Bismillah…,
Berbicara tentang dalil, Syekh Abd al-Wahhab Khallaf menyebutkan ada 10 mashadirul-ahkam al-syar’iyyah (sumber-sumber hukum Islam), yaitu:
01. al-Qur’an,
02. al-Hadits,
03. al-Ijma’,
04. al-Qiyas,
05. al-Istihsan,
06. al-Istishlah,
07. al-Istishab,
08. al-‘Urf,
09. Syar’u Man Qablana, dan
10. Mazhab al-Shahabiy.
Empat yang pertama disepakati oleh Jumhurul-Muslimin, semntara enam berikutnya diperselisihkan. Di situ sudah terbaca bahwa perkara yang diperselisihkan dalam agama ini jauh lebih banyak dari perkara yang disepakati.
Perkara yang diperselisihkan (ikhtilafiyyah) mesti disikapi dengan toleransi (tasamuh), sementara perkara yang disepakati mesti disikapi dengan tegas (tasyaddud) dalam arti tegas menerima atau tegas menolak sesuai kesepakatan ulama.
Ulama merumuskan suatu pegangan untuk menjaga toleransi internal kaum Muslimin dalam menyikapi perkara khilafiyah melalui kaidah berikut:
لَا يُنْكَرُ اْلمُخْتَلَفُ فِيْهِ إنَْمَا يُنْكَرُ اْلمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Artinya:
Tidak boleh diinkari (dinafikan) perkara yang diperselisihkan oleh ulama, yang diingkari hanyalah perkara yang disepakati oleh ulama.
Di antara kaum Muslimin banyak yang keliru dalam mengenakan sikap. Perkara yang diperselisihkan semestinya disikapi secara toleran tapi justru disikapi secara tegas sehingga hilang toleransinya. Kebenaran hanya diukur berdasarkan pendapatnya. Semua yang berbeda dengan pendapatnya salah total. Inilah masalah yang memunculkan seribu masalah.
Kelompok yang dimaksud sering kali mengklaim suatu perkara yang diperselisihkan tidak ada dalilnya. Pada hal, perkara yang tidak ada dalilnya mustahil diperselisihkan oleh ulama, itu pasti disepakati. Entah disepakati boleh atau tidak boleh, tergantung objeknya. Bila perkara itu terkait dengan akidah dan ibadah, maka disepakati tidak boleh. Perkara selain akidah dan ibadah disepakati boleh sepanjang tidak ada larangannya.
Pemahaman ini harus ditunjukkan secara jelas bahwa semua yang diperselisihkan oleh ulama, maka pasti ada dalilnya. Tidak akan mungkin ulama berselisih pada perkara yang tidak ada dalilnya.
Persoalan dalil yang dimaksud layak atau tidak layak diterima sebagai hujjah, itulah biang sebab munculnya perselisihan pendapat yang mesti diakui, tidak boleh dinafikan.
Dalil menurut Ushul-Fiqh, tidak hanya al-Qur’an dan hadis. Minimal ada 10 seperti yang disebutkan oleh Syekh Khallaf di atas. Itu pun masih dijumpai yang lain. Di antaranya ‘amal ahli Madinah yang dipegang kuat oleh Imam Malik dan saddu al-dzaraa’i’ yang dipegang kuat oleh Imam Abu Hanifah.
Pemahaman tentang dalil tidak boleh dibatasi hanya pada dua sumber di atas, al-Qur’an dan Hadis. Bila tidak dapat ayat dan hadisnya, maka secepat itu mengklaim tidak ada dalilnya. Inilah anggapan yang prematur, patut untuk dimatangkan.
Berangkat dari pandangan di atas, maka penulis akan menunjukkan adanya dalil pada tiga perkara yang disorot berikut ini:
1. Wirid dan Do’a Berjama’ah seusai Shalat Fardhu
Amalan yang dimaksud ditandaskan pada hadis berikut:
أنَّ ابْنَ عبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عنْهما، أخْبَرَهُ: أنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ، بالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ المَكْتُوبَةِ كانَ علَى عَهْدِ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ وقالَ ابنُ عبَّاسٍ: كُنْتُ أعْلَمُ إذا انْصَرَفُوا بذلكَ إذا سَمِعْتُهُ” (رواه البخاري: ٨٤١ ومسلم: ٥٨٣).
Artinya:
Sungguh Ibnu Abbas r.a., telah mengabarkan bahwasanya berzikir dengan mengangkat suara tatkala orang-orang telah usai menunaikan shalat fardhu, itu sudah terjadi pada masa Nabi Saw. Ibnu Abbas r.a., berkata, “aku mengetahui bahwa mereka selesai shalat bila aku mendengar zikir” (HR al-Bukhary: 841 dan Muslim: 583).
Boleh saja ada kelompok yang tidak sepakat hadis tersebut dijadikan hujjah atas bolehnya zikir dan do’a berjama’ah seusai shalat fardhu. Akan tetapi, mereka tidak boleh menafikan bahwa hadis tersebut secara “shahih dan sharih” (benar dan jelas) menginformasikan bahwa hal yang serupa sudah terjadi pada masa Nabi Saw. Kemudian dipahami demikian oleh sekelompok ulama yang jumlahnya mayoritas di negeri ini.
Pemahaman yang serupa juga dijumpai dalam penjelasan kitab “Tuhfatul-Ahwazy” bahwa kalangan ulama hadis mutakhir membolehkan do’a berjama’ah seusai shalat fardhu.
Dengan demikian, tidak pantas lagi dikatakan bahwa amalan tersebut tidak ada dalilnya.
2. Maulid Nabi Saw.
Maulid adalah kelahiran Nabi Saw., ini tidak dirayakan melainkan diperingati. Kekeliruan kelompok anti maulid karena menuding maulid ini perayaan. Pada hal, itu hanyalah sebatas peringatan. Memperingati kelahiran Nabi Saw. dilakukan untuk mengenang kepribadian luhur beliau selaku “uswah hasanah” (suri tauladan yang luhur). Peringatan inilah yang kemudian dikemas dalam suatu tradisi yang disebut maulid. Susunan acaranya yang sederhana diformat sebagai berikut:
a. Pembacaan ayat suci al-Qur’an;
b. Da’wah tentang hikmah maulid Nabi Saw; dan
c. Pembacaan do’a.
Pertanyaannya, perkara mana yang di atas tidak ada dalilnya? Apakah membaca al-Qur’an itu bukan sunnah? Menyampaikan da’wah bukan sunnah? Membaca do’a bukan sunnah? Tentu dalam hal ini, terdapat segudang dalil yang bisa ditunjukkan.
Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah, ulama tersohor dari kalangan Salafy justru membolehkan perayaan kegembiraan untuk bersuka ria pada hari maulid Nabi Saw.
Adapun istilah pemberian berkah atau pembagian ember seusai acara, itulah bentuk sedekah yang diformulasi sesuai tradisi masyarakat setempat.
Tradisi (al-‘Urf) adalah bahagian dari dalil juga yang tidak boleh dinafikan kendati tetap diperselisihkan.
Bila dijumpai ada hal yang tidak sesuai dalam peringatan maulid, maka itu sifatnya kasuistik yang tidak boleh dijadikan pijakan untuk menolak sama sekali tradisi ini.
Sikap yang bijak adalah meluruskan praktik yang menyimpang dan tetap mempertahankan praktik yang tidak menyimpang. Bila mobilnya mogok karena bannya rusak, maka ganti saja bannya, jangan dibuang mobilnya!
3. Pembacaan Barzanji
Barazanji adalah tradisi yang terambil dari nama penulis kitab “Qisshah Maulid al-Nabiy” yang ditulis oleh Syekh Abu Ja’far al-Barazanjy. Kitab ini memuat biodata singkat tapi lengkap menuturkan perjalanan hidup Nabi Saw. sejak lahir hingga tutup usia. Ini amat menarik bila dibaca dengan artinya sehingga menyimaknya saja sudah menjadi bagian dari da’wah. Dengan ini, membaca kitab Barazanji itu dimaksudkan sebagai bagian dari wasila da’wah yang kemudian menjadi budaya (tradisi), bukan agama (ta’abbudy).
Oleh karena tidak semua orang bisa mengartikan kitab Barzanji, maka tetap diyakini bahwa membaca kitab ini saja tanpa diartikan tetap dapat menjadi wasila datangnya berkah. Bukan kitabnya yang dikultuskan berkah tapi shalawat Nabi Saw. yang dilantunkan berkali-kali bila dibaca kitab ini, itulah sumber berkah.
Jangan gagal paham! Adakah kaum Muslimin yang menginkari berkah shalawat Nabi Saw.?
Boleh saja ada kelompok yang tidak sepakat dengan tradisi ini. Namun tidak boleh mereka menafikan dua hal berikut:
a. Pembacaan kitab Barazanji yang sarat dengan biodata hidup Rasulullah Saw. adalah bagian dari implementasi instruksi QS al-A’raf/7: 176 berikut:
فَٱقْصُصِ ٱلْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ ¤
Terjemahnya:
“…, maka sampaikanlah kisah-kisah agar mereka bisa berpikir.”
b. Pembacaan kitab Barazanji, selain menjadi bagian dari implementasi instruksi QS al-A’raf/7: 176, maka juga bagian dari implementasi instruksi QS al-Ahzab: 56 berikut:
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”
Dengan demikian, sampai hatikah kita mengatakan tidak ada dalilnya …? Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami semua jalan-Mu yang lurus!
Pesan Moral:
1. Wahai saudaraku kaum Muslimin, hindarilah perpecahan hanya karena dipicu oleh perkara khilafiyah! Hadapilah perkara ini dengan sikap toleran (tasamuh). Jangan salah dalam mengenakan sikap!
2. Perkara khilafiyah adalah perkara cabang dalam agama ini (furu’iyyah), bukan perkara pokok (ushuliyyah). Kerap kali ada yang larut pada perkara kecil hingga berimbas pada resiko yang besar. Khilafiyah yang tidak disikapi secara toleran, maka berpotensi untuk meretakkan ukhuwah (persaudaraan). Disintegritas umat ini kadang terjadi hanya gara-gara gagal paham perkara khilafiyah.
3. Sikap ekstrem itu bagus bila diletakkan pada tempatnya yang tepat. Bila tidak, maka itulah yang mencabit-cabit integritas umat.
4. Tempat yang tepat untuk sikap ekstrem adalah pada perkara yang disepakati ulama (ittifaqiyyah), ekstrem menerima atau ekstrem menolak sesuai kesepakatan ulama.
5. Bila ulama berselisih pendapat, maka umat harus toleran. Boleh memilih salah satu pendapat dari ulama, tapi mesti menghargai pendapat ulama yang lain.
6. Do’a berjama’ah seusai shalat, maulid Nabi Saw., dan Barazanji adalah sederetan perkara yang diperselisihkan oleh ulama. Olehnya itu, tanggalkanlah sikap ekstrem dalam perkara ini dan kenakanlah sikap toleran bila anda adalah orang yang berilmu.
7. Semoga coretan sederhana ini ada manfaatnya untuk menciptakan suasana sejuk di antara kaum Muslimin. Bila ada benarnya, maka itu datangnya dari Zat YM Benar. Bila ada salahnya, maka itu datangnya dari penulis yang masih fakir ilmu. _Wallahu A’lam bi al-Shawab.
وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
وبالله التوفيق والدعوة والارشاد