AG. H. Amberi Said (Bagian Kedua)

0
280

Akhir tahun 1938, Muhammad Amberi Said mendapat surat dari Petta Soppeng, Arung Soppeng Riaja, yang memintanya pulang ke Mangkoso karena saat itu sudah ada madrasah yang dibuka di Mangkoso dan dipimpin oleh Anregurutta Ambo Dalle.

Oleh Petta Soppeng, ia diharapkan meneruskan pelajaran di ibukota Soppeng Riaja itu sambil membantu Gurutta Ambo Dalle membina MAI.

Maka, bersama-sama dengan Abd. Rasyid (Gurutta H.Abd. Rasyid), ia memutuskan untuk meninggalkan Salemo dan kembali ke Mangkoso.

Sesampai di Mangkoso, Amberi Said yang kala itu baru memasuki usia sembilan belas tahun segera menggabungkan diri bersama santri-santri yang lain.

Bersama sepuluh orang temannya, ia dinilai memenuhi syarat untuk duduk di tingkatan tsanawiyah, tingkatan tertinggi ketika itu.

Oleh Anregurutta H.Ambo Dalle, ia diberi tugas untuk mengajar di tingkatan tahdiriyah dan Ibtidaiyah.

Karena dilihat memiliki ketekunan dan kedisiplinan yang tinggi, tidak lama berselang Pimpinan MAI mengangkatnya menjadi AL-Maraqibul Am (pengawas umum).

Sejak itu, ia menjadi tangan kanan Anregurutta Ambo Dalle dalam mengelola pesantren, dan oleh santri-santri ia pun dipanggil Gurutta.

Diantara kami berteman sebagai santri angkatan pertama, dia memang yang paling disiplin. Mungkin itu sebabnya sehingga dia yang ditunjuk Gurutta sebagai asisten, komentar AGH. Burhanuddin, teman sekelasnya di tsanawiyah.

Karena tugas rangkapnya itu, pukul 04.00 dini hari Gurutta Amberi Said sudah harus mengayuh sepeda menembus dinginnya subuh, meninggalkan kediamannya di Lapasu menuju Mangkoso.

Selepas salat subuh dan mengikuti pengajian, beliau kembali lagi ke Lapasu.

Sebelum pukul tujuh pagi, Gurutta Amberi Said harus berada kembali di Mangkoso untuk mengabsen seluruh santri, kemudian mengajar di ibtidaiyah dan tahdiriyah sampai pukul 10.00.

Setelah itu, barulah ia bersama rekan-rekannya mengikuti pelajaran pada Anregurutta Ambo Dalle.

Selesai salat duhur, Gurutta Amberi Said kembali lagi ke Lapasu dan sore hari ia berangkat lagi ke Mangkoso untuk salat asar dan memberikan pengajian.

Bada isya barulah tugas-tugas itu selesai dan beliau pun mengayuh sepedanya kembali ke Lapasu.

Melelahkan memang. Namun, karena keikhlasan, ketekunan, dan kedisiplinan sudah demikian lekat pada pribadinya, tugas-tugas berat itu tak pernah dilalaikannya.

Terkadang, ia harus menerobos hujan dengan hanya berpayung selembar daun pisang dan menahan rasa dingin subuh hari karena harus mengikuti salat jamaah di Masjid Mangkoso.

ddi abrad 1