AG. H. Amberi Said (Bagian Kelima)

0
217

Suatu ketika, komandan pasukan DI/TII melarang mesjid-mesjid yang ada di sekitar Mangkoso untuk menggunakan bedug dan salat tarawih dua puluh rakaat. Mereka mengancam akan menembak siapa saja yang berani melanggar larangan itu.

Gurutta pun segera dilapori. Mendengar hal itu, Gurutta bergegas memacu sepedanya menuju ke mesjid yang mendapat ancaman itu.

Tanpa mempedulikan pasukan DI/TII yang mengawasi mesjid dengan senjata siap tembak, Gurutta naik ke mimbar lalu dengan tenang beliau berpidato, Kalau kalian masih ingin mengikuti saya, tetap laksanakan salat tarawih dua puluh rakaat dan tetap pakai bedug.

Jamaah yang hadir tegang dan menunggu suara tembakan. Namun, berkat pertolongan Allah, salat tarawih berlangsung aman dan Gurutta pun meninggalkan tempat itu tanpa terjadi insiden apa-apa.

Santrinya yang lain, Usman Hawa, punya kenangan yang tidak bisa ia lupakan terhadap Gurutta.

Malam itu saya sedang sendirian di rumah menghafal pelajaran. Tiba-tiba terdengar suara memanggil nama saya. Panggilan itu membuat jengkel karena mengganggu konsentrasi saya. Saya tetap menghafal dan tidak mempedulikan panggilan itu.

Panggilan itu kembali terdengar lagi. Saya semakin jengkel dan penasaran ingin tahu siapa orang yang telah mengganggu saya belajar.

Usman lalu mengambil badik dan menyelipkannya di pinggang, kebiasaannya bila hendak keluar rumah. Ia membuka pintu dan menuruni tangga untuk mencari tahu siapa gerangan yang memanggil-manggilnya.

Tapi, alangkah terkejutnya ia saat melihat bahwa yang memanggil namanya adalah sosok yang paling ia hormati dan segani selama ini, Gurutta Amberi Said. Ia kaget bercampur heran, ada hal penting apa sehingga Gurutta malam-malam ke tempatnya?

Usman, ambil badikmu dan ikuti saya ke rumah gurumu Hamzah, perintah Gurutta sambil berjalan ke rumah Pak Hamzah yang berjarak beberapa meter dari rumah wakaf yang ditempati Usman.

Hamzah Panre adalah murid Gurutta yang saat itu menjabat Kepala KUA Soppeng Riaja, di samping mengajar di pesantren.

Wah, pasti ada yang gawat, selama ini Gurutta melarang kita bawa badik, mengapa sekarang malah menyuruh saya pakai badik? Tanya Usman dalam hati.

Namun, ia tidak perlu lagi mengambil badik karena sejak tadi senjata kesayangannya itu sudah menempel di pinggang. Usman bergegas mengikuti langkah Gurutta.

Sesampai di rumah Pak Hamzah saya melihat ada seorang berseragam tentara sedang menodongkan senjata laras panjang ke arah Pak Hamzah.

Rupanya seorang oknum militer berpangkat letnan sedang ada persoalan dengan Pak Hamzah hingga ia mengamuk dan mengancam akan menembak Pak Hamzah. Istri Pak Hamzah diam-diam melaporkan hal itu pada Gurutta.

Usman yang melihat situasi berbahaya segera menutup pintu dan tetap mengambil posisi di belakang Gurutta sambil menghitung jarak antara dirinya dan oknum tentara itu.

Ia berusaha agar jaraknya tidak terlalu jauh dari si tentara itu sehingga kalau Gurutta terancam, dengan sekali loncatan ia bisa menghujamkan badiknya ke tubuh orang tersebut.

Ia bertekad mempertaruhkan nyawa demi keselamatan Gurutta. Tangannya menggenggam erat hulu badik yang sudah siap ditarik dari sarungnya. Ia tegang menunggu apa yang akan terjadi.

Namun, terjadi keanehan. Ketika Gurutta mengucapkan salam dan bertanya, Ada apa ini?, spontan tentara itu merapikan baju seragam militernya yang acak-acakan, memungut sarung pistolnya yang jatuh di lantai, dan segera pamit pada Gurutta lalu bergegas pergi.

Saat Gurutta mengucapkan salam, saya lihat kemarahan orang itu seperti api tersiram air, ujar Usman Hawa mengenang peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1969.

Dua malam setelah peristiwa itu, Usman Hawa mendatangi Gurutta yang sedang sendirian di kamar. Apa yang kita baca Puang sehingga orang itu tunduk sama Gurutta?

Gurutta menjawab, Sedangkan kitab-kitab pelajaranmu belum kamu baca semua, kamu minta lagi bacaan. Sebaiknya kamu pulang dan baca kitabmu.

Ketegasan jawaban Gurutta membuat Usman Hawa semakin kagum pada Gurutta dan meyakini bahwa berkah ajaran Guruttalah yang masih membekas pada dirinya hingga kini.

Dikutip dari tulisan Ahmad Rasyid Amberi Said.

barbartoto
barbartoto

ddi abrad 1