Tahun 1942, ketika usianya mencapai 23 tahun, Gurutta Amberi Said memasuki kehidupan baru dengan mempersunting gadis sekampungnya sendiri, St. Maemunah, yang ketika itu berusia 17 tahun.
Pasangan muda ini dinikahkan oleh H.Sofyan, Kadhi Kiru-Kiru (Paman dari H.Kittab), kakek dari St. Maemunah sendiri.
Dari istrinya ini, Gurutta Amberi Said dikaruniai sepuluh keturunan, namun tiga diantaranya meninggal dunia dalam usia yang masih muda.
Dua tahun setelah menikah, barulah ia menamatkan pelajarannya di tingkatan Aliyah.
Empat tahun kemudian, ia diangkat oleh Petta Soppeng menjadi Imam Masjid Jami Mangkoso.
Tugas baru ini membuatnya harus meninggalkan Lapasu dan menetap di Mangkoso.
Di Mangkoso, Gurutta Amberi Said dan keluarganya tinggal serumah dengan Anregurutta H.Ambo Dalle di rumah wakaf Petta Lawallu.
Berselang beberapa tahun, ia pindah ke rumah yang ada di samping kanan kediaman Anregurutta, menggantikan Gurutta Harunarrasyid yang ditugaskan mengajar di Pare-Pare.
Tidak berselang beberapa lama, Gurutta Amberi Said berhasil menamatkan pelajarannya di tingkatan Alimiyah, tingkatan tertinggi yang dimiliki oleh MAI Mangkoso.
Tugasnya bertambah berat ketika Anregurutta H.Abd.Rahman Ambo Dalle diangkat menjadi Kadhi di Pare-Pare pada tahun 1949.
Gurutta Amberi Said diberi tugas baru sebagai Kepala Sekolah DDI Mangkoso (pimpinan pesantren), menggantikan Anregurutta.
Tampaknya, keputusan Anregurutta untuk pindah ke Pare-Pare karena dilandasi keyakinan bahwa ia telah menunjuk orang yang tepat untuk menggantikannya memimpin DDI Mangkoso.
Ia yakin, pesantren yang didirikannya itu akan semakin berkembang.
Dan pada saat Anregurutta H.Ambo Dalle pindah ke Pare-Pare pada tahun 1950, Gurutta Amberi Said diminta untuk menempati rumah yang telah didiami oleh Anregurutta Ambo Dalle selama sebelas tahun.
Rumah itu pun dijadikan rumah kediaman resmi Pimpinan Pesantren DDI Mangkoso.
Dikutip dari tulisan Ahmad Rasyid Amberi Said