Anre Gurutta H. Muhammad As’ad al-Bugisy

0
1117

AG. Prof. Dr. H. A. Syamsul Bahri AG. Lc. MA.

AGH Muhammad As’ad (1908-1952)

AGH. Muhammad As’ad adalah putra Bugis kelahiran Mekah. Dididik di lingkungan ulama di Mekah sehingga penguasaan ilmu pengetahuan di bidang agama sangat mumpuni, bahkan telah menghafal Alqur’an 30 juz di usia masih tergolong belia, 14 tahun.

Mengaji kepada sejumlah ulama hingga dipercaya menjadi Imam Masjidil Haram Mekah, sebelum ke Singkang-Wajo.

Kota Singkang yang dikenal kota santri menjadi daerah tujuan para santri seiring kehadiran AGH. Muhammad As’ad.

Beliau memberi pengajian halaqah kitab turats (kitab kuning) dan membangun madrasah/pesantren yang kelak menjadi cikal bakal Pesantren As’adiyah Singkang.

Selain aktif mengajar, beliau juga turun berdakwah di tengah-tengah masyarakat untuk mengajarkan agama sebagai penguatan ibadah dan aqidah serta ketauhidan agar terhindar dari amalan tradisi yang bertentangan dengan Islam.

Pergerakan pendidikan dan dakwah AGH. Muhammad As’ad cukup membanggakan ketika itu, karena ikhtiar dan semangat masyarakat dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Selain itu, juga perhatian dan dukungan penuh dari pihak Kerajaan Wajo.

Kharisma keulamaan dan kemasyhuran keilmuan Anre Guruta Puang Aji Sade menjadi pemantik para santri untuk mengaji kitab turats langsung kepada beliau yang kelak menjadi mata rantai keulamaan Sulawesi Selatan.

Jaringan ulama dan perkembangan pendidikan agama/pesantren di Sulawesi Selatan, tidak terlepas dari kontribusi Anregurutta Haji Muhammad As’ad melalui Madrasah al-Arabiyyah al-Islamiyah (MAI).

Mayoritas ulama Sulsel yang datang kemudian adalah hasil binaan MAI Singkang, malah pondok pesantren yang berkembang di Sulsel hingga hari ini adalah cetusan ide dari binaan AGH Puang Aji Sade.

Termasuklah DDI (Darud Da’wah Wal-Irsyad) yang menjadi organisasi pergerakan pendidikan dan dakwah sejak 1947 pendirinya adalah alumni awal MAI Singkang, sahabat dan murid langsung AGH Puang Aji Sade.

Pada tahun 1999, Presiden Republik Indonesia telah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Naraya kepada AGH. Muhammad As’ad karena jasa-jasanya dalam pengembangan pendidikan dan dakwah di Sulawesi Selatan.

Tanda penghormatan itu diterima di Jakarta atas nama beliau oleh putra beliau, Haji Abdul Rahman As’ad.

Kelahiran & Pendidkan

Muhammad As’ad lahir di Mekah pada hari senin 12 Rabiul Akhir 1326 H atau 6 Mei 1908 M.

Ayahnya bernama Syekh Abdul Rasyid, seorang ulama asal Bugis yang bermukim di Mekah al-Mukarromah.

Ibunya bernama St. Saleha binti Haji Abdul Rahman yang bergelar Guru Terru al-Bugisy

Dasar pendidikan agama didapatkan langsung dari ayahnya di Mekah.

Gurutta As’ad telah menghafal al-Qur’an pada usia 14 tahun dan pada saat itu juga dipercaya menjadi Imam shalat tarwih di Masjid al-Haram (Mekah).

Disela-sela kesibukan menimba ilmu secara formal di Madrasah al-Falah, beliau juga banyak berguru secara halaqah (mangaji tudang) di Masjidil Haram bersama ulama-ulama dari berbagai Negara.

Di antaranya adalah Umar bin Hamdān, Sa’id al-Yamāni, Hasyīm Nāzirin, Hasan al-Yamāni.

Gurutta As’ad telah mampu menghafal beberapa matan kitab Ahli Sunnah Wal-Jama’ah. antara lain Sullam al-Manthiq, Manzhûmah Ibn Syahniah, dan al-Nukhbah al-Azhariyah yang dipelajari dari gurunya Syekh Ambo Wellang, seorang ulama bugis yang bermukim di Mekah.

Beliau juga pernah berguru kepada seorang ulama besar Syekh Abbâs Abd al-Jabbâr al-Malikiy, dan pada tahun 1344 H. (1925 M), Gurutta As’ad melanjutkan pelajarannya pada seorang ulama Bugis yaitu Syekh Mallawa Bugis.

Pada usia 18 tahun, Gurutta As’ad memperdalam beberapa kitab dan juga memperoleh pengajaran dari Syekh Jamal al-Makkî.

Sebelum menyempatkan diri belajar pada seorang ulama besar di Madinah, Gurutta As’ad masih sempat belajar pada seorang ulama besar, Syekh Abrâr untuk mendalami ilmu manthiq.

Tidak hanya itu, semangat keilmuan beliau dan kecintaannya terhadap ulama mengantarnya hijrah dari Mekah ke Madinah untuk berguru langsung ke salah satu ulama yang terkenal pakar dalam bidang Hadis (Muhaddits), yaitu Sayyid Ahmad Syarif al-Sanusi (beliau juga Qadhi Madinah dan Pemimpin Tarekat Sanusiyah), dan sempat menjadi katib (sekretaris pribadi) gurunya selama beberapa waktu.

Syekh Ahmad Syarif al- Sanusi termasuk ulama senior bermazhab Syafiiyyah dan Mursyid Tarikah Sanusiyah.

Di samping itu, Gurutta As’ad belajar selama 7 (tujuh) tahun dan menamatkan pendidikan formalnya di Madrasah al-Falah (Mekah).

Dakwah & pengaruh

Masjidil Haram

Pada umur yang masih sangat muda beliau sudah mendapat kepercayaan dari ulama Mekah saat itu untuk memimpin salat tarawih di Masjidil Haram, mengimami ratusan ulama senior, di umur 17 tahun.

Sebuah penghormatan besar dan pengakuan para ulama akan kedalaman ilmunya serta keluhuran akhlaknya.

Prestasi yang langkah didapatkan oleh ulama nusantara yang bermukim di tanah kelahiran Rasulullah صلى الله عليه وسلم.

Selain prestasi itu, diumur 17-an juga Anregurutta Sade telah menguasai seluruh cabang ilmu keislaman, seperti Uṣhul Fiqhi, Fiqhi, Ulumul Qurān, Tafsir, Bahasa Arab dan Ilmu hadis dan Hadits.

Pada 1920-an, setelah orang Bugis berbondong-bondong ke tanah haram untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu, terjalinlah komunikasi antara AGH. Muhammad As’ad dengan sejumlah masyarakat dari tanah Bugis Wajo, termasuklah keluarganya sendiri.

Orang-orang inilah yang menyampaikan kondisi riil perkembangan keagamaan di tanah Bugis, yang sangat marak penyimpangan dan penyembahan berhala, khususnya di tanah Wajo.

Informasi itu yang menggugah hati sang pembaharu tersebut, sehingga ia pun meninggalkan tanah haram dan kembali ke tanah Wajo (Bugis) untuk berdakwah dan menyebarkan agama yang benar sesuai dengan manhaj Ahli Sunnah Wal-Jama’ah.

Agama yang membebaskan manusia dari segala penyembahan-penyembahan berhala yang tidak sama sekali bisa mendatangkan manfaat maupun mudarat sedikit pun.

Singkang, Wajo

Pada akhir tahun 1347 H (1928 M), dalam usia sekitar 21 tahun, AGH. Muhammad As’ad awal pengabdiannya di Singkang, Kabupaten Wajo.

AGH. Muhammad As’ad merasa terpanggil untuk pulang ke tanah leluhur, tanah Bugis, guna menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk tanah Wajo khususnya, dan Sulawesi pada umumnya.

Beliau berbekal ilmu pengetahuan agama yang mendalam dan gelora panggilan ilahi, disertai semangat perjuangan yang selalu membara.

Pada waktu itu, memang berbagai macam bid’ah dan khurafat masih mewarnai pengamalan agama Islam, oleh karena kurangnya pendidikan dan da’wah Islamiyah kepada mereka.

Kedatangan AGH Muhammad As’ad di Singkang-Wajo pada tahun 1928 langsung membuka pendidikan dengan sistem tradisional sesuai dengan pengalamannya di Mekah ketika itu.

Beliau pernah mengaji (1914-1928 M.) mulai dari halaqah sampai pendidikan formal di Madrasah al-Falah turut memberi andil dalam kiprahnya merintis dan mengembangkan pengajian di rumahnya sambil membantu pengajian kitab pamannya, Gurutta Ambo Emme.

Perlu diketahui bahwa pada masa itu pemikiran ala Wahabi belum lagi tersebar khususnya di Mekah dan Madinah sebagai pusat pendidikan Islam.

Langkah pertama yang dilakukan beliau setelah tiba di kota Singkang adalah mulai mengadakan pengajian halaqah di rumah kediamannya, (halaqah atau mangaji kitta/ mengaji tudang dalam bahasa Bugis) untuk sejumah kecil murid (atau ana’ mangaji dalam bahasa Bugis).

Selain giat berdakwah di sejumlah tempat di Wajo dan sekitarnya, di samping itu beliau mengadakan da’wah Islamiyah di mana-mana, serta membongkar tempat-tempat penyembahan dan berhala-berhala yang ada disekitar kota Singkang.

Pada tahun pertama gerakan beliau, bersama dengan santri-santri yang berdatangan dari daerah Wajo serta daerah-daerah lainnya, beliau berhasil membongkar lebih kurang 200 tempat penyembahan dan berhala.

Kabar tentang kedatangan AGH. Muhammad As’ad di Singkang dan halaqah yang diadakan di rumahnya dengan cepat menyebar hingga ke luar Wajo, bahkan ke luar Sulawesi Selatan.

Segera saja jumlah ana’ mangaji AGH. Muhammad As’ad yang awalnya hanya belasan orang meningkat menjadi puluhan orang.

Tidak hanya masyarakat, Anregurutta juga merangkul Arung Matoa Wajo dalam menyukseskan dakwahnya.

Kemampuan mendapat dukungan dari Arung, sebagai pemerintah yang berkuasa, menandakan bahwa Anregurutta memiliki wibawa dan strategi khusus sehingga dapat merangkul semua golongan dan kelompok.

Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa Anregurutta Sade barada di bawah kendali Arung Matoa Wajo.

Dia adalah ulama yang memiliki prinsip dan pendirian yang kuat.

Terkait persolaan tauhid (Aqidah Ahli Sunnah Wal-Jama’ah) Anregurutta tidak mengenal istilah negoisasi, kebenaran harus ditegakkan, sekalipun hal itu terkait dengan kepentingan Arung Matoa.

Sebagaimana dalam kasus fidyah salat orang yang meninggal dunia.

Ketika itu, Anregurutta menghadiri pemakaman kerabat Arung Matoa Wajo, Andi Maddukelleng, yang meninggal dunia.

Anregurutta diberikan fidyah salat berupa emas, namun gurutta dengan tegas melarang hal itu secara tegas dan memberi nasihat mengenai hal itu dalam acara ta’ziah.

Akhirnya, masyarakat meninggalkan pemahaman lama yang menyimpang tersebut.

Dalam kasus yang lain, keluarga Arung Matoa wajo berencana untuk menguburkan sang raja, Andi Oddang, dalam masjid Jami’ Singkang.

Namun Anregurutta tidak menyetujui rencana tersebut, pada akhirnya keluarga Arung Matoa mengalah setelah diadakan musyawarah bersama, dan sang raja hanya dikuburkan di sebelah Barat Masjid Jami’.

Pembangunan Masjid Jami’

La Oddangpero (Arung Matoa Wajo ke- 44), atau Andi Oddang (Petta Arung Matoa Wajo), pada tahun 1348 H (1929 M) meminta nasihat Anre Gurutta Haji Muhammad As’ad tentang pembangunan kembali masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami Singkang, yang terletak di tengah-tengah kota Singkang pada waktu itu.

Setelah mengadakan permusyawaratan dengan beberapa tokoh masyarakat Wajo, yaitu: AGH. Muhammad As’ad, Haji Donggala, La Baderu, La Tajang, Asten Pensiun, dan Guru Maudu dan lain-lain.

Maka dicapailah kesepakatan bahwa mesjid yang sudah tua itu perlu dibangun kembali (renovasi).

Pembangunan kembali masjid itu dimulai pada bulan Rabiul Awal 1348 H (1929 M) dan selesai pada bulan Rabiul Awal 1349 H (1930 M).

Setelah selesai pembangunannya, maka Masjid Jami itu diserahkan oleh Petta Arung Matoa Wajo Andi Oddang kepada AGH. Muhammad As’ad untuk digunakan sebagai tempat pengajian kitab kuning, pendidikan dan dakwah Islam.

MAI Singkang Wajo

Pengajian dalam bentuk halaqah tetap berjalan di rumah AGH. Muhammad As’ad.

Jumlah santri yang ikut pengajian halaqah (mangaji tudang) semakin bertambah baik dari Singkang dan sekitarnya maupun dari luar daerah, dengan tingkatan umur dan dasar pengetahuan yang semakin beragam pula.

Pengajian halaqah (pesantren) yang diadakan setiap ba’da shalat Subuh, ba’da shalat Ashar, dan ba’da shalat Magrib, yang semula diadakan di rumah beliau, dipindahkan kegiatannya ke Mesjid Jami Singkang.

Lokasinya tidak jauh dari rumah AGH. Muhammad As’ad, nantinya jalanan di sisi utara masjid ini dinamakan Jalan KH. M. As’ad Singkang, nama jalan yang memanjang di sekitar Masjid Jami Singkang yang diabadikan dari nama AGH. Muhammad As’ad sebagai penghormatan atas jasa-jasanya dalam pengembangan Islam di wajo.

Setelah kurang lebih dua tahun di Singkang-Wajo, yakni bulan Mei 1930, AGH. Muhammad As’ad mendirikan lembaga pendidikan Islam yang diberi nama Madrasah al-Arabiyah al-Islamiyah (disingkat MAI), sistem pendidikan formal bentuk madrasah bertempat di samping Masjid Jami’ Singkang.

Setelah dua tahun kemudian dibangunlah gedung madrasah permanen, bangunan tambahan di sisi kiri, kanan dan depan Masjid Jami’ yang dibangun berkat dukungan finansial dari anggota dewan penguasa tertinggi Kerajaan Wajo (Petta Ennengnge).

Sekolah bernama MAI yang tempatnya difasilitasi oleh Arung Matoa Wajo saat itu ada lima tingkatan kelas.

Pendidikan formal di MAI ketika itu meliputi tingkatan: Tahdiriyah awaliyah, Ibtidaiyyah, I’dadiyah dan Tsanawiyyah.

AGH. Muhammad As’ad dibantu beberapa ulama besar: Sayyid Abdullah Dahlan (Mantan Mufti Madinah), Syekh Muhammad Afifi dan Syekh Abdul Jawad, serta murid-murid seniornya seperti AGH. Abdur Rahman Ambo Dalle, AGH. Muhammad Daud Ismail.

Pesantren (Madrasah Arabiyah Islamiyah) yang didirikan dan dibina oleh beliau itulah yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren As’adiyah (Dimasa kepimpinan AGH Muhammad Daud Ismail), yang kemudian memiliki ratusan cabang seantero Nusantara (Dibawah pimpinan AGH Muhammad Yunus Martan).

Di tiap tingkatan, target penguasaan ilmu hanya terfokus pada ilmu-ilmu dasar yang merupakan kunci keilmuan keislaman, di antaranya: Ilmu Tafsir dan Ulumal Qurān, Hadis dan Ulumul Hadīth, Fiqhi dan Ushul Fiqh, Akhlak dan Tasawuf, ilmu Tauhid (Aqidah ASWJ) dan ilmu Bahasa Arab.

Selain Pesantren dan Madrasah tersebut di atas, AGH.Muhammad As’ad juga membuka suatu lembaga pendidikan yang baru, yaitu Tahfizul Qur’an, yang dipimpin langsung oleh beliau, dan bertempat di Masjid Jami Singkang.

Pada tahun 1350 H (1931 M), atas prakarsa Andi Cella Petta Patolae (Petta Ennengnge), dengan dukungan tokoh-tokoh masyarakat Wajo, dibangunlah gedung berlantai dua di samping belakang Masjid Jami Singkang.

Bangunan itu diperuntukkah bagi kegiatan al-Madrasah al-Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo, karena santrinya semakin bertambah.

Kewafatan

AGH. Muhammad As’ad berpulang ke rahmatullah pada hari senin 12 rabiul akhir 1372 H atau 28 Desember 1952 M dalam usia 45 tahun.

Semoga beliau dicucuri rahmat dan magfirah Allah SWT.

Kepemimpinan Pengurus Pusat Pesantren As’adiyah dilanjutkan oleh AGH. Muhammad Daud Ismail, AGH. Muhammad Yunus Martan, AGH. Hamzah Badawi, AGH. Abdul Malik Muhammad, AGH. Prof. Abd. Rahman Musa, AGH. Prof. Muhammad Rafii Yunus Martan, MA, AG. KH. Muhammad Sagena dan AGH Prof Dr Nasaruddin Umar (sekarang).

WALLAHU WALIYYU TAWFIQ WAL-IRSYAD

ddi abrad 1