Ziarah Kubur dan Transfer Pahala

0
231

 

 

Jelang bulan suci Ramadan, ada satu kebiasaan unik nan lumrah dilakukan sebagian umat Islam Indonesia yaitu ziarah kubur.

 

Ziarah kubur salah satu sarana untuk mengingat adanya kematian.

 

Ziarah kubur sangat dianjurkan, kapan saja bisa dilaksanakan.

Bila menjelang Ramadhan baru punya waktu senggang, lakukanlah sunnah mu’akkad ini dengan kesadaran diri sendiri tuk ziarah kubur. Hal itu jauh lebih baik daripada gemar membid’ahkan orang lain, tapi tidak juga mengerjakan ekspedisi religi sama sekali.

 

Rasulullah SAW berziarah kubur (hampir) setiap malam di pemakaman Baqi (usai shalat lail). Beliau lakukan seorang diri alias ALALE NA tanpa seseorang pun ikut menemaninya.

 

Andai ada orang mencoba praktikkan prototipe Nabi SAW ini, sendiri juga pergi ziarah kubur larut malam di pekuburan Macanda atau Poncing Tana E, MESA’NI NALELLUNG PARAKANG…!

 

Apakah ziarah harus ke kuburan, dan apakah manusia yang wafat mutlak dikubur? Perkara ini perlu ulasan di lain waktu.

 

Betapa indah nan luhur nilai-nilai ajaran agama Islam. Bukan hanya dianjurkan hablum minallâh dan hablum minannâs, tapi ber-hablum ke mayit pun dititahkan.

 

Inilah yang dipraktikkan pengikut setia As-Sunnah datang ke ‘Taman Makam Leluhur’-nya, dengan tujuan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal.

Arwah orang tua dan kerabat serta saudara seiman membutuhkan kucuran doa-doa terbaik agar ‘amwâtâ’ tenang abadi di sisi-Nya.

 

Ada sebagian orang mentransfer (menghibahkan) pahala berupa bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an & sedekah untuk mayit.

Lantas, bolehkah peziarah mengirimkan bonus pahala kepada si mayit?

 

Menuai pro kontra, terjadi khilafiyah di kalangan ulama klasik dan kontemporer. Circle perang urat saraf ini muncul sejak dulu, boleh jadi berlanjut hingga akhir zaman.

 

Ada delegasi ‘pelayat’ meyakini bahwa “Transfer kebajikan untuk mayit mutlak sampai”. Yang lainnya menjawab, “Hibah kebajikan itu ‘mardud alias tertolak”, disertai argumen panjang kali lebar, MASAKKA’ NA MALAMPE’.

 

Mengapa terjadi pro & kontra berlarut-larut mengenai polemik ‘sampai atau tidaknya’ donasi pahala untuk mayit?

 

Penyebabnya, hg kini belum pernah ada mayit datang ke bumi mengabarkan bahwa “suvenir amal yg dikirimkan itu sampai atau tidak”. Ini ji biangnya.

 

Ada yg aneh pada silang pendapat ini, masing2 kabilah ngotot mempertahankan argumennya, sampai tetesan keringat kelenjar apokrin memompa luapan emosi. Jantung langsung berkontraksi, gigi bunyi gemeretak pertanda ikut sentimen negatif terhadap lawan debatnya.

 

Lucunya, argumentasi dipertahankan mati-matian! Padahal bukan murni ijtihad-nya, tapi nukilan-nukilan ji yang dicantol-cantol.

 

Penulis selalu berkeyakinan bahwa mayit sangat membutuhkan pasokan kebaikan & kontribusi amal dari penghuni janabijana dunia.

 

Saudaraku

 

Ketahuilah, orang yang sudah tutup usia berkalang tanah, kini sedang panen, namun tidak menanam lagi. Berbeda dengan kita yang masih hidup di bentala bumi, sementara masih menanam kebaikan. Belum panen, masa penuaian belum dimulai.

 

Kini, si mayit berada di sebuah alam amat mengerikan nan menakutkan. Gelap-gulita tanpa disinari pendar-pendar cahaya & lampu sorot indoor. Hitam pekat menyelimuti delapan penjuru mata angin.

 

Di taman pemakaman, si mayit tinggal tanpa teman, tanpa harta dan tanpa segala-galanya. Hanya amal ibadah selama di dunia yang ikut menemani dan mendampingi. Itulah lawyersnya.

 

Kelak, di sinilah pula masa depan kita. Gatranya dua kali satu meter persegi; sempit tanpa ventilasi, membongkah sunyi di antara tanah hitam rekah membujur.

 

Jutaan serangga menggerek & menggorok raga, belatung-belatung pun tak ketinggalan ikut mengoyak-ngoyak anazir jasad, serta lalu-lintas satwa bawah tanah setiap saat mencengkeram seluruh lahiriah ornamen tubuh.

 

Sungguh, gembira si mayit saat diziarahi puak-puak zuriah-nya. Ziarah dan lawatan anak cucu ke taman pusaranya merupakan hiburan terindah bagi mayit di alam barzakh.

 

Makassar, 17 Maret 2023