Dr. H. Abdul Muid Nawawi
Di masa-masa puncak modernitas, alam tidak lagi untuk dipahami, tetapi untuk dikuasai dan dieksploitasi.
Manusia modern adalah manusia yang memanfaatkan alam untuk memuaskan keserakahannya yang tidak pernah kenyang.
Persoalannya, alam adalah tempat tinggal manusia. Merusaknya hanya akan membuat manusia kehilangan tempat hidup dan itu berarti kebinasaan bagi manusia.
Ada masa ketika alam bagi manusia adalah misteri yang menakjubkan, menggugah rasa ingin tahu, dan menyemai keterpesonaan.
Namun, lama-kelamaan keterpesonaan mulai sirna, tinggal rasa ingin tahu. Lalu, rasa ingin tahu pun menghilang berganti rasa sok tahu.
Keterpesonaan hilang karena ternyata alam bisa menjadi alat pemuas keinginan. Keterpesonaan menjadikan manusia segan untuk bertindak sewenang-wenang.
Rasa sok tahu hadir karena alam terasa sudah berada di dalam genggaman. Rasa sok tahu adalah jawaban ketika atas pertanyaan: Manusia sudah mengetahui alam raya dengan baik. Lalu, kini apa? Menguasai, mengendalikan, dan mengeksploitasi.
Bersamaan dengan kenyataan di atas, manusia menciptakan mesin-mesin untuk mengolah alam. Mesin hadir sebagai duta manusia untuk bercengkrama dengan alam.
Manusia pun semakin berjarak dengan alam. Mesin lah kini yang bergaul dengan alam dan menjamahnya. Antara manusia dan alam ada jarak emosional. Saat alam rusak akibat laju industrialisasi, manusia tidak merasa bersalah karena mesin-mesin itulah pelakunya, bukan manusia.
Mengapa semua itu terjadi? Tidak sedikit pakar yang menduga bahwa modernitas telah mendesakralisasi alam. Itulah penyebabnya sehingga begitu mudah manusia memperkosa alam.
Namun, sepertinya ada yang mendahului hal tersebut, yaitu manusia mendesakralisasi dirinya sendiri. Setelah melakukan desakralisasi diri, mudah bagi manusia mendasakralisasi selain dirinya.
Desakralisasi diri manusia dimulai kala manusia semata-mata memandang dirinya sebagai anasir biologis, material, dan jasadi.
Hal-hal semacam spiritualitas dan perasaan dianggap hanya mitos. Manusia tidak ubahnya binatang dan bahkan banyak persamaannya dengan tumbuhan hingga benda-benda mati.
Sebenarnya itu adalah sikap yang merendahkan diri manusia sendiri, tetapi manusia modern tidak memahami itu. Menyamakan antara manusia dengan bintang hingga tumbuhan adalah penistaan terhadap manusia.
Sebagai anasir biologis-material, keinginan, mimpi, imajinasi, dan harapan manusia selalu dipahami terbentur dan dikendalikan oleh hal-hal yang biologis-material.
Ketulusan dianggap tidak ada. Hanya ada pamrih. Kematian bahkan tidak ada. Hanya ada kehidupan. Tuduhan manusia yang sedemikian kepada dirinya sendiri membuat manusia menganggap itu nyata hingga tidak ada lagi kenyataan di luar itu semua.
Setelah mendasakralisasi dirinya, manusia mulai mendesakralisasi selain dirinya, yaitu alam. Bagi manusia, alam tidak lebih sebagai alam material yang berfungsi untuk memuaskan hasrat meterialnya.
Awalnya, desakralisasi alam dilakukan sebagi cara pandang baru terhadap alam raya, yaitu ada rumus baku di balik segala kejadian yang ada. Dengan memahami rumus itu, maka alam bukan lagi misteri. Semua bisa diprediksi dan dikendalikan. Gerak alam tidak lebih dari gerak fisika.
Tidak ada yang salah ketika manusia mendesakralisasi alam karena itu hanyalah konsekuensi logis setelah manusia mendesakralisasi dirinya.
Tidak mungkin sakralitas alam dipahami oleh anasir yang telah menanggalkan sakralitasnya. Hanya yang sakral yang mampu menangkap yang sakral. Yang material hanya mampu berinteraksi dengan yang material.
Setelah desakralisasi alam, perjalanan peradaban sudah dapat ditebak ujungnya: Kehancuran alam dan kebinasaan manusia.
Kehancuran ini sepertinya tidak lagi dapat dihentikan karena lajunya yang tidak semakin lambat, malah semakin cepat, seperti semakin lajunya batu yang menggelinding ke jurang pemahaman