Dilema Gen Z : Antara Kebebasan dan Tekanan Sosial

0
1010

Di era digital saat ini, Gen Z hidup dalam banjir informasi yang tak terbendung. Akses mudah ke internet memungkinkan mereka mendapatkan berbagai pengetahuan dan perspektif hanya dengan beberapa klik. Namun, kebebasan ini membawa tantangan tersendiri. Menurut sebuah survei oleh Pew Research Center pada tahun 2023, lebih dari 70% anak muda Gen Z merasa kewalahan dengan jumlah informasi yang mereka terima setiap hari. Terlalu banyak pilihan dan opini yang tersedia sering kali membuat mereka bingung dalam menentukan jati diri yang sebenarnya.

Di satu sisi, Gen Z diberi kebebasan untuk mengekspresikan diri dan memilih jalan hidup yang mereka inginkan. Media sosial menjadi ruang di mana mereka dapat menunjukkan kreativitas, nilai, dan keyakinan pribadi. Namun, di sisi lain, tekanan sosial dari teman sebaya dan masyarakat luas juga semakin kuat. Sebuah studi dari American Psychological Association (APA) pada tahun 2023 menemukan bahwa 60% Gen Z merasa tekanan untuk mengikuti tren dan standar yang ditetapkan oleh media sosial. Mereka terjebak dalam dilema antara menjadi diri sendiri atau memenuhi ekspektasi sosial.

Di tengah arus informasi yang mengalir deras, Gen Z tumbuh dengan akses tanpa batas ke berbagai sumber pengetahuan, budaya, dan nilai-nilai dari seluruh dunia. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang mendapatkan informasi secara terbatas dari media tradisional, Gen Z memiliki kemampuan untuk menjelajahi segala hal mulai dari politik, mode, hingga identitas gender dengan cepat melalui internet. Data dari Global WebIndex pada tahun 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 98% Gen Z menghabiskan waktu di internet setiap hari, dengan sebagian besar dari mereka aktif di media sosial dan situs berita. Namun, kebebasan akses ini tidak selalu membawa manfaat, karena banyak di antara mereka yang merasa kebingungan dan terombang-ambing antara berbagai informasi yang saling bertentangan.

Kebebasan ini juga membuka ruang bagi Gen Z untuk mengekspresikan diri dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube memberi mereka platform untuk menunjukkan kreativitas, pandangan, serta aspirasi mereka. Di satu sisi, media ini menjadi alat penting untuk mengembangkan identitas diri. Namun, di sisi lain, adanya algoritma media sosial yang menonjolkan konten-konten populer menciptakan tekanan untuk mengikuti tren agar tidak merasa terasing. Sebuah studi dari The Center for Generational Kinetics pada tahun 2023 mencatat bahwa 65% Gen Z merasa terpengaruh oleh apa yang mereka lihat di media sosial, terutama terkait citra tubuh dan gaya hidup.

Tidak hanya tekanan sosial, Gen Z juga menghadapi tantangan dalam memahami identitas mereka dalam dunia yang semakin terpolarisasi. Di platform digital, perdebatan politik, budaya, dan sosial sering kali memecah belah opini publik. Menurut laporan dari Common Sense Media pada tahun 2022, lebih dari 75% Gen Z menyatakan bahwa mereka sering kali merasa bingung atau tidak tahu harus memihak siapa dalam berbagai isu sosial dan politik karena banyaknya informasi yang saling bertentangan. Kebebasan untuk menyuarakan pendapat ternyata juga membuat mereka sulit untuk menemukan konsensus dan panduan dalam membentuk jati diri.

Selanjutnya, media sosial juga meningkatkan kecenderungan perbandingan sosial. Gen Z sering kali terjebak dalam kebiasaan membandingkan diri mereka dengan kehidupan yang tampak sempurna dari para influencer dan selebriti. Sebuah studi dari Royal Society for Public Health pada tahun 2023 menemukan bahwa lebih dari 70% anak muda di bawah usia 25 tahun mengalami peningkatan kecemasan dan rasa tidak percaya diri setelah menghabiskan waktu di media sosial. Ini menunjukkan bahwa tekanan untuk memenuhi standar sosial yang dipromosikan melalui platform digital berdampak negatif pada kesehatan mental mereka.

Lebih dari sekadar perbandingan sosial, Gen Z juga menghadapi dilema dalam membentuk pandangan dan nilai hidup mereka. Arus informasi yang begitu deras membuat mereka sulit memilah mana yang benar-benar sesuai dengan keyakinan pribadi mereka, dan mana yang hanya merupakan tren sementara. Data dari McKinsey & Company pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 50% Gen Z mengalami kebingungan dalam memilih karier, gaya hidup, atau keputusan besar lainnya karena mereka terlalu banyak dipengaruhi oleh berbagai sumber informasi yang mereka konsumsi setiap hari.

Tekanan untuk konformitas juga muncul dalam bentuk ‘cancel culture,’ yang semakin mengakar di kalangan anak muda. Di satu sisi, cancel culture dianggap sebagai bentuk kontrol sosial yang memberikan sanksi moral kepada mereka yang melanggar norma-norma tertentu. Namun, bagi Gen Z, hal ini menciptakan ketakutan untuk berbeda pendapat atau menyuarakan pandangan yang tidak populer. Sebuah laporan dari Harvard Business Review pada tahun 2023 mencatat bahwa 40% Gen Z merasa takut menyuarakan pendapat mereka secara terbuka karena khawatir akan diserang atau dikucilkan di dunia maya. Ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi yang seharusnya menjadi kekuatan justru berubah menjadi batasan bagi sebagian besar anak muda.

Di luar tantangan sosial, Gen Z juga berhadapan dengan masalah kesehatan mental yang signifikan. Data dari American Psychological Association (APA) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa tingkat kecemasan dan depresi di kalangan Gen Z meningkat sebesar 30% dalam lima tahun terakhir, dan banyak dari mereka mengaitkan kondisi ini dengan tekanan sosial yang mereka alami di dunia maya. Rasa takut tertinggal atau tidak sesuai dengan standar sosial yang diukur melalui “like,” “share,” atau “followers” menciptakan stres tambahan yang sulit diatasi.

Selain itu, dalam dunia karier dan profesional, Gen Z juga menghadapi kebingungan antara mengejar passion dan stabilitas finansial. Kebebasan untuk mengejar impian, yang sering kali dipromosikan oleh generasi sebelumnya, menjadi tantangan tersendiri ketika dihadapkan pada realitas ekonomi yang tidak stabil. Menurut survei dari Deloitte pada tahun 2023, lebih dari 55% Gen Z merasa cemas tentang masa depan keuangan mereka, meskipun mereka memiliki akses pendidikan dan teknologi yang lebih baik daripada generasi sebelumnya.

Dalam konteks global, Gen Z juga sering kali dibebani dengan isu-isu besar seperti perubahan iklim, ketidakadilan sosial, dan ketidakpastian politik. Dilema mereka bukan hanya soal mencari identitas diri, tetapi juga tentang bagaimana mereka dapat berkontribusi dalam menyelesaikan masalah-masalah dunia yang kompleks. Sebuah laporan dari United Nations pada tahun 2023 menyatakan bahwa Gen Z memiliki tingkat kepedulian yang tinggi terhadap isu-isu global, tetapi sering kali merasa tidak cukup berdaya untuk membuat perubahan nyata karena struktur sosial dan politik yang ada.

Dengan begitu banyak tantangan yang mereka hadapi, Gen Z sering kali berada di persimpangan antara kebebasan dan konformitas. Di satu sisi, mereka diberikan kebebasan luar biasa untuk menjadi diri sendiri dan mengekspresikan pendapat mereka. Namun, di sisi lain, tekanan sosial dan ekspektasi masyarakat juga menempatkan mereka dalam dilema yang terus-menerus. Mereka harus menavigasi dunia yang penuh dengan kontradiksi, di mana kebebasan sering kali datang dengan harga yang tinggi: kehilangan identitas asli di tengah tekanan untuk menjadi seperti orang lain.

Sebagai generasi yang tumbuh di era digital, Gen Z menghadapi tantangan yang kompleks dalam mencari jati diri di tengah arus informasi yang tak terbatas. Mereka berada di persimpangan antara kebebasan berekspresi dan tekanan untuk konformitas, di mana setiap pilihan dapat memengaruhi kehidupan mereka secara mendalam. Namun, pertanyaannya adalah, bagaimana mereka dapat menemukan keseimbangan antara menjadi diri sendiri dan tetap relevan di masyarakat?

Jika Gen Z mampu memahami bahwa jati diri sejati tidak perlu tunduk pada standar yang ditetapkan oleh algoritma atau opini publik, mungkin mereka dapat melepaskan diri dari belenggu tekanan sosial dan menemukan versi diri yang lebih otentik. Akankah mereka memilih untuk terus mengikuti arus, atau mulai berlayar dengan arah mereka sendiri, tanpa terpengaruh oleh tuntutan dunia maya? Pada akhirnya, hanya mereka yang bisa menjawab dilema ini, dengan harapan bahwa kebebasan yang mereka miliki akan mengarah pada keaslian, bukan keterpaksaan.
________

Oleh
Syamsinar Ramadhani
Kader PC IMDI Kabupaten SIDRAP

ddi abrad 1