Kesederhanaan Umar

0
75

Kesederhanaan Umar bin Khattab sangat layak dijadikan teladan bagi kita yang senantiasa mendamba pemimpin sederhana, bersahaja dan paling penting adalah tegas tanpa kompromi.

Umar bin Khattab adalah salah satu dari empat khulafaurrasyidin, dan menjabat terlama kedua setelah Usman bin Affan. Bila Usman bin Affan menjabat selama 13 tahun, maka Umar bin Khattab menjabat selama 10 tahun.

Baca juga: Adab Dulu Baru Ilmu

Menjadi pejabat tinggi selama 10 tahun adalah waktu yang cukup lama, bahkan sangat lama.Tentu dengan interval waktu tersebut memberikan peluang besar untuk menjadi pemimpin yang kaya raya. Tapi bagi Umar bin Khattab ternyata tidak.

Mungkin dalam konteks sekarang, seorang pejabat dengan waktu 10 tahun bila tidak kaya akan dianggap aneh dan dungu oleh sebagian orang. Tapi bagi Umar bin Khattab lebih memilih hidup sederhana daripada memperkaya diri dengan cara yang culas.

Suatu ketika Umar bin Khattab membagi-bagikan kain baju kepada masyarakat, termasuk kepada dirinya sendiri. Karena baju yang dipakainya kelihatan agak besar sehingga ada di antara warganya mengatakan kepadanya kalau ia curang dalam pembagian kain.

Umar dianggap lebih banyak mengambil kain ketimbang warganya. Setelah diusut, ternyata kain yang didapatkan Umar bin Khattab sama ukurannya dengan yang didapatkan oleh mereka.

Baca juga: Ketegasan Umar

Karena bagiannya tidak cukup untuk dibuat baju sehingga ia meminta kain yang diterima oleh putranya Abdullah bin Umar. Kedua bagian itulah yang disatukan lalu dijahit menjadi baju oleh Umar bin Khattab.

Sungguh luar biasa seorang pejabat selevel presiden harus membuat baju dari hasil pembagian kain, dan itupun tidak cukup akhirnya harus meminta bagian putranya. Rasanya sangat sulit menemukan kesederhanaan seorang pejabat seperti Umar bin Khattab apalagi masa sekarang.

Bajunya adalah hasil penyatuan dua pembagian kain yang berbeda warna padahal kalau dia mau memilih hidup glamor tidaklah sulit. Tapi lagi-lagi lebih memilih hidup sederhana bahkan sangat sederhana.

Oleh Lukman Arake, Guru Besar Ilmu Fikih Siyasah IAIN Bone

ddi abrad 1