Nampaknya, Kita Butuh Tuhan

0
116

Sedahsyat apa pun pencapaian umat manusia, sedigdaya apa pun sains dan teknologi, sekuasa apapun seseorang, ujung-ujungnya ia tak berdaya juga. Tak Jarang bisa setengah “gila” hanya karena seekor nyamuk tak henti menguing-nguing di telinga kita, atau menderita penyakit berat menyakitkan yang tak kunjung terobati.

Tapi, yang lebih menyengsarakan adalah rasa sepi. Rasa sepi harus menghadapi semua penderitaan, sendirian, termasuk kematian. Karena, meski keberadaan orang-orang yang kita cintai amat membantu, kita pada akhirnya tetap tak bisa berbagi rasa sakit kita. Lebih-lebih kematian.

Apalagi jika mereka, para sahabat dan orang-orang tercinta kita itu jauh dari kita. Belum hilang dalam ingatan kita, kerabat dan sahabat yang harus menderita karena Covid-19, dalam keadaan tak bisa menghisap oksigen akibat terpapar virus ini, sendirian ruang isolasi rumah sakit, tak jarang sampai harus diantar ke liang lahad tanpa ditemani keluarga. Atau, seseorang yang harus dipenjara di negeri asing yang tak dikenalnya, di tengah orang-orang asing yang tak jarang menindas mereka, tanpa ditemani keluarga dan sahabat. Atau, seseorang yang mengalami depresi dan kecemasan, yang perasaannya baal sehingga seperti terputus sama sekali dari segala sesuatu di sekelilingnya.

Tak ada lagi apa-apa kecuali diri dan hati mereka yang teriris-iris. Sendirian. Bahkan kehadiran orang-orang yang dicintai, sama sekali tak terasa. Depresi dan kecemasan adalah rasa sumpek yang tak bisa dibagi, dan hanya bisa dialami sendiri. Penuh kegelapan, yang ke dalamnya seluruh keberadaan kita terhisap. Tak ada cahaya, bahkan di ujung terowongan, sejauh-jauhnya.

Kalau ada, hanya tinggal suatu titik yang mungkin awalnya kecil, tapi ia bisa memenuhi seluruh alam semesta jiwa kita, dan menjadikan seolah kita memiliki semua orang untuk menjadi sahabat dan pencinta kita.

Pada zaman yang di dalamnya neoateisme makin meluas, saya harus menyebut sebagai: Tuhan. Ya, Tuhan.

Tapi, bagaimana bisa?

Tuhan tak perlu ruang, Tuhan ada di mana-mana. Dan Dia hanya disebut Tuhan karena Maha Kuasa, Maha Belas Kasih, Maha Pengampun, kapan saja.

Bagi orang-orang yang kesepian, hanya pikiran tentang Dia yang memiliki sifat-sifat seperti itu-mungkin bisa menyelamatkan. Seperti sebuah sekoci, di tengah angin badai dan kegelapan bergulung-gulung yang nyaris melamun perahu kita di tengah samudra luas. Tanpa ampun.

Dalam keadaan seperti ini, kita tinggal memilih untuk bertahan karena tetap tak hendak tunduk—dengan makin teramplifikasinya penderitaan kita atau memilih mengakui ketidakberdayaan saya. Karena hanya setelah itu, saya justru akan sepenuhnya berdaya. Siap menghadapi semua penderitaan dan kesepian saya. Semuanya terserah Anda. (Sumber, Haidar Bagir, Makrifat Sakit dan Kematian).