Peranan Ulama DDI dalam Dinamika Kemajemukan dan Kemodernan

0
280
Prof KH Ali Yafie
Prof KH Ali Yafie

WASIAT ANREGURUTTA PROF. KH. MUH. ALI AL-YAFIE

(Tudang Sipulung Ulama dan tokoh DDI) Jakarta 2015

الحمدلله ر ب العالمين والصلا ة والسلام على رسول الله وعلى اله وصجه ا جمعين

Sekarang kita berada dalam satu era yang disebut globalisasi, yang dinamis dengan perubahanperubahan yang berlangsung secara cepat, dan sering kali membingungkan karena penuh dengan kontradiksi.

Globalisasi telah membuat dunia menjadi begitu terbuka dan seperti menyatu, tanpa terhalang oleh batas-batas wilayah yang ada. Jarak pun terasa semakin pendek. Orang-orang Bisa bepergian kemana saja, tanpa halangan berarti, dalam waktu yang relatif singkat. Tetapi, pada saat yang sama, kita juga berada dalam tembok-tembok yang disebut otonomi daerah, dan sering kali terjebak dalam fanatisme kedaerahan.

Kalau kita melihat bangunan-bangunan megah yang tumbuh di sekitar kita, jalan-jalan berbeton dan beraspal yang menembus sampai ke daerah pedalaman, dengan kendaraankendaraan mewah yang berseliweran di atasnya, semua itu menunjukkan kemakmuran.

Tetapi, pada saat yang sama, kita juga menyaksikan gubuk-gubuk reyot dan orang-orang yang berkeliaran meminta-minta di mana-mana, yang menunjukkan kemiskinan.

Memang terjadi pertumbuhan ekonomi, tetapi jumlah penduduk miskin juga meningkat.

Pembangunan seperti koin dengan dua sisi; di satu sisi mendatangkan kemakmuran, tetapi di lain sisi mendatangkan kemiskinan bahkan telah membuat jarak cukup lebar antara yang kaya dan yang miskin.

Pembangunan di satu sisi mendatangkan kemajuan fisik, tetapi di lain sisi merusak keseimbangan alam. Di satu sisi mendatangkan kemewahan, tetapi di lain sisi mendangkalkan spiritualitas dan merapuhkan mental.

Mungkin betul pendapat yang mengatakan bahwa semua itu merupakan konsekuensi dari kebijakan pembangunan yang lebih memilih mengikuti kepentingan globalisasi. Tetapi, apakah itu juga tidak terkait dengan sistem pendidikan dan dakwah?

Terutama kalau kita melihat tawuran antaranak sekolah dan sebagainya. Boleh jadi, lapangan kerja yang disiapkan memang kurang, tetapi bukankah itu juga tidak berarti karena ketiadaan kemandirian, kurangnya keterampilan dan daya kreativitas dari lulusan sekolah dan perguruan tinggi?

Apakah maraknya bentrok antarwarga, atau kekerasan dalam masyarakat, tidak terkait dengan sistem pendidikan dan dakwah? Apakah itu semua tidak terkait dengan keberadaan kita, selaku pendidik atau institusi yang bergerak di bidang pendidikan dan dakwah.

DDI, kalau dilihat dari sejarahnya, bukanlah sekadar sekolah, tetapi merupakan gerakan pendidikan dan dakwah.

DDI (Darud Da’wah wal Irsyad)—yang cikal-bakal atau embrionya dari Mangkoso (MAI Mangkoso; 1938)—lahir melalui suatu pertemuan Alim-Ulama seSulawesi Selatan di Soppeng (1947), yang memberi mandat kepada al-Maghfûrulah Gurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle untuk membangun dan mengembangkan sebuah gerakan pendidikan dan dakwah (dengan nama DDI), dalam rangka menjawab kebutuhan pendidikan dan penyebaran ajaran dan nilai-nilai Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah.

DDI ada untuk menanam dan menjaga ajaran dan nilai-nilai agama itu agar memiliki akar kokoh yang tertancap kuat dalam masyarakat sehingga bisa menjadi fondasi bangunan masyarakat yang majemuk dengan keragaman budayanya.

Pada waktu itu, para ulama berkesimpulan bahwa untuk tujuan itu tidak cukup jika pusat-pusat pendidikan dan pendalaman ilmu-ilmu agama, hanya berada di tempat-tempat tertentu saja (model MAI pada masa itu), tetapi perlu menyebar ke berbagai tempat.

Oleh karena itu, misi DDI itu adalah mendidik dan mencetak kader, ulama, guru, atau pejuang, yang berilmu dan berkarakter (yang bersumber dan berdasar pada ajaran dan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah).

Untuk tujuan itu dikembangkan kurikulum dan suasana belajar tertentu (kurang lebih sama dengan suasana pondok pesantren masa kini).

Dari pendekatan itulah lahir guru-guru dan ulama yang berkarakter. Mereka dibawa atau dikirim ke berbagai daerah, mendampingi, menjadi guru, dan bersama masyarakat membangun sekolah-sekolah DDI.

Salah satu yang khas dari gerakan itu, selain kurikulumnya, adalah sekolah-sekolah DDI itu menyatu dengan masyarakat setempat. Dari sisi itu, DDI bisa disebut sebagai sekolah masyarakat. Dengan cara seperti itu, pada masanya, DDI dikenal dan menjadi salah satu pilar pendidikan di Indonesia. DDI turut memberikan sumbangsih dalam membangun karakter dan mencerdaskan anak bangsa.

Apakah DDI masih menjalankan fungsi dan peran seperti itu? Sekarang ini kondisinya lebih rumit. Kita berada dalam suatu masyarakat yang majemuk dan dinamis dalam bingkai kemodernan. Keadaan berkembang dan berubah dengan sangat cepat, cenderung tidak stabil.

Segala sesuatunya seperti bertaut, tetapi juga berbenturan.

Di tengah-tengah ketidakstabilan ekonomi, orang-orang cenderung semakin invidualistik dan pragmatis, rasa saling percaya semakin menipis, tradisi saling menghormati semakin memudar, dan solidaritas pun semakin melemah.

Kondisi seperti itu juga tampak memengaruhi dunia pendidikan. Sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat seperti kehabisan energi, tidak berkembang. Dan, karena keterbatasan sumber daya, lebih banyak yang kemudian bergantung pada (bantuan) pemerintah, atau menjadi sekolah negeri, atau sekolah swasta.

Sementara itu, berkembangnya sekolahsekolah yang dikelola swasta yang lebih megah, karena dukungan sumber dana yang besar.

Bahkan, ada yang mendapat dukungan dari swasta dan luar negeri.

Meskipun lebih mendekati bisnis (pendidikan), tampak lebih diminati masyarakat terutama kelas menengah ke atas. Dalam situasi seperti itu, pertanyaannya adalah “bagaimana dengan sekolah-sekolah DDI?”; “di mana menempatkan diri?”; “apakah dengan berada di tempat itu sekolah-sekolah itu masih bisa mempertahankan (karakter) ke-DDI-annya?”;

“apakah masih berjalan dengan kurikulum DDI?”

Akan tetapi, apa pun pilihannya, di manapun tempatnya, menurut saya, mempertahankan karakter itu penting. Sebab, tanpa karakter, kita tidak lebih dari tubuh tanpa roh, tanpa kebanggaan. Bisa saja berubah bentuk, boleh, dengan alasan tuntutan zaman, tetapi dengan meninggalkan karakter, berarti kita tampil dengan wujud yang baru sama sekali yang tidak memiliki ikatan sejarah dengan masa lalu.

Ada yang tampak aneh, atau ironi, sekarang kini. Sekolah-sekolah modern dengan predikat sekolah unggulan banyak yang dikembangkan dengan sistem ‘boarding school’.

Sedangkan apa yang disebut boarding sebenarnya kurang lebih sama dengan pemondokan santri. Tentu berbeda, karena pemondokan santri jauh lebih sederhana.

Tetapi, apakah dengan mengadopsinya tidak berarti bahwa sesungguhnya sistem itu diakui efektif untuk membangun karakter dan mencerdaskan?

Tetapi kenapa pondok pesantren berada di pinggiran dan ditinggal sehingga umumnya tidak berkembang?

Sebenarnya apa yang salah dengan pondok pesantren itu?

Ada banyak persoalan di sekitar dan di hadapan kita, yang memerlukan respons kita.

Belum lagi gerakan-gerakan keagamaan yang tidak toleran terhadap perbedaan, yang memiliki kecenderungan melemahkan bahkan menghabisi tradisi keberagamaan kita secara sistematis.

Kesemua itu perlu mendapat respons kalau mau bertahan dan terus berkembang.

Paling tidak, kita bisa mempertanyakan sistem pendidikan dan dakwah sekarang ini, atau kebijakan pendidikan yang tampaknya tidak memihak kepada pondok pesantren.

Tetapi, apa pun yang mau dilakukan, saya kira pertama-tama kita perlu memeriksa diri, “apakah kita berada dalam kondisi kesehatan yang optimal?”

Kalau kondisi kesehatan tidak optimal, sebesar apa pun orang itu, atau apa saja, tetaplah tidak memiliki cukup daya untuk berbuat. Jangankan menolong yang lain, menolong diri sendiri saja terasa sulit. Jangankan memberikan respons terhadap persoalan-persoalan bangsa atau persoalan-persoalan kemasyarakatan, merespons keinginan sendiri pun sulit.

Tetapi saya percaya, dengan karakter ke-DDI-an—kemandirian, kerendahan hati, kelapangan dada, keikhlasan dan pengabdian untuk kemaslahatan umat—yang diwariskan alMaghfûrulah Gurutta KH Abdurrahman Ambo Dalle, sesulit apa pun keadaan kita, kita bukanlah tubuh yang lemah dan terbaring lunglai, yang hanya menunggu pertolongan dari pihak lain.

Saya kira, dilihat dari sisi semangatnya, inilah arti penting dari pertemuan Tudang Sipulung Nasional (TSN) Ulama dan Kader DDI ini, yakni kemauan untuk bangkit kembali dalam kondisi kesehatan optimal, dalam satu wadah yang menguatkan (gerakan pendidikan dan dakwah DDI).

Dengan demikian, kita bisa berbuat maksimal, dalam rangka memenuhi harapan, menjalankan mandat, al-Maghfûrulah Gurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle. Saya kira, itu bukanlah sesuatu yang mustahil sepanjang ada kemauan.

Di sini berkumpul para tokoh, ulama, dan kader DDI, yang datang dari berbagai tempat, yang memiliki banyak pengalaman dan berwawasan yang luas.

Semuanya tentu bisa membaca situasi dengan jernih di luar dan kondisi di dalam DDI, yang memungkinkan munculnya gagasan-gagasan tentang masa depan DDI; gagasan-gagasan dan langkah-langkah konkret untuk keluar dari berbagai persoalan yang melilit kita selama ini. Melihat tokoh-tokoh yang berkumpul di sini sangatlah membesarkan hati. Ini adalah sebuah potensi yang sangat besar.

Akan tetapi, ini akan tetap menjadi potensi kalau tidak diberdayakan, tidak terlibat dalam proses membangun kembali DDI. Potensi ini hanya akan menjadi mitos, bukan realitas,kalau tidak diaktualkan.

Saya percaya forum ini bisa menjawab semua itu. Apalagi di antara kita hadir tokoh yang memiliki kapasitas mampu merekatkan yang merekah dan mempertautkan yang terpisah-pisah.

Di sini ada Anakda Dr. M. Ali Rusdy Ambo Dalle, anak kandung al-Maghfûrulah Gurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle, yang menjadi perekat bagi kita semua, ada Anakda KH. M. Faried Wadjedy, putra kandung dari KH. Amberi Said—yang bersama dengan KH. M. Amin Natsir, KH. Harun Rasyid, dan KH. Abdul Rahman Mattammeng, senantiasa mendampingi al-Mahgfûrulah sejak dari saat-saat awal perjuangannya di Mangkoso—dan KH.Sanusi Baco yang sekarang ini menjadi simbol kepemimpinan Ulama DDI. Juga ada Akhil Fâdhil Drs. H.M. Aksa Mahmud, tokoh nasional dari keluarga DDI, yang selalu memiliki kepedulian dan simpati kepada DDI, dan yang lain-lain.

Saya tidak bisa memberi jawaban secara langsung atas judul yang diberikan kepada saya. Anda semualah yang bisa menjawab itu. Saya ini adalah sisa-sisa dari masa lalu. Mungkin sayalah dari generasi pertama DDI yang masih tertinggal. Pada malam ini usia saya, menurut Kalender Hijriah, sudah mencapai 90 tahun, tiga bulan, lima malam.

Usia setua ini dalam sebuah Hadits yang dinukilkan Kitab Mukhtârul Ahâdîts, himpunan al-Hasyimi, diberi status orang yang mencapainya sebagai ‘asîrullâhi fî ardhih’. Dalam kondisi seperti itu, saya harus tahu diri.

Dalam pandangan saya, orang yang tahu diri adalah orang yang bisa menempatkan diri, dan selanjutnya bisa membawa diri.

Sekarang ini, saya tidak lagi bisa berbuat apa-apa, kecuali berdoa. Fisik saya sebenarnya sudah tidak kuat lagi. Jangankan berdiri, duduk pun sudah menjadi sebuah persoalan bagi saya, apalagi berjalan.

Oleh karena itu, dalam beberapa tahun terakhir ini, secara berangsur-angsur saya sudah meletakkan semua jabatan yang pernah ditugaskan kepada saya, dan selanjutnya menolak semua (jabatan) yang ditawarkan, karena itu semua merupakan amanah yang memiliki tanggung jawab dan konsekuensi.

Saya sadar bahwa kondisi saya tidak lagi memungkinkan saya memikul beban-beban semacam itu.

Untuk urusan DDI sekarang ini, saya tidak bisa lagi terlibat langsung. Saya hanya bisa membantu dengan doa. Saya percaya segenap urusan DDI bisa berjalan lancar, dengan semangat al-Maghfûrulah Gurutta yang tetap hidup dalam diri semua kader, anak-anak dan murid-muridnya.

Semangat pengabdian yang tidak mengenal batas, dan keikhlasan yang tidak mengenal pamrih, yang bersumber dari hati yang jernih. Kita tentu tidak bisa kembali ke masa lalu, tetapi kita juga tidak bisa mengabaikan apa lagi melupakan sejarah.

Kita memiliki fondasi yang kuat dan potensi yang besar untuk membangun masa depan.

Ada sebuah syair yang mengatakan ‘innal fatâ man yaqûlu hâ ana dzâ; laisal fatâ man yaqûlu kâna abiy’.

Masa kami, generasi pertama, telah berlalu, sekarang adalah masa Anda. Kami adalah sejarah, dan Anda semua adalah para pelaku masa kini yang sedang menulis kelanjutan sejarah itu.

Apakah DDI hanya akan menjadi catatan sejarah masa lalu, atau tetap ada dan membuat sejarah?

Itu bergantung pada anda semua. Masa depan DDI ada di tangan Anda semua.

Perkenankan saya menutup taushiyah ini dengan ayat penutup Surah al-‘Ankabut:

“Walladzîna jâhadû fînâ lanahdiyanna-hum subulanâ wa innallâha lama‘al muhsinîn.”

Wa mâ taufîqî illâ billâh ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unîb.

Wa salâmullâhi wa rahmatuhu wa barakâtuhu ‘alaikum ajma‘în

ddi abrad 1