di atas juga disebutkan di dalam ayat lain yaitu QS. Al-Furqan/25: 25. Pada ayat itu disebutkan bahwa langit berkabut dan para malaikat turun untuk melihat apa yang sesungguhnya terjadi.

Juga ada pada Ar-Rahman/55: 37 yang menyebutkan bahwa langit terbelah dan menjadi agak memerah mawar seperti minyak yang menyala.

Laut yang menyala di dalam ayat di atas dimaksudkan adalah tercampurnya antara air yang asin dan yang air tawar yang disebabkan oleh bumi yang berguncang karena gempa.

Lalu, kuburan pun terbuka hingga isinya atau mereka yang dikuburkan keluar semuanya dalam arti mereka semua dibangkitkan.

Saat itu, seluruh manusia menyadari jelas apapun yang mereka pernah lakukan semasa hidup tentang kebaikan maupun keburukannya dan juga tentang apapun yang mereka pernah ingkari atau mereka taati.

Kelima ayat di atas adalah penjelasan tentang datangnya hari kiamat dan tentang kesadaran manusia apapun yang mereka pernah lakukan semasa hidup. Kisah kedatangan hari kiamat maupun kisah tentang kesadaran manusia setelah mereka dibangkitkan kembali adalah peringatan.

Allah SWT menunjukkan kekuasaan-Nya dalam ayat-ayat di atas dalam rangka untuk memberikan peringatan bahwa Allah SWT Maha Kuasa dan sekaligus manusia tidak akan lepas dari apapun yang pernah diperbuatnya karena jangankan Allah SWT, manusia pun pasti ingat perbuatannya sendiri.

Tafsir Al-Mu’în memenggal penjelasannya hingga ayat ke-5 sebelum masuk ayat ke-6 karena memang ayat ke-6 dan seterusnya berbicara tentang hal yang berbeda meski berkaitan.

Ayat ke-6 adalah ayat yang menghubungkan antara ayat ke-1 hingga ke-5 dengan ayat ke-7 dan seterusnya. Cara menghubungkannya begini.

Ayat ke-6 bertanya: Apa yang memperdayakan kalian, wahai manusia, terhadap Tuhanmu Yang Maha Mulia?

Pertanyaan itu seperti keheranan karena sesungguhnya manusia tidak punya daya apapun di hadapan Allah SWT tapi mereka tetap durhaka.

Lalu, ayat itu ditutup dengan kata Allah Maha Mulia yang menjadi pendahuluan untuk ayat-ayat selanjutnya karena kemuliaan Allah SWT dibuktikan dengan, misalnya ayat ke-7 yang menyatakan bahwa Allah SWT yang menciptakan manusia lalu menyempurnakan susunan tubuhnya hingga seimbang.

Setelah lima ayat sebelumnya, Allah SWT kembali menjelaskan bagaimana manusia tercipta jauh sebelum terjadinya kiamat. Manusia tercipta juga dalam kuasa Allah SWT. Seakan-akan Allah SWT ingin menegaskan kekuasaan-Nya bahwa sejak terciptanya manusia hingga kiamatnya bumi semuanya berada dalam genggaman kekuasaan Allah SWT.

Jadi, Allah SWT hendak menegaskan bahwa kematian tidak akan membuat manusia lupa apapun yang mereka pernah lakukan karena setelah mereka dibangkitkan, semuanya kembali ingat apapun yang telah mereka lakukan. Tentu saja ini sekaligus tentangan terhadap pandangan orang kafir bahwa manusia hanya menjadi debu setelah kematian dan setelah kematian tidak ada apa-apa lagi.

Kekuasaan Allah SWT bukan hanya menciptakan manusia, menyusun keindahan susunan tubuh manusia yang berbeda dengan binatang.

Keindahan susunan tubuh manusia membuat mereka mudah untuk berdiri, ruku, sujud, duduk, dan seterusnya yang menandakan bahwa betapa mulia dan indah susunan tubuh manusia. Semua itu adalah simbol salat.

Jadi, susunan tubuh yang membuat manusia mampu melaksanakan setiap gerakan shalat adalah bukti kesempurnaan dan keindahan susunan tubuh manusia, sekaligus membedakannya dengan binatang.

Perbedaan antara manusia dengan binatang telah banyak disebutkan oleh para pemikir. Aristoteles menyamakan manusia dengan binatang sekaligus membedakannya. Manusia sama dengan binatang dalam hal biologisnya. Perbedaannya adalah pada kenyataan manusia berakal dan berbicara (nâthiq).

Sesungguhnya binatang pun bisa berbicara tetapi sebagaimana salah satu jenis burung, tetapi tidak berdasarkan akalnya. Manusia berbicara berdasarkan akalnya, kata Gurutta Syamsul Bahri Galigo.

Menurut Gurutta Syamsul Bahri Galigo, masih ada beberapa definisi tentang manusia yang lain seperti di dalam disiplin Antropologi yang melihat manusia sebagai serigala atas yang lain dan karena itu, mereka saling membinasakan.

Ada juga definisi manusia menurut Charles Darwin yang menyebutkan manusia berasal dari kera.

Biasanya, setiap definisi tentang manusia selalu gagal mendefinisikan manusia karena ada yang satu yang alpa dari definisi itu, yaitu manusia adalah hamba Allah SWT.

Jika setiap definisi manusia disematkan padanya bahwa manusia adalah hamba, maka pasti definisi itu menjadi lebih baik.

Gurutta Syamsul Bahri Galigo memberikan catatan bahwa bukan hanya disiplin ilmu non-keagamaan yang lupa. Ilmu keagamaan pun kadang lupa, meski kelupaannya tidak persis sama.

Ilmu keagamaan seperti Syariat dan Tariqat hingga Haqiqat sering lupa bahwa target-target kedekatan dengan Allah SWT oleh hamba terbatas pada usaha dalam Syariat dan Tariqat. Adapun Haqiqat, hanya Allah SWT yang menentukannya.

Status kehambaan manusia membuat manusia menjadi wajar jika manusia menyembah Allah SWT dalam bentuk salat.

Makhluk lain selain manusia pun sesungguhnya menyembah dalam arti beribadah kepada Allah SWT dan ibadah selain manusia disebut dalam Al-Qur`an dengan bertasbih.

Manusia tidak cukup hanya bertasbih. Manusia harus mendirikan salat karena salat adalah ummul ibâdât. Namun, tasbih tetap penting karena puncak salat itu sendiri adalah tasbih, tetapi bukan tasbih dalam bentuk mengucapkan SubhânalLâh, namun tasbih dalam bentuk keyakinan tentang kesucian Allah SWT dari segala atribut kemakhlukan. Itu menurut Gurutta Syamsul Bahri Galigo.

Gurutta melanjutkan pembahasannya bahwa kekuasaan Allah SWT juga dalam bentuk memberikan nikmat bagi manusia, memberikan akal bagi manusia, hingga kekuasaan Allah SWT untuk membuat bumi ini kiamat.

Karena itu, manusia seharusnya bersyukur atas semua itu sekaligus menjadikan kekuasaan Allah SWT itu sebagai peringatan bahwa manusia adalah hamba dan Allah SWT adalah satu-satunya Pencipta.

Surah Al-Infithar berkisah betapa mereka yang mendustakan hari Pembalasan adalah tidak masuk akal karena semua yang diperbuat tercatat oleh para Malaikat dan para Malaikat tahu perbuatan semua manusia.

Berdasarkan catatan itu, mereka yang berbuat baik berada di dalam surga dan mereka yang berbuat buruk berada di dalam neraka. Yang di neraka tidak mungkin bisa kabur darinya. Semua itu terjadi pada hari Pembalasan.

Hari Pembalasan adalah hari yang tidak ada lagi yang pertolongan dari siapapun. Hari Pembalasan adalah hari ketika semua urusan hanya dengan Allah SWT.

Demikian catatan dari penulis. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kelancangan.

Disimak dan ditulis oleh Dr. H. Muid Nawawi, MA.

ddi abrad 1