Prof. Dr. H. Suaib Tahir, Lc. MA.
Benarkah Islam Sama Dengan Arab?
Islam pada awalnya memang berkembang di Jazirah Arab, sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW setelah menerima wahyu pertama di Gua Hira pada tahun 610 M.
Pada periode awal, Islam merupakan identitas dominan di wilayah tersebut. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya kekhalifahan, Islam menyebar ke berbagai wilayah di luar Jazirah Arab, terutama setelah kekuasaan Bani Umayyah pada 750 M yang menandai perluasan Islam ke luar dunia Arab.
Namun, meskipun mayoritas umat Islam di dunia sekarang tersebar di luar dunia Arab, masih banyak pandangan, terutama di negara-negara Barat, yang menganggap Islam identik dengan Arab.
Stereotipe ini memiliki dampak yang cukup besar terhadap cara orang melihat Islam dan umat Islam di dunia. Imam besar Islamic Centre Kota New York asal Indonesia, Shamsi Ali, pernah mengalami stereotipe ini, di mana ia dicap sebagai “second-class Muslim” hanya karena ia bukan orang Arab dan tidak mengenakan gamis.
Stereotipe ini mengindikasikan bahwa di mata banyak orang Amerika, seorang Muslim identik dengan orang Arab yang mengenakan gamis dan surban.
Stereotipe “Islam adalah Arab” dalam Masyarakat Muslim Indonesia
Stereotipe bahwa Islam identik dengan Arab tidak hanya berkembang di kalangan orang non-Muslim, tetapi juga mulai merasuk ke dalam komunitas Muslim itu sendiri, termasuk di Indonesia.
Salah satu contoh adalah anggapan bahwa nama Arab adalah nama yang Islami. Tradisi memberi nama dengan nama Arab ini sudah mengakar kuat di masyarakat Indonesia.
Selain itu, busana gamis dan surban yang menjadi tren terutama pasca-Reformasi, juga menguatkan pandangan bahwa Islam hanya bisa dipahami atau dipraktikkan dengan atribut Arab.
Meskipun penggunaan nama Arab atau busana tradisional seperti gamis bukanlah masalah, masalah muncul ketika nilai-nilai Islam hanya dikaitkan dengan budaya Arab.
Hal ini adalah suatu bentuk kesalahan berpikir yang mempersempit pemahaman tentang Islam hanya dalam batasan-batasan kultur Arab.
Menurut beberapa penelitian, bahasa Arab digunakan oleh sekitar 175 juta orang sebagai bahasa ibu, dengan 90 persen di antaranya adalah Muslim.
Namun, jika kita melihat jumlah umat Islam secara global yang diperkirakan mencapai lebih dari 2 miliar pada tahun 2022, hanya sekitar 15 persen di antaranya yang berasal dari dunia Arab.
Ini menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam di dunia bukanlah orang Arab, dan dengan demikian, Islam tidak dapat disamakan dengan budaya Arab.
“Semangat Arabisasi” dalam Islam
Selain itu, muncul pula isu terkait “semangat arabisasi Islam” yang dipromosikan oleh beberapa kelompok Islam puritan.
Kelompok-kelompok ini sering kali mendorong masyarakat untuk kembali kepada “kemurnian” Islam yang, menurut mereka, hanya bisa dicapai dengan mengikuti segala hal yang berkaitan dengan budaya Arab, seperti bahasa, pakaian, dan kebiasaan lainnya.
Narasi ini juga sering beriringan dengan pandangan yang menyebutkan bahwa segala sesuatu yang tidak ada pada zaman Nabi adalah bid’ah, atau perbuatan yang dilarang.
Namun, masalahnya, apabila Islam hanya dikaitkan dengan budaya Arab, potensi Islam untuk berkembang dan beradaptasi dengan kebutuhan zaman menjadi sangat terbatas.
Sejak awal penyebarannya, Islam telah terbukti mampu beradaptasi dengan budaya lokal di berbagai belahan dunia.
Seperti yang dikatakan oleh Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Islam perlu “di-pribumisasi” atau dibumikan, agar bisa diterima dengan baik oleh masyarakat di berbagai wilayah.
Kepekaan budaya ini adalah salah satu kunci utama bagi perkembangan pesat Islam ke seluruh dunia.
Oleh karena itu, mengaitkan Islam hanya dengan budaya Arab akan menghambat proses perkembangan Islam yang lebih inklusif dan progresif.
Islam sebagai Rahmat bagi Seluruh Alam
Penting untuk diingat bahwa Al-Qur’an sendiri sudah secara implisit menyatakan bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.
(QS. Al-Anbiya: 107), yang berarti bahwa Islam bukan hanya untuk bangsa Arab, tetapi untuk seluruh umat manusia tanpa memandang ras, suku, atau budaya.
Selain itu, bangsa Arab juga bukanlah satu-satunya pemilik Islam. Dalam sejarahnya, Islam berkembang pesat di luar dunia Arab, dari Asia, Afrika, hingga Eropa, yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang universal dan tidak terikat pada satu budaya atau etnis tertentu.
Kesimpulan
Islam adalah agama yang bersifat universal, dan tidak dapat disamakan dengan budaya atau identitas tertentu, termasuk identitas Arab.
Meskipun Islam berawal di Jazirah Arab, penyebaran dan perkembangan Islam di luar dunia Arab membuktikan bahwa Islam dapat diadaptasi dan diterima oleh berbagai masyarakat dengan beragam budaya dan tradisi.
Oleh karena itu, pemahaman bahwa Islam identik dengan Arab adalah sebuah kesalahan besar yang membatasi potensi Islam untuk berkembang lebih jauh.
Semua orang, tanpa memandang etnis atau budaya, dapat ber-Islam dengan baik, dan tidak perlu menjadi orang Arab untuk menjadi Muslim yang kaffah (sempurna).