Kalau tak kau temukan Aku dalam dirimu maka tak kan
Pernah Kau temukan Aku.
Kau tahu nilai dan harga setiap barang. Tapi kau tak tahu nilai ruhmu. Itulah kebodohan! (Rumi)
Wahai hamba-Ku, “Sungguh kemuliaan itu akan pudar, jika menemukan engkau dalam dirimu. Kehinaan itu akan sirna, jika engkau menemukan AKU dalam dirimu.”
Wahai Hamba-Ku: sembahlah Aku melalui sifat-sifat-Ku yang berkehendak pada dirimu, karena tiada yang pantas menyembah-Ku kecuali telah Kuadakan padanya tanda-tanda “kedekatan” terhadap-Ku, dan tiadalah sesuatu apapun yang dapat mendekati-Ku, kecuali ianya jua datang daripada Zat-Ku.
Dan katakanlah, “Ya Allah…, kami datang daripada kuasa-Mu dan tentunya kami kan kembali padamu dengan segala kuasa-Mu jua, maka kembalikanlah sujud dan rukuk kami hanya untuk-Mu dan kepada apa yang Engkau inginkan terhadapnya, karena sesungguhnya kami adalah makhluk yang tiada daya menyembah akan Tuhannya melainkan dengan segala kuasa Tuhan yang disembahnya” (Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah).
Dua yang pertama, saya kutip dari Kitab _Mastnawi-_ nya Rumi, yang ketiga dan keempat saya kutip dari buku Ahmad Rahman, _Kalam Sirr Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah._
Pernyataan ketiga dan keempat, meski mirip Hadis Qudsi, tapi ia bukan Hadis Qudsi. Ia adalah Kalam Sirr, semacam yang pernah diterima oleh Rumi ketika menuliskan _Kitab Matnawi_ nya,, Ibn Arabi ketika menulis Kitab _Futuhat al-Makkiyah_ nya, atau an-Niffari ketika menulis Kitab _Mawaqif wal-Mukhatabat_ nya (Ahmad Rahman, _Kalam Sirr_)
Kerap kita temukan pertanyaan Kampoeng yang boleh jadi kita anggap “nyeleneh”. Tapi setelah ditelusuri, ternyata pertanyaan ini punya dasar yang kuat. Dan kalau terjawab, ia bisa memberikan pencerahan tersendiri bagi kita.
Kenapa Rumi menyebut suatu kebodohan jika tidak mengetahui ruh? Ternyata para sufi tidak memahami seperti yang biasa kita pahami (“Ruh itu urusan Tuhanku”).
Saya pernah tanyakan ini kepada salah seorang mursyid. Katanya, sebenarnya bahasan tentang ruh adalah bahasan ‘rasa’. Bukan jawaban pertanyaan ‘keingintahuan’ seseorang. Tegasnya bahasan itu untuk para ‘pencari’ (murid) yang sudah ‘hidup’ rasa nurani/bertuhan.
Ketika itu ‘sedikit’ pengetahuan yang Allah berikan tentang ruh itu, adalah lautan yang tidak bertepi bagi mursyid/murid. Memerlukan ‘bahasa’ dan pengantar tersendiri untuk menjelaskan kepada orang-orang yg bertanya/ingin tahu (akal saja tanpa ‘rasa) tentang ‘ruh.
Sekarang, apa pertanyaanmu atas ungkapan-ungkapan di atas?