Gurutta adalah manusia biasa yang memiliki keluarbiasaan. Hal itu dibuktikan oleh berbagai pengalaman gaib yang tidak lazim dialami oleh manusia biasa.
Bagi orang luar yang tidak memiliki hubungan emosional atau tidak pernah bergaul secara dekat dengan Gurutta, mungkin peristiwa-peristiwa itu dianggap sebagai sesuatu yang bersifat irasional atau kontroversi.
Penulis tidak bermaksud membesar-besarkan berbagai peristiwa tersebut agar muncul kultus individu terhadap pribadi Gurutta.
Tetapi, penulis hanya mencoba mengungkap berbagai sisi pribadi dan kehidupan Gurutta sejauh informasi yang didapatkan.
Tentu saja, semua itu berdasarkan kesaksian mereka yang pernah menyaksikan kejadian itu ataupun penuturan langsung dari Gurutta.
Dalam keyakinan Islam, seseorang yang ketakwaannya mencapai derajat tertentu akan mendapatkan keistimewaan dari Allah SWT, Sang Maha Berkehendak atas segala sesuatu.
Sejak tinggal di Mangkoso, banyak kejadian luar biasa terjadi.
Dalam mengarang kitab misalnya, berawal dari mimpi membaca kitab yang langsung bisa dihafalnya.
Saat bangun dari tidur, hafalan itu kemudian ditulis oleh Abdullah Giling, santri terdekat merangkap pemboncengnya yang sangat bagus tulisan Arabnya.
Diantara kitab-kitab yang telah dikarang oleh Gurutta ialah : Al-Qaulus Shadiq fi ma’rifatil Khaliq, Ar-risalah Albahiyyah fil Aqaid Islamiyah, Al-Hidayatul Jaliyyah dan Maziyyah Ahlus Sunnah Wal Jamaah (bidang akidah).
Di bidang syariah ada kitab Mursyidut Tullab dan Ad-durusul Fiqhiyyah, serta yang lain-lainnya.
H.M. Busairi Juddah, mantan Dekan Fakultas Syariah IAIN Alauddin Makassar yang menjadi santri di Mangkoso tahun 1940-an berkisah bahwa seringkali Gurutta berlama-lama di kamar mandi, tetapi setelah keluar ia menyuruh Abdullah Giling untuk menulis syair.
Ini berarti bahwa Gurutta berfikir sambil menyusun syair ketika berada di dalam kamar mandi (Khalid, 2005:24).
Mimpinya yang lain, Gurutta melihat dirinya berjalan bersama teman-temannya menuju ke sebuah bukit.
Mengenai hal ini, Gurutta bercerita :
Saya bersama beberapa orang berjalan menuju sebuah bukit. Sesampainya di bukit tersebut, saya lalu mendaki ke puncak.
Teman-teman saya yang lain tidak mampu mengikuti, tertinggal di bawah.
Di puncak bukit, Saya melihat beberapa wajan di atas tungku yang masih menyala.
Di dalam wajan tersebut terdapat bubur yang terbuat dari ramuan kitab.
Setiap wajan memiliki nama kitab dari cabang ilmu tertentu.
Ketika salah satu isi wajan tersebut saya makan, serentak isi wajan yang lain ludes pula isinya.
Saat terbangun, semua isi kitab itu saya hafal dengan baik (AGH.Abd.Rahman Ambo Dalle, wawancara 18.4.1991).
Pengalaman gaib lainnya, Gurutta bermimpi bertemu Imam Syafi’i dan memperoleh ilmu dan hikmah dari ulama besar pencetus salah satu mazhab tersebut.
Mimpi seperti itulah biasanya dijadikan petunjuk dalam mengambil sikap di saat menghadapi suatu masalah, baik sifatnya pribadi, menyangkut organisasi, bahkan kenegaraan.
Anregurutta pertama kali mengalami peristiwa turunnya Lailatul Qadr pada malam 27 Ramadan 1358 H atau 9 November 1939 M, tahun pertama mukimnya di Mangkoso.
Peristiwa spiritual luar biasa yang senantiasa dinanti oleh umat Islam itu ditandai oleh seberkas cahaya yang memenuhi setiap sudut mesjid.
Masyarakat Mangkoso yang kebetulan terjaga malam itu menyangka kalau mesjid terbakar.
Gurutta mendoakan agar diberi ilmu yang berberkah dan tujuh generasinya menjadi Ulama Besar Ahlussunnah Wal Jamaah.
AGH.Abdurrahman Ambo Dalle pernah mendoakan agar air sumur yang terdapat di Kompleks Pesantren DDI Mangkoso bisa digunkan sebagai obat dan “pappatajang ati”.
Pada zaman penjajahan Jepang, Gurutta seringkali dibonceng sepeda melewati pos penjagaan.
Tentara Jepang memerintahkan setiap orang yang melewati pos untuk turun dari sepeda dan memberi hormat.
Kepada Abdullah Giling yang memboncengnya, Gurutta memerintahkan untuk jalan terus, tidak perlu berhenti.
Gurutta pun lewat tanpa halangan apa-apa. Hanya saja, pengendara sepeda yang menyusul di belakang dan ikut-ikutan tidak turun mendapat bentakan dan dipukuli oleh petugas pos.
Dalam masa-masa sulit atau membutuhkan sesuatu, baik yang menyangkut kebutuhan pokok sehari-hari ataupun keperluan pesantren, ada saja bantuan langsung yang diperolehnya dengan cara yang gaib.
Disaat memerlukan sejumlah dana, ditemukan seikat uang dari balik bantal atau kasur tempat tidurnya.
Atau ada orang yang tidak diketahui dari mana datangnya tiba-tiba mengantarkan uang kepadanya.
Busairi Juddah yang semasa di Mangkoso bertugas menimba air dan berbelanja di pasar bersama Abdullah Giling menuturkan pengalaman pribadinya hidup bersama Gurutta.
Diantaranya saat hendak ke pasar ia memberi tahu Gurutta bahwa uang belum ada. Lalu Gurutta berkata, Coba angkat bantal itu, dan ternyata uang ada di situ (Busairi Juddah dalam Khalid, 2005:24).
Seringkali terjadi, tatkala beliau tertidur atau sedang sendirian di dalam kamar tiba-tiba berbicara dalam bahasa Arab.
Saat ditanya oleh santri yang mendengarkan, Gurutta menjelaskan bahwa ia baru saja kedatangan tamu Wali Allah atau gurunya dari Sengkang, Anregurutta As’ad.
Pernah suatu ketika, saat masih tinggal di Mangkoso, Gurutta tertidur selama tiga hari tiga malam.
Begitu terbangun, beliau bercerita bahwa ia baru saja didatangi seorang wali yang mengajaknya menjalani kehidupan sebagai wali.
Namun ajakan itu ditolak oleh Gurutta karena beliau tidak ingin terpisah dari umatnya.
Suatu ketika, masyarakat Mangkoso resah akibat kemarau berkepanjangan. Sungai, sumur, dan mata air kering.
Sawah yang semestinya ditanami meranggas dan tanahnya retak-retak.
Melihat keadaan itu, Gurutta tidak tinggal diam.
Ia segera meminta penduduk berkumpul di lapangan sepak bola untuk melakukan salat dan berdoa meminta hujan yang ia pimpin langsung.
Seluruh masyarakat yang mengikuti prosesi itu menjadi saksi betapa makbulnya doa Sang Anregurutta.
Orang-orang belum beranjak meninggalkan lapangan ketika tiba-tiba hujan deras mengguyur bumi.
Lapangan sepak bola Mangkoso pun turut menjadi saksi bisu akan keberkahan ilmu Gurutta.
Selang beberapa lama tinggal di Mangkoso, Gurutta lalu bercerai dengan istri ketiga yang diboyongnya dari Sengkang, Andi Selo.
Gurutta kemudian kawin dengan St. Marhawa (Puang Hawa) , putri saudara sepupunya sendiri.
Dari istri terakhirnya ini beliau memperoleh empat orang putra, namun yang sulung meninggal dunia saat masih bayi.
Letak Mangkoso yang bersebelahan dengan Paccekke (markas para pejuang), membuat Gurutta selalu berhubungan dengan para pejuang itu, meskipun ia sendiri tidak pernah secara langsung memanggul senjata.
Namun, setiap saat tempat tinggalnya selalu disinggahi para pejuang yang meminta didoakan keselamatannya.
Bahkan, ketika anggota ekspedisi TRI Persiapan Sulawesi di bawah komando Mayor Andi Mattalatta akan berangkat ke Jawa untuk menemui Presiden Soekarno dan Panglima Besar Sudirman pada tahun 1947, mereka menemui Gurutta untuk didoakan agar selamat dalam perjalanan. Begitu pun saat mereka kembali dari Jawa pada tahun 1947.