Anre Gurutta H. Muin Yusuf

0
449
Pandangan keagamaan dan kebangsaan DDI

AG. Prof. Dr. H. A. Syamsul Bahri AG., Lc. MA.

AGH MUIN YUSUF
(1920-2004)

AGH Abdul Muin Yusuf (biasa disapa Gurutta Kali Sidenreng), kelahirannya tanggal 21 Mei 1920 di Rappang-Sidrap.

Kedua orang tuanya ialah Puang Muhammad Yusuf (ayah) asal Pammana
Wajo dan Ibunya bernama Petta Hatijah asal Rappang.

Gurutta Kali Sidenreng adalah anak
ketiga dari 10 bersaudara, dan dikaruniai 9 orang anak.

Dalam catatan silsilahnya, Gurutta masih keturunan seorang ulama besar di Wajo pada masa itu, yaitu Anregurutta Haji Muhammad Nur (Qadi Pammana).

Di garis keturunan ibu, Gurutta
mempunyai pertalian darah dengan bangsawan Rappang, yaitu Petta Sullewatang Rappang (jajahan Addatuang Sidenreng).

Beliau lahir dari keluarga agamawan, bangsawan dan pedagang membuatnya terus dimotivasi untuk belajar ilmu agama oleh keluarga dekatnya.

Sebab secara finansial, kedua orang tua Gurutta cukup mapan. Karenanya, ia terus didorong untuk memperdalam ilmu pengetahuan.

Puang Ngakka, sang nenek dari jalur ibu sejak lama melihat tanda-tanda bila cucunya akan menjadi ulama “panrita”.

Karena itu, Puang Ngakka rela menjual tanahnya untuk membiayai pendidikan Gurutta.

Gurutta mulai belajar mengaji al-Quran kepada salah seorang guru
mengaji di kampungnya, bernama Haji Patang.

Kemudian masuk sekolah Belanda di Insladsche School (sekolah pagi), ketika sorenya, ia belajar ilmu agama di madrasah Aunur Rafieq (pimpinan Syaikh Ali Mathar), termasuk Prof Hasan Langgulung di Malaysia pernah juga
belajar di madrasah ini.

Syeikh Ali Mathar (guru AGH Aliyafi) adalah paman Gurutta Muin dan juga paman Prof Quraisy Shihab.

Ali Mathar punya firasat dan melihat tanda-tanda bila kemenakannya kelak akan
menjadi ilmuan agama (ulama besar).

Firasat sang paman kian bertambah saat ia kedatangan ulama dari Madinah yang bernama Syeikh Abdul Jawad (pendidri Madrasah Amiriyah di Bone).

Kepada Syekh Ali Mathar, Syeikh Abdul Jawad berpesan agar kemenakannya dijaga dengan baik, lantaran dia melihat adanya tanda-tanda pada diri Gurutta kelak akan menjadi seorang ulama besar di kemudian hari.

Gurutta ditakdirkan menikah sebanyak tiga kali dalam hidupnya, pada pernikahan
pertamanya, Gurutta mempersunting puteri Syeikh Jamal Padaelo yang bernama Puang Siti Baderiah Binti Syeikh Ahmad Jamaluddin.

Dari pernihakan tersebut dikarunia enam orang anak, mereka ialah: I Nurung (lebih dahulu meninggal), Fauziyah Muin, Muhamad Farid Muin, Mardawiyah Muin, Kaltsum Muin, Surkati Muin.

Istri kedua Gurutta yaitu Petta Andi Oja, puteri seorang pejuang kemerdekaan yang bernama Andi Takko yang sangat berpengaruh di daerah Tanru Tedong Sidrap.

Memiliki anak bersamanya: Andi Zubaidah, Andi Muhamad Nasir dan Andi Sulaikha.

Sedangkan istri ketiga Gurutta sewaktu masih berada di hutan (DI/TII) adalah Andi Norma yang masih kerabat dekat dengan Kahar Muzakkar dan mempunyai anak bernama Andi Nahidah.

Gurutta pernah bercerita bahwa ketika di hutan beliau sering mengangkat senjata bersama dengan Kahar Muzakkar.

Pernah satu ketika Gurutta bersama Kahar diserang oleh TNI ternyata Kahar Muzakkar tidak tembus peluruh.

Setelah selesai penyerangan, mereka duduk istirahat, Gurutta bilang kepada Kahar; rupanya bung Kahar tidak tembus peluruh, saya lihat tembakan bertubi-tubi mengenai badan Kahar tapi tidak bisa tempus.

Kahar berkata kepada Gurutta;

Kita lebih hebat dari saya karena tembakan tentara semua meleset tidak ada yang tembus ke badannya.

Syeikh Ahmad Jamaluddin (dikenal sebagai Syeikh Jamal Padaelo) seorang ulama dan Qadi di Sidenreng ketika itu menjadi pembimbing tasawuf amali Gurutta.

Gurutta kemudian menggantikan Syeikh Jamal Padaelo menjadi Kadhi di Wilayah Sidenreng Rappang sehingga Gurutta dikenal sebagai Qadi (Kali) Sidenreng.

Gurutta juga mempersunting puterinya yakni, Hj. Baderiah Binti Syeikh Ahmad Jamaluddin seperti yang dinyatakan di atas.

Gurutta melanjutkan pengembaraan ilmunya di MAI Singkang Wajo (tahun 1943).

Disanalah, Gurutta berjumpa dengan sejumlah santri senior Gurutta Puang Aji Sade yang kelak menjadi ulama besar pula, seperti; AGH. Abd. Rahman Ambo Dalle, AGH. Junaid Sulaiman, AGH. Muhammad Daud Ismail, AGH. Abduh Pabbajah, AGH. Muhamad Yunus Martang, dan selainnya.

Di samping belajar dibawah bimbingan ulama besar MAI Singkang ketika, semisal Syaikh Hasan Yamani, Syaikh Alwi al-Ahdal, Syaikh Afifi dan Syaikh Abdul Jawad Bone.

Sewaktu menunaikan ibadah haji di Mekah, secara kebetulan dibuka penerimaan santri baru di Madrasah Darul Falah Mekah (tempat Gurutta Haji Sade dan Haji Amdo Dalle belajar sebelumnya) dan Gurutta Muin pun mendaftarkan diri.

Baginya, tes masuk ke madrasah itu tidaklah terlalu sulit baginya.

Kecerdasan dan penguasaan pada ilmu-ilmu yang diperolehnya selama belajar di tanah Bugis membawanya menduduki rangking kedua, satu peringkat di bawah Syeikh Muhammad Syalthout (Mantan Syeikh Al-Azhar).

Selama satu tahun lebih belajar di Mekah sampai memperoleh ijazah takhassus di bidang Fiqhi dan Fiqhi Muqaran (fiqhi Perbandingan).

Pada awal tahun 1974, Gurutta Muin membangun Pesantren Urwatul Wutsqa di kampung (sekarang kelurahan) Benteng, kecamatan Baranti, kabupaten Sidrap.

Beliau rintis pembangunannya bersama warga sekitar.

Di dalam pondok pesantren seluas kurang lebih 8 Ha itulah Gurutta hidup bersama santri-santrinya.

Rumahnya yang sempit dan sederhana hanya berisi kitab-kitab Turas berbahasa Arab.

Bahkan, dinding kamar beliau dimanfaatkan sebagai lemari kitab miliknya.

Dan di rumah itu, kadang pula menjadi kelas belajar khusus bagi santri-santri seniornya.

Di Rumah inilah kami biasa melalukan penelitian manuskrip tafsir yang sudah disediakan oleh penulis tafsir yang sudah ditentukan.

Gurutta Muin menjadi Ketua umum MUI Sulawesi selatan beberapa periode.

Gurutta membuat beberapa terobosan, salah satunya adalah memprakarsai penulisan dan penerbitan Tafsir Al-Quran berbahasa Bugis.

Yang dikaji bersama ulama dan masuk sebagai Pengurus Inti MUI Provinsi Sulawesi Selatan di antaranya AGH. M. Sanusi Baco, AGH. Prof. Faried Wajedy, MA., Kiyai Drs. H. Tahir Syarkawi (Ka Kanwil Agama), Prof. Dr. H. Abdul Rahim Arsyad, MA., Prof. Dr. Andi Syamsul Bahri Galigo, MA.

Gurutta dikenal sebagai sosok ulama yang melayani warga dengan konsisten. Bila diundang ceramah oleh warga di wilayah pedesaan pun ia akan hadir.

Padahal, level keulamaan beliau sudah sangat tinggi menjulang, namun masih rela turun ke bawah di tengah-tengah ummat kebanyakan.

Kebiasaan Gurutta pada hari Jumat ia lebih banyak mendengar khutbah pegawai syara’ di desa dimana pondok pesantren miliknya hadir.

Kebetulan masjid dikampung itu, berhadapan dengan Pondok pesantren milik Gurutta.

Ia menjadi jamaah di sana, ia pun berdiri sebagai makmun di masjid itu.

Gurutta membangun relasi dengan elit-elit politik pemerintahan di Sulawesi Selatan.

Hampir setiap jelang pergantian kepala daerah, mereka yang hendak maju sebagai calon bupati datang menemui Gurutta dan sebagai ulama ummat, Gurutta menerima mereka di kediamannya.

Begitupun saat jelang pemilu, sejumlah politisi datang meminta didoakan. Semuanya dilayani secara normatif.

Tetapi Gurutta tidak pernah mau menjadi bagian dari kekuasaan, dan ia tak mau menghamba pada kekuasaan.

Ia tak pernah menundukkan kepalanya di depan kekuasaan.

Karena itulah, ia tak pernah meminta khusus sumbangan pada pemerintah untuk pondok pesantrennya.

Namun bila sumbangan itu datang, Gurutta tidak menolaknya–sebagai bantuan kepada pesantrennya.

Prinsipnya; tangan di bawah lebih mulia dari tangan di atas .

Pada masa merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan Gurutta pun sangat memiliki peran yang sangat luar biasa.

Gurutta terlibat langsung membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Rappang tahun 1945 lewat jalur diplomasi yang ditingkat Wilayah ada DR. Ratulangi dan Pusat ada Bung Karno.

Gurutta juga memberi kontribusi langsung dan nyata ketika terjadi peristiwa penyerangan Bambu Runcing pada tanggal 10-12 juli 1946 dengan menyerang kota Rappang sebagai titik pusat pertahanan tentara Belanda bersama Andi Cammi.

Ketika terjadi operasi Westerling Gurutta berhijrah ke Soppeng karena Soppeng adalah daerah under avdeling dari Wajo, sedangkan Wajo terlibat dalam persekutuan Tellumpoccoe yang memihak pada Belanda.

Oleh karena itu, Soppeng tidak termasuk wilayah operasi Westerling.

Berkat kehadiran Gurutta di Soppeng bergabung dengan AGH Daud Ismail menjadi panitia Maulid Akbar dan mengundang para Qadi dan ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah Sulawesi.

Peringatan Maulid ini seperti reuni santri MAI Singkang dan ulama Sulawesi Selatan.

Ternyata acara reunian inilah yang menghasilkan kesepakatan bersama, keinginan membentuk sebuah organisasi Islam yang lahir di Sulawesi Selatan dengan nama yang diusulkan oleh Syaikh Abd Rahman Firdaus, yaitu Darud Da’wah Wal-Irsyad.

Gurutta Muin yang mengusulkan agar MAI Mangkoso yang telah tersebar luas dijadikan sebagai pilot projek Darud Da’wah Wal-Irsyad.

Mereka semua gembira karena canangan ini langsung direspon baik oleh AGH. Ambo Dalle sebagai penanggung jawab dan pendiri MAI Mangkoso.

Perlu diketahui bahwa MAI Mangkoso sejak didirikannya tahun 1938 telah mengalami perkembangan pesat dengan terbukanya cabang MAI di berbagai daerah di Sulawesi Selatan.

Gurutta bisa disebut sebagai tokoh ulama yang merestui berdirinya DDI sebagai organisasi Gerakan dakwah dan pendidikan awal di Sulawesi Selatan.

Dan memang Gurutta punya hubungan dengan dengan Gurutta Ambo Dalle sejak mereka di Singkang Lagi.

Gurutta Muin pernah cerita bahwa beliau pernah dimarahi oleh Gurutta Puang Aji Sade karena diketahui pergi belajar di Majene.

Namun karena Gurutta Ambo Dalle memohon kepada Puang Aji Sade agar diberi kesempatan belajar kembali di MAI Sengkang dan tinggal bersamanya (Gurutta Ambo Dalle).

Sejak itulah Gurutta merasa sangat dekat dengan AGH Ambo Dalle.

Malah beliau pernah membonceng Gurutta Ambo Dalle naik sepeda dari Singkang sampai Rappang.

Ketika kami bersama Gurutta di rumahnya di Rappang dalam rangka meneliti tafsir Bahasa Bugis.

Gurutta rupanya tertarik dengan cerita bahwa Gurutta Ambo Dalle sering dapat maunah dengan datangnya bantuan keuangan jika ada bangunan di pesantrennya, seperti bangun rumah dan masjid.

Gurutta juga bercerita bahwa ketika belajar di MAI Singkang beliau pernah melihat ada orang yang membawa kardus langsung kehadapan Gurutta Puang Aji Sade di Mesjid jamik, waktu itu hampir masuk waktu subuh.

Setelah melihat kejadian itu, Gurutta segera menghadap Gurutta Aji Sade.

Puang Aji Sade menjawab tidak perlu kamu tahu orang itu, beliau datang bawa bantuan untuk santri.

Gurutta pun ketika itu diberi beberapa butir uang benggolo dan beliau simpan hanya Gurutta lupa dimana disimpannya uang itu.

Gurutta juga disebut pernah terlibat dalam dunia politik sehingga beliau dikenal sebagai seorang politisi handal yang disegani, baik kawan maupun lawan.

Gurutta pernah menduduki kursi DPRD selama dua periode pasca terbentuknya Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap).

Gurutta juga pernah menjadi Ketua Partai Masyumi tahun 1948.

Kemudian masuk bergabung dengan DI/TII pada tahun 1955.

Kemudian tahu 1971 Gurutta juga bergabung dengan Partai Nahdhatul Ulama (NU).

Dalam usia yang relatif masih muda, tepatnya pada tahun 1942 Gurutta diangkat menjadi kadhi (kali) sebagai partner Addatuang Sidenreng dalam bidang agama.

Cerminan corak pemikiran Gurutta dapat dilihat dari beberapa karya yang telah ditorehkannya dalam beberapa buku dan kitab seperti: Khutbah Mimbariyah, Fiqih Muqaran, Tafsere Akorang Ma’basa Ogi (ketua tim penafsir Al-Quran MUI Sulsel).

WABILLAHI TAWFIQ WA DA’WAH WAL IRSYAD