Al-Qur’an Merayakan Tahun Baru

0
111

 

Di dalam Al-Qur`an, penyebutan tentang waktu selalu dalam rangka penegasan bahwa Allah SWT adalah penguasa waktu, bukan waktu itu sendiri yang berkuasa. Ada keyakinan bahwa waktulah yang berkuasa menentukan berakhirnya sebuah kehidupan dan itu ditolak oleh Al-Qur`an sebagaimana disebutkan di dalam QS. al-Jatsiyah/37: 24:

وَقَالُوْا مَا هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَآ اِلَّا الدَّهْرُۚ وَمَا لَهُمْ بِذٰلِكَ مِنْ عِلْمٍۚ اِنْ هُمْ اِلَّا يَظُنُّوْنَ ٢٤

Artinya: Mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Padahal, mereka tidak mempunyai ilmu (sama sekali) tentang itu. Mereka hanyalah menduga-duga.

Keyakinan manusia atas kuasa waktu sesungguhnya “wajar” karena setiap momentum dan kejadian di dalam hidup selalu disandarkan pada waktu, sejak kelahiran hingga kematian. Sakit dan sembuh pun diserahkan kepada waktu dengan keyakinan siapapun pasti akan sakit suatu waktu dan jika waktunya tiba, akan sembuh. Al-Qur`an tidak menolak keyakinan betapa pentingnya waktu bagi manusia. Terbukti, Al-Qur`an sering berbicara tentang waktu dengan berbagai kosakata dan cara pengungkapan. Al-Qur`an hanya hendak menegaskan bahwa ada yang lebih berkuasa dari waktu, yaitu Allah SWT.

Ada beberapa kata kunci yang menjelaskan waktu yaitu: masa lalu, masa kini, masa akan datang, awal, dan akhir. Baik masa lalu, masa kini, maupun masa akan datang, terangkum dalam dua kata: awal dan akhir. Karena itulah Allah SWT tidak menyebut diri-Nya masa lalu, masa kini, masa akan datang, tetapi dengan awal dan akhir, sebagaimana di dalam Al-Qur`an:

هُوَ الْاَوَّلُ وَالْاٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ٣

Artinya: Dialah Yang Mahaawal, Mahaakhir, Mahazahir, dan Mahabatin. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Terutama akhir, adalah penyebutan yang sangat penting karena menjadi salah satu dogma paling utama dalam Rukun Iman setelah iman kepada Allah SWT, yaitu keyakinan kepada hari akhir. Di dalam bahasa Arab, ada kata اَلسَّاعَةُ yang berarti “jam atau saat”. Jam bisa berarti alat penunjuk waktu dan bisa pula berarti saat kejadian suatu peristiwa. Namun, di dalam Al-Qur`an, umumnya berarti hari akhir.

Ada kesan yang cukup kuat bahwa ketika Al-Qur`an berbicara tentang waktu dalam bentuk apapun, penekanannya selalu menotifikasi hari akhir atau bahwa semua ini akan berakhir dan yang tidak akan pernah berakhir hanyalah Allah SWT.

Di dalam tasawwuf, waktu juga mendapatkan perhatian, tetapi lebih kepada aktivitas dan konsep, bukan sesuatu yang pasif. Di dalam tasawwuf, hari akhir bukan sesuatu yang ditunggu, tetap lebih kepada sesuatu yang diupayakan atau sesuatu yang sedang terjadi. Istilah-istilah yang khas berkaitan dengan hari akhir dipahami oleh tasawwuf sebagai sesuatu yang ada dan hadir saat ini di dunia. Di dunia ini ada shiraath, timbangan (miizaan), surga, dan neraka.

Jika umumnya jalan perjuangan disebut penuh onak dan duri, maka jalan tasawwuf pun adalah jalan yang tidak kalah tidak nyaman karena tajamnya lebih tajam daripada sembilu. Hati adalah timbangan (miizaan) yang terus-menerus menimbang mana yang baik dan mana buruk. Adapun surga adalah berpalingnya hati kepada Allah SWT dan neraka adalah menjauhnya hati dari Allah SWT.

Di dalam QS. al-Rahman/55: 26 disebutkan: كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍۖ ٢٦ وَّيَبْقٰى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِۚ ٢٧. Sepintas, kedua ayat itu berbicara hari akhir dalam arti hancurnya bumi. Di dalam tasawwuf ada konsep fanaa` yang berarti sirnanya makhluk dan kekalnya Allah SWT. Saat segalanya telah fanaa`, maka sampailah manusia kepada ma’rifah dan itulah hari akhir yang tidak harus menunggu datangnya hari kiamat. Berikut ada perbandingan antara hari akhir versi konvensional dengan hari akhir versi tasawwuf:

Kecil Menengah Besar
Mikrokosmik Formal Kematian fisik Barzakh Berkumpul di Padang Mahsyar
Supraformal Kematian sukarela atau keterjagaan spiritual Perubahan sifat-sifat moral Peniadaan diri dan kekekalan di dalam Allah

Lebih diominannya bahasan hari akhir di dalam Al-Qur`an seakan-akan membuat bahasan tentang hari awal tersisih. Yang sesungguhnya terjadi adalah bahasan tentang hari awal tidak tersisih, tetapi dibahas secara sangat kuat di dalam bahasan tentang relasi antara yang Allah SWT dengan makhluknya. Allah SWT sendiri tidak berawal dan tidak berakhir. Makhluk lah yang berawal dan berakhir. Hari awal dibahas pada konteks penciptaan makhluk oleh Allah SWT. Di dalam tasawwuf, salah satu pembicaraan yang hangat tentang hari awal adalah konteks wahdatul wujuud. Di dalam Ilmu Kalam, hal itu dibahas dalam teori emanasi.

Pembahasan tentang hari awal justru sangat kuat dibahas pada pembahasan tentang Rukun Iman yang pertama dan Rukun Islam yang pertama, yaitu iman kepada Allah SWT dan juga syahadat Laa ilaaha illal Laah. Jika harus dibandingkan mana yang lebih dominan bahasan tentang hari akhir atau bahasan tentang hari awal, maka sesungguhnya bahasan tentang hari awal lebih dominan meski tidak disebutkan secara eksplisit dengan hari awal.

Saat seorang sufi memulai perjalanan spiritualnya, langkah pertama yang harus dilakukan adalah tawbah yang berarti kembali ke jalan yang benar. Jadi, di dalam Islam, kondisi primer manusia adalah suci. Ketika manusia melakukan kesalahan, maka mereka sedang menyimpang dari jalan yang suci dan itu berarti kondisi sekunder. Setelah tawbah, manusia kembali kepada kondisi primer, semacam awal yang baru.

Tahun baru adalah semacam awal yang baru bagi siapapun untuk diisi kembali dengan cara menyesali kekeliruan di tahun sebelumnya, mensyukuri kenikmatan yang telah diberikan, dan berupaya menjadi manusia yang lebih baik. Selamat Tahun Baru 2023.

Tulisan ini disadur dari https://ibihtafsir.id/2022/12/31/merayakan-tahun-baru/