ASWJ Sebagai Manhaj Berpikir

0
171
ASWJ

AG. Prof. Dr. H. Syamsul Bahri A. Galigo, MA

Dalam wacana metode pemikiran (manhajul fikr), para tokoh dan ulama dapat dikategorikan menjadi empat kelompok.

Pertama, kelompok rasioalis yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah yang dipelapori oleh Washil bin Atha’.

Kedua, kelompok tekstualis dihidupkan dan dipertahankan oleh aliran salafiyah yang dimunculkan kembali oleh Syaikh Ibnu Taymiyah dan Muhammad bin Abd Wahab serta generasi berikutnya.

Ketiga, kelompok yang pemikirannya terfokuskan pada politik dan sejarah kaum muslimin

yang diwakili oleh syi’ah dan Khawarij,

Keempat, pemikiran Moderat (wasatiy) yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.

Di sini, ASWJ dijadikan Manhajul Fikri artinya ASWJ bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran dan keutuhan beragama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam ASWJ tapi sampai sekarang ASWJ dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevansinya dalam kehidupan beragama, sehingga kita lebih terbuka dalam membuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.

Rumusan ASWJ sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Imam Abu Hamid al- Ghazali. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya ‘merombak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya rumusan Abu Hamid al-Ghazali diratifikasi menjadi konsep dasar fahaman ASWJ. Prinsip dasar dari ASWJ sebagai manhajul fikri meliputi; tawassuthiyah (mederat dalam berfikir), tasaamuhiyah (toleran dalam beramal) dan tawaazuniyah (seimbang dalam beribadah).

Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang mulia (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan librasionalisme.

Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang warga DDI harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan.

Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh dari ASWJ sebagai manhajul fikri. Dan yang terakhir adalah tawaazun. Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan menposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.

*Ketua Umum Pengurus Besar Darud Da’wah wal Irsyad (PB DDI)