Tahun 1965, Gurutta Amberi Said memperoleh kesempatan menunaikan ibadah haji.
Selanjutnya, untuk lebih mengembangkan pesantren yang dipimpinnya, empat tahun kemudian Gurutta H.M.Amberi Said mendirikan Fakultas Syariah Universitas Islam Addariyah DDI dimana ia sendiri sebagai dekannya.
Selain itu, ia juga diangkat sebagai dosen IAIN Alauddin Cabang Pare-Pare. Jabatan baru itu membuat kegiatannya semakin bertambah.
Malam dan subuh memberikan pengajian, pagi mengajar, siang hingga sore hari memberi kuliah, dan seminggu sekali ke Pare-Pare untuk memberi kuliah di sana.
Itu belum termasuk tugasnya sebagai imam Masjid Jami Mangkoso. Tetapi, dengan semangat pengabdian, semua tugas-tugas itu dapat dijalaninya tanpa ada yang terlalaikan.
Dalam pandangan teman seangkatan maupun santri-santrinya, ia dinilai memiliki sifat yang tegas, disiplin, bersahaja, konsisten dan teguh dalam pendirian. Untuk hal-hal yang bersipat prinsip dan mendasar, ia tidak ada tawar menawar.
Kebersahajaannya terlihat dalam kehidupan sehari-hari yang sangat sederhana. Ia selalu menekankan kepada putra-putrinya untuk tidak boros dan belajar menderita.
Dalam hal makan, misalnya, Gurutta selalu makan bersama putra-putranya dan menegur bila ada yang tidak menghabiskan makanan. Habiskan makanan yang ada di piringmu, jangan suka menyisakan karena boleh jadi berkah ada pada sebutir nasi yang kamu sisa itu, tegurnya.
Bahkan, selama bertahun-tahun, setiap pagi ulama besar ini dengan setia memukul lonceng besi yang tergantung di serambi rumahnya, pertanda jam belajar dimulai.
Salah satu hal yang sangat tidak disukainya adalah apabila santri-santri tidak disiplin dalam belajar, terlebih terhadap guru yang tidak disiplin mengajar.
Gurutta tidak segan-segan menguncikan pintu murid-murid atau guru yang terlambat datang ke sekolah. Di luar jadwalnya mengajar, ia akan berkeliling memeriksa setiap kelas. Apabila ada kelas yang gurunya tidak masuk atau terlambat datang, Gurutta akan menggantikan mengajar. Ia sangat tidak senang apabila ada waktu yang terbuang tanpa belajar.
Selain itu, keikhlasan dalam mengajar santri-santrinya terlihat ketika ia tidak segan-segan mengajar santri yang hanya dua atau tiga orang. Baginya, bukan kuantitas yang penting, tapi kualitas.
Sering terjadi ada kelas yang gurunya tidak masuk mengajar sehingga banyak santri yang pulang. Gurutta yang datang ke kelas itu dan ingin mengajar mendapat laporan dari santri bahwa sudah banyak teman-temanya yang pulang dan tersisa dua atau tiga orang.
Mendengar laporan itu, Gurutta berkomentar, Memang tidak banyak yang akan jadi pemimpin. Mungkin kelak yang jadi pemimpin adalah kalian, karena itu mari kita belajar meski kalian hanya berdua.
Beliau pun tidak senang melihat lingkungan yang kotor. Karena itu, setiap waktu luang dimanfaatkan untuk membersihkan lingkungan bersama santri-santrinya.
Tentang sifat disiplinnya ini, salah seorang santrinya, AG.H.M.Sanusi Baco, Lc. (almarhum, semasa hidup menjabat Ketua Umum MUI Sul-Sel) berkomentar, Selama delapan tahun saya belajar di Mangkoso, belum pernah sekalipun saya mendapati Gurutta terlambat ke mesjid untuk salat Subuh, padahal awalnya beliau tinggal di Lapasu.
Keteladanan Guruttalah yang telah membentuk pribadi saya seperti sekarang ini. Selain itu, beliau pun dikenal memiliki sifat pendiam dan pantang mengeluarkan suatu perkataan yang tidak dapat direalisasikannya. Menurutnya, satu perbuatan lebih bernilai dari seribu perkataan.
Dengan sifat-sifatnya itulah, ia berhasil mendidik ribuan santrinya selama kurang lebih 46 tahun membina, sejak dari MAI hingga DDI.
Selain itu, ia pun gemar mencatat berbagai peristiwa, baik yang sifatnya pribadi atau keluarga, maupun hal yang berkaitan dengan pesantren dan organisasi.
Dari catatannyalah banyak ditemukan tanggal kejadian berbagai peristiwa bersejarah, khususnya yang berkaitan dengan MAI Mangkoso dan DDI.