Almughfuurulah Anregurutta KH. Abdurrahman Ambodale adalah sebuah fenomena.
Almaghfuuralah fenomenal pada zamannya, dan untuk satu masa yang cukup panjang.
Almaghfuurulah membangun sebuah gerakan pendidikan dan da’kwah, sebagai jawaban atas persoalan-persoalan (kelangkaan pendidikan dan dakwah dengan pesan keagamaan tertentu, yang berangkat dari pandangan keagamaan tertentu, yang lazim
disebut ahlussunnah wal jama’ah) pada masanya. Gerakan itu kemudian yang
kemudian diberi payung yang dikenal dengan nama Darud Da’wah wal Irsyad
(selanjutnya di singkat DDI).
Almaghrufuurulah seperti memberikan jawaban atas diskriminasi, atau paling tidak, kelangkaan pendidikan yang terjadi akibat penjajahan; dan tetap menjadi alternatif pada awal kemerdakaan sampai pada akhir tahun 1990an.
Gerakan yang dibangun itu juga seperti seperti jawaban atas gerakan keagamaan yang tidak toleran terhadap perbedaan, tidak menghargai tradisi keagamaan yang tumbuh yang berbaur dengan tradisi–tradisi lokal dalam batas-batas tertentu.
Almaghfuurulah juga bisa dikatakan mengambil bagian dari apa yang dimanatkan oleh UUD 45, berupaya mewujudkan salah satu cita-cita ketika dan menjadi misi Negara Republik
Indonesia berdiri, yakni mencerdaskan anak bangsa.
Gerakan itu dimulai dalam sebuah bentuk pendidikan yang disebut Madrasah
Arabiyah Islamiyah, disingkat MAI, di Mangkoso (Kabupaten Barru, sekarang).
MAI adalah bentuk pendidikan yang terstruktur dan sistematis, dengan lingkungan belajar yang khas, yang dikenal pada masa itu.
MAI muncul di bebeberapa tempat, di
Sulawesi Selatan, tetapi berdiri sendiri-sendiri, tidak punya hubungan satu sama lain secara struktural.
MAI Mangkoso lah yang memulai mendorong munculnya MAI atau
bentuk-bentuk pendidikan yang menyerupai MAI di berbagai daerah dan terhubung satu sama lain, dengan gerak yang kurang lebih sama.
Bentuk-bentuk pendidikan tersebut disebut gerakan, karena muncul pada waktu yang kurang lebih sama, dengan gerak yang kurang lebih sama, terhubung satu sama lain dalam urusan-urusan tertentu, seperti (pengadaan) guru dan kurikulum, tetapi masing-masing otonom; dalam arti diurus oleh masyarakat setempat. Mangkoso sendiri bisa dianggap inspirator atau fasilitator.
Mangkoso memprodkusi dan menyediakan guru, tenaga pengajar dan kurikulum, bagi sekolah-sekolah itu, yang memungkinkan bentuk-bentuk pendidikan yang muncul itu memiliki gerak kurang lebih sama.
Sekolah-sekolah, dengan difasilitasi oleh Mangkoso, kemudian menyelenggarakan pertemuan rutin, tahunan, untuk menjaga saling hubungan dan keterkaitan satu sama lain.
Gerakan itu menjadi cikal bakal DDI, dan Tokoh utama dibalik semua itu, adalah Anreguttta KH. Abdurrahman Ambodalle (1900-1996), atau yang biasa dipanggil Anregurutta atau Gurutta Ambodalle.